Perkosaan
Kejahatan perkosaan dalam kosa kata bahasa Indonesia berasal dari kata perkosaan yang berarti “menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan atau menggagahi”31) Berdasarkan pengertian tersebut maka perkosaan mempunyai makna yang luas yang tidak hanya terjadi pada hubungan sexual (sexual intercouse) tetapi dapat terjadi dalam bentuk lain seperti pelanggaran hak asasi manusia yang lainnya.
Menurut Soetardjo Wignjo Soebroto yang dimaksud dengan perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang menurut moral atau hukum yang berlaku adalah melanggar. Dalam pengertian demikian bahwa apa yang dimaksud perkosaan di satu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan (yaitu perbuatan seorang secara paksa hendak melampiaskan nafsu seksualnya) dan di lain pihak dapat dilihat sebagai suatu peristiwa pelanggaran norma serta tertib sosial.32)
Berdasarkan pengertian perkosaan tersebut diatas, menunjukkan bahwa perkosaan merupakan bentuk perbuatan pemaksaan kehendak laki-laki terhadap perempuan yang berkaitan atau ditujukan pada pelampiasan nafsu seksual. Perbuatan ini dengan sendirinya baik secara moral maupun hukum melanggar norma kesopanan dan norma kesusilaan di masyarakat. Terhadap hal ini adalah wajar dan bahkan keharusan untuk menjadikan perbuatan perkosaan sebagai suatu tindak pidana yang diatur bentuk perbuatan dan pemidanannya dalam hukum pidana materiil yang berlaku.
b. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan Dalam KUHP
Mengenai tindak pidana perkosaan atau verkrachting, ketentuan yang mengatur mengenai bentuk perbuatan dan pemidanaannya terdapat dalam pasal 285 KUHP. Dirumuskan dalam pasal tersebut : “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”33)
Berdasarkan rumusan tindak pidana perkosaan dalam pasal 285 KUHP tersebut, dapat diuraikan unsur-unsur tindak pidana perkosaan adalah sebagai berikut:
a. Perbuatannya : memaksa,
b. Caranya : 1) dengan kekerasan,
2) dengan ancaman kekerasan;
c. seorang wanita bukan istrinya;
d. bersetubuh dengan dia.34)
Penjelasan unsur-unsur tindak pidana perkosaan diatas sebagai berikut:
a. Yang dimaksud dengan perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain itu, agar kehendak orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri.35) Berdasarkan pengertian ini pada intinya bahwa memaksa berarti di luar kehendak dari seseorang atau bertentangan dengan kehendak seseorang tersebut.
Satochid Kartanegara menyatakan : “perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai perbuatan sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut pada orang lain”36). Memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat juga dilakukan dengan ucapan. Perbuatan membuat seorang wanita “menjadi terpaksa” bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus dimasukkan dalam pengertian “memaksa” seorang wanita mengadakan hubungan kelamin, walaupun yang menanggalkan semua pakaian yang dikenakan oleh wanita adalah wanita itu sendiri.
b. Kekerasan (geweld) merupakan salah satu cara memaksa dalam Pasal 285 disamping cara memaksa lainnya yaitu dengan menggunakan ancaman kekerasan. Undang-undang tidak menjelaskan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan “kekerasan”, hanya dalam Pasal 89 KUHP yang merumuskan tentang perluasan arti dari kekerasan. Disebutkan : “Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.”
Beberapa pakar memberikan pengertian kekerasan sebagai berikut :
Menurut R. Soesilo kekerasan ialah “mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak syah”. Sedangkan Satochid mengartikan kekerasan adalah “setiap perbuatan yang terdiri atas digunakannya kekuatan badan yang tidak ringan atau agak berat”.37)
Secara lebih khusus, Adami Chazawi memberikan pengertian kekerasan dalam Pasal 285 sebagai berikut : “Kekerasan yaitu suatu cara/upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik”.38) Sifat kekerasan itu sendiri adalah abstrak, maksudnya ialah wujud konkritnya dari cara kekerasan ada bermacam-macam yang tidak terbatas. Misalnya memukul dengan kayu, menempeleng, menusuk, dan lain sebagainya.
Mengenai maksud dari ancaman kekerasan (bedreiging met geweld), undang-undang juga tidak memberikan penjelasannya. Namun dalam arrest Hoge Raad tanggal 5 Januari 1914 dan tanggal 18 Oktober 1915 mengenai “ancaman kekerasan” disyaratkan :
a) bahwa ancaman harus diucapkan dalam suatu keadaan yang demikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam, bahwa yang diancamkan tersebut benar-benar akan merugikan kebebasan pribadinya,
b) bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan seperti yang diancamkan.39)
Menurut Adami Chazawi, ancaman kekerasan diartikan yaitu :
“ancaman kekerasan fisik yang ditujukan pada orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan fisik, perbuatan fisik mana dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik yang besar atau lebih besar yang berupa kekerasan, yang akan dan mungkin segera dilakukan/diwujudkan kemudian bilamana ancaman itu tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diinginkan pelaku”.40)
Kekerasan atau ancaman kekerasan pada pasal 285 KUHP, ditujukan terhadap wanita itu sendiri dan bersifat sedemikian rupa sehingga tidak dimungkinkan baginya untuk berbuat lain selain membiarkan tubuhnya untuk disetubuhi. Antara kekerasan dengan ketidakberdayaan perempuan terdapat hubungan kausal, dan karena tidak berdaya inilah maka persetubuhan dapat terjadi. Jadi sebenarnya terjadinya persetubuhan pada dasarnya adalah akibat dari perbuatan memaksa dengan menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan tersebut.
c. Mengenai wanita bukan isterinya, disini persetubuhan dilakukan terhadap perempuan yang bukan istrinya. Ditentukannya hal tersebut karena perbuatan bersetubuh dimaksudkan sebagai perbuatan yang hanya dilakukan antara suami isteri dalam perkawinan.
d. Menurut M.H. Tirtamidjaja “mengadakan hubungan kelamin” atau “bersetubuh” berati persentuhan sebelah dalam kemaluan laki-laki dan perempuan yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan, tidak perlu telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan.41)
Menurut Kedokteran Forensik, persetubuhan didefinisikan sebagai suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke dalam vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa disertai ejakulasi.42)
Pada saat ini pengertian “bersetubuh” diartikan bila penis telah masuk (penetrasi) ke dalam vagina.
Berdasarkan unsur-unsur tindak pidana perkosaan dalam pasal 285 KUHP diatas, perkosaan tidaklah disebut perkosaan apabila tidak terbukti adanya persetubuhan, padahal untuk membuktikan adanya persetubuhan sangat sulit terlebih apabila korban sudah pernah menikah atau bukan gadis lagi (tidak virgin). Apabila dalam suatu kasus yang diduga sebagai perkosaan ternyata tidak terbukti adanya persetubuhan, kasus tersebut dapat diarahkan pada tindak pidana pencabulan dimana dalam tindak pidana tersebut tidak disyaratkan adanya persetubuhan.
Menurut Soetardjo Wignjo Soebroto yang dimaksud dengan perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang menurut moral atau hukum yang berlaku adalah melanggar. Dalam pengertian demikian bahwa apa yang dimaksud perkosaan di satu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan (yaitu perbuatan seorang secara paksa hendak melampiaskan nafsu seksualnya) dan di lain pihak dapat dilihat sebagai suatu peristiwa pelanggaran norma serta tertib sosial.32)
Berdasarkan pengertian perkosaan tersebut diatas, menunjukkan bahwa perkosaan merupakan bentuk perbuatan pemaksaan kehendak laki-laki terhadap perempuan yang berkaitan atau ditujukan pada pelampiasan nafsu seksual. Perbuatan ini dengan sendirinya baik secara moral maupun hukum melanggar norma kesopanan dan norma kesusilaan di masyarakat. Terhadap hal ini adalah wajar dan bahkan keharusan untuk menjadikan perbuatan perkosaan sebagai suatu tindak pidana yang diatur bentuk perbuatan dan pemidanannya dalam hukum pidana materiil yang berlaku.
b. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan Dalam KUHP
Mengenai tindak pidana perkosaan atau verkrachting, ketentuan yang mengatur mengenai bentuk perbuatan dan pemidanaannya terdapat dalam pasal 285 KUHP. Dirumuskan dalam pasal tersebut : “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”33)
Berdasarkan rumusan tindak pidana perkosaan dalam pasal 285 KUHP tersebut, dapat diuraikan unsur-unsur tindak pidana perkosaan adalah sebagai berikut:
a. Perbuatannya : memaksa,
b. Caranya : 1) dengan kekerasan,
2) dengan ancaman kekerasan;
c. seorang wanita bukan istrinya;
d. bersetubuh dengan dia.34)
Penjelasan unsur-unsur tindak pidana perkosaan diatas sebagai berikut:
a. Yang dimaksud dengan perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain itu, agar kehendak orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri.35) Berdasarkan pengertian ini pada intinya bahwa memaksa berarti di luar kehendak dari seseorang atau bertentangan dengan kehendak seseorang tersebut.
Satochid Kartanegara menyatakan : “perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai perbuatan sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut pada orang lain”36). Memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat juga dilakukan dengan ucapan. Perbuatan membuat seorang wanita “menjadi terpaksa” bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus dimasukkan dalam pengertian “memaksa” seorang wanita mengadakan hubungan kelamin, walaupun yang menanggalkan semua pakaian yang dikenakan oleh wanita adalah wanita itu sendiri.
b. Kekerasan (geweld) merupakan salah satu cara memaksa dalam Pasal 285 disamping cara memaksa lainnya yaitu dengan menggunakan ancaman kekerasan. Undang-undang tidak menjelaskan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan “kekerasan”, hanya dalam Pasal 89 KUHP yang merumuskan tentang perluasan arti dari kekerasan. Disebutkan : “Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.”
Beberapa pakar memberikan pengertian kekerasan sebagai berikut :
Menurut R. Soesilo kekerasan ialah “mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak syah”. Sedangkan Satochid mengartikan kekerasan adalah “setiap perbuatan yang terdiri atas digunakannya kekuatan badan yang tidak ringan atau agak berat”.37)
Secara lebih khusus, Adami Chazawi memberikan pengertian kekerasan dalam Pasal 285 sebagai berikut : “Kekerasan yaitu suatu cara/upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik”.38) Sifat kekerasan itu sendiri adalah abstrak, maksudnya ialah wujud konkritnya dari cara kekerasan ada bermacam-macam yang tidak terbatas. Misalnya memukul dengan kayu, menempeleng, menusuk, dan lain sebagainya.
Mengenai maksud dari ancaman kekerasan (bedreiging met geweld), undang-undang juga tidak memberikan penjelasannya. Namun dalam arrest Hoge Raad tanggal 5 Januari 1914 dan tanggal 18 Oktober 1915 mengenai “ancaman kekerasan” disyaratkan :
a) bahwa ancaman harus diucapkan dalam suatu keadaan yang demikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam, bahwa yang diancamkan tersebut benar-benar akan merugikan kebebasan pribadinya,
b) bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan seperti yang diancamkan.39)
Menurut Adami Chazawi, ancaman kekerasan diartikan yaitu :
“ancaman kekerasan fisik yang ditujukan pada orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan fisik, perbuatan fisik mana dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik yang besar atau lebih besar yang berupa kekerasan, yang akan dan mungkin segera dilakukan/diwujudkan kemudian bilamana ancaman itu tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diinginkan pelaku”.40)
Kekerasan atau ancaman kekerasan pada pasal 285 KUHP, ditujukan terhadap wanita itu sendiri dan bersifat sedemikian rupa sehingga tidak dimungkinkan baginya untuk berbuat lain selain membiarkan tubuhnya untuk disetubuhi. Antara kekerasan dengan ketidakberdayaan perempuan terdapat hubungan kausal, dan karena tidak berdaya inilah maka persetubuhan dapat terjadi. Jadi sebenarnya terjadinya persetubuhan pada dasarnya adalah akibat dari perbuatan memaksa dengan menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan tersebut.
c. Mengenai wanita bukan isterinya, disini persetubuhan dilakukan terhadap perempuan yang bukan istrinya. Ditentukannya hal tersebut karena perbuatan bersetubuh dimaksudkan sebagai perbuatan yang hanya dilakukan antara suami isteri dalam perkawinan.
d. Menurut M.H. Tirtamidjaja “mengadakan hubungan kelamin” atau “bersetubuh” berati persentuhan sebelah dalam kemaluan laki-laki dan perempuan yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan, tidak perlu telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan.41)
Menurut Kedokteran Forensik, persetubuhan didefinisikan sebagai suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke dalam vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa disertai ejakulasi.42)
Pada saat ini pengertian “bersetubuh” diartikan bila penis telah masuk (penetrasi) ke dalam vagina.
Berdasarkan unsur-unsur tindak pidana perkosaan dalam pasal 285 KUHP diatas, perkosaan tidaklah disebut perkosaan apabila tidak terbukti adanya persetubuhan, padahal untuk membuktikan adanya persetubuhan sangat sulit terlebih apabila korban sudah pernah menikah atau bukan gadis lagi (tidak virgin). Apabila dalam suatu kasus yang diduga sebagai perkosaan ternyata tidak terbukti adanya persetubuhan, kasus tersebut dapat diarahkan pada tindak pidana pencabulan dimana dalam tindak pidana tersebut tidak disyaratkan adanya persetubuhan.