Emile Durkheim
Namun Durkheim ternyata menyimpang dari kebiasaan ini, salah satunya mungkin disebabkan suatu pengalaman mistik yang dijalaninya. Bahkan karena pengaruh seorang guru wanita beragama katolik, ia memeluk agama Katolik. Pada akhirnya ia justru beralih menjadi seorang agnostic, seorang yang menangguhkan eksistensi Tuhan. Durkheim adalah seorang yang aktif dan patriotis. Dalam berkecamuknya perang tenaganya digunakan untuk mengobarkan semangat patriotisme membela negara. Bahkan perang juga merenggut nyawa anak tunggalnya Andre. Akibat terserang sakit jantung dan kehilangan putra tercintanya, Ia menemui ajal saat menjelang usia 60 tahun tahun 1917 di Fontaineblau.
2. Pendidikan dan Karir Intelektual Emile Durkheim
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, pada tahun 1881 Ia melanjutkan studinya di Paris, masuk Ecole Normale Superieure. Disinilah ia belajar dengan sejumlah orang terkenal seperti Henri Bergson, Jean Jaures serta Pierre Janet.
Di Ecole Normale Superieur Durkheim termasuk mahasiswa yang kritis. Ia tidak menyukai kurikulum tradisional dengan metode literer , yang pengajarannya bertumpu pada sastra-sastra klasik, termasuk bahasa Latin dan bahasa Yunani sementara ilmu pengetahuan kontemporer kurang mendapat prioritas. Padahal keinginannya adalah mendapatkan suatu dasar ilmu pengetahuan sehingga dapat membantu memberikan landasan bagi rekonstruksi moral masyarakat.
Di sekolah ini setidaknya terdapat dua orang professor, Fustel de Coulanges dan Emile Boutroux yang menanamkan pengaruh penting terhadap Durkheim. Ia akrab dengan Fustel, seorang Historiografi modern Perancis. Dari Fustel, Durkheim mulai tertarik pada masalah konsensus dan peranan tradisi yang menjadi sarana instrumental untuk mempertahankan integrasi sosial. Di sekolah ini pula ia terkesan dengan Boutroux. Ahli filsafat yang memperkenalkannya tulisan-tulisan August Comte. Suatu perkenalan yang juga membentuk corak pemikiran Durkheim dalam dunia keilmuan.
Seusai menyelesaikan studinya, pemikir kelahiran Perancis ini mengajar di sekolah menengah Atas (Lycees) daerah Paris selama lima tahun. Ia mendapatkan cuti satu tahun untuk melanjutkan studinya yang dihabiskannya di Jerman. Di sana ia diperkenalkan dengan laboratorium psikologi, dan psikolog eksperimental bernama Wilhelm Wundt yang merangsangnya menggeluti studi empiris dan ilmiah menyangkut perilaku manusia.
Ketika berusia 29 tahun, pemberian kuliah dan beberapa artikel yang ditulisnya membuat dia menjadi seorang ahli ilmu sosial muda yang terpandang. Terhadap kapasitas prestisius ini, ia dihargai dan diangkat sebagai dosen di Fakultas Pendidikan dan Fakultas Ilmu Sosial di Universitas Bordeaux. Kebutuhan untuk mengajar kursus memungkinkan Durkheim mengembangkan perspektif sosiologi mengenai kepribadian manusia yang dibentuk oleh masyarakat melalui wakil-wakilnya dalam sistem pendidikan. Dengan mengajar kursus, duduk dalam sejumlah komite pendidikan , Durkheim dianggap sebagai salah satu kekuatan penting dalam sistem pendidikan Perancis.
Pada tahun 1896 Durkheim diangkat menjadi professor dalam ilmu sosial. Dengan prestasi ini memperlihatkan kapasitasnya sebagai seorang intelektual, sebab ini adalah gelar profesor pertama dalam ilmu sosial Perancis. Dua tahun kemudian tonggak sejarah penting dicapai ketika ia berhasil mendirikan L’Anee Sociologique, jurnal ilmiah pertama untuk disiplin ilmu sosiologi. Jurnal ini mendapatkan sambutan hangat dan kehadirannya sangat bermanfaat bagi mereka yang ingin meningkatkan studi ilmiah tentang masyarakat.
Seiring dengan kian melonjaknya pengaruh dan karir akademis Durkheim, maka pada tahun 1899 ia diminta mengajar ke Universitas Sorbonne. Tujuh tahun berikutnya ia dipromosikan sebagai profesor penuh dalam ilmu pendidikan.
3. Latar Belakang Sosial Politik
Pada abad 18 M ditandai oleh tumbuh suburnya gerakan menuntut perubahan mendasar dan multi dimensional, di Perancis meletus pergolakan besar-besaran sebagai akibat lebih lanjut dari percikan api revolusi. Revolusi Perancis yang pada mulanya dipandang sebagai tonggak sejarah baru dimulainya perombakan struktur feodal, perjuangan cita-cita kebebasan dan etos egalitarianisme, ternyata juga membawa dampak politik yang buram
Dibawah pemerintahan Napoleon dimulailah usaha restorasi absolutisme, yaitu gerakan menghidupkan kembali tatanan sosial lama. Kemudian pada tahun 1870, Perancis dikalahkan Bismarck, Si kanselir besi dari Prusia yang sedang menyingkirkan hadangan politik dan militer dari proses penyatuan Jerman. Semua peristiwa ini menyebabkan Perancis terutama pada periode republik ketiga selalu tidak pernah lepas dari krisis politik. Bersamaan dengan itu krisis Ekonomi tak bisa diatasi sehingga memperbanyak pengangguran, bunuh diri terjadi dimana-mana dan korupsi menjadi gejala sosial.
Situasi politik tersebut meninggalkan kenangan pahit terhadap masyarakat dan menjadikannya pesimis dan tak lagi menaruh harapan terhadap revolusi Perancis yang menjanjikan perubahan dan harapan di masa datang. Mereka memang merindukan tatanan sosial baru, namun pilihan itu kemudian berganti menjadi bertobat dari individualisme. Mereka bahakan yakin sepenuhnya bahwa mengabdi pada pemutlakan kebutuhan atau keinginan individual merupakan kekeliruan besar. Sebaliknya mereka menghimbau agar masyarakat memulihkan kembali struktur sosial tradisional, struktur dimana kesatuan organis masyarakat, wewenang pemerintah dan dominasi kolektifitas atas individu menonjol.Efek negatif ini juga merambah kepada alam kognitif masyarakat. Orang-orang mulai lebih memperhatikan segi-segi irasioanal kehidupan. Latar belakang sosial seperti ini tentu juga dialami bahkan berpengaruh pada pribadi Durkheim.Bahkan dalam sepanjang hidupnya Durkheim secara langsung melibatkan diri dalam berbagai masalah sosial politik yang dihadapi negaranya. Dalam peristiwa Dreyfus, sebuah peristiwa politik yang mengakibatkan permusuhan komunitas cendekiawan dengan politisi, Durkheim menentukan sikap berani memihak Dreyfus. Peristiwa ini bermula dari terbongkarnya skandal di markas tentara Perancis dengan hilangnya dokumen penting yang dalam pengusutannya dilakukan tidak jujur. Dreyfus seorang opsir keturunan Yahudi dituduh sebagai pelakunya. Ia dibuang ke pulau selatan. Pemeriksaan selanjutnya justru membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Karena itu timbul dilema mestikah dia direhabilitasi atau ia dibiarkan menjadi korban demi menjaga nama baik angkatan darat. Dalam perdebatan ini, Durkheim bersama cendekiawan liberal dan progresif lainnya membela Dreyfus.
Dari sinilah bisa dipahami, mengapa keyakinan Durkheim untuk mengkaji masalah kohesivitas dan moralitas bersama tak pernah pudar. Namun penekanannya pada masalah tersebut tidak membawanya larut dalam sikap konservatif maupun tanggapan negatif sebagaimana ia dipertahankan oleh sebagian besar masyarakat sezamannya. Dia lebih tertarik untuk berusaha memahami dasar-dasar munculnya keteraturan sosial baru yang sesuai dengan cita-cita revolusi Perancis. Dia memang melihat dan merasakan kesulitan –kesulitan akut dalam periode peralihan seperti masyarakat pada umumnya. Namun begitu dia tetap optimis bahwa pengetahuan ilmiah tentang hak evolusi masyarakat dapat menyumbang terkonsolidasinya dasar moral dari proses penataan sosial yang sedang berjalan. Akhirnya, untuk merealisasikan keyakinan diatas, dia bertekad mendorong perubahan pendidikan dengan menanamkan kesadaran dalam diri setiap warga perasaan akan moralitas dan solidaritas terhadap bangsa sebgai satu keseluruhan.
4. Latar Belakang Pemikiran
Pengaruh pengaruh penting terhadap intelektual Durkheim yang telah matang datang dari tradisi-tradisi intelektual yang jelas mengandung unsur-unsur Perancis, disamping juga Jerman dan Inggris. Selain dua professor di Ecole Normale Superiure yang berperan dalam membentuk pemikirannya , Ia juga memetik ajaran dari generasi pemikir sebelumnya. Ia menerima inti pernyataan dari Rene Descartes yang menyatakan bahwa masalah pengetahuan tergantung dari sudut hubungan antara subyek yang mengetahui dan obyek eksternal yang diketahui. Berpijak dari ini fakta sosial jelas bersifat empiris. Masyarakat yang awalnya diasumsikan sebagai fakta sosial harus juga mengatur tindakan mereka dalam arti tidak saja mengatur lingkungan fisik tetapi juga merumuskan tujuan dan tolok ukur normatif perilaku dari anggota yang ada didalamnya.
JJ.Rousseau, seorang filosof utama aliran individualisme demokratis juga mempengaruhi Durkheim melalui sudut pandang tentang ciri khas kontrak sosial. Meskipun Rosseau menganut acuan hukum alam dan hak-hak alam yang begitu menonjol, namun bagaimanapun ia tetap menekankan agar integrasi sosial dari orang-orang yang dilahirkan bebas ke dalam masyarakat jangan dikaitkan dengan kedaulatan yang syaratnya memaksa atau mementingkan identitas alamiah dari kepentingan-kepentingan. Justru sebaliknya dia mempostulasikan bahwa pemecahan kepentingan pada tingkat proses tindakan integratif haruslah berasal dari kemauan otonom.
Hal inilah yang merupakan gagasan dasar tentang kontrak sosial, yang menetapkan pemisahan menjadi dua sisi antara individu dan masyarakat yang sesungguhnya bersifat sosial. Teori ini menganggap manusia sebagai individu dilengkapi seperangkat kepentingan atau hak yang terpisah dari masyarakat dan berusaha membentuk kebenaran moral pada masyarakat dalam arti individualistik. Dari kumpulan kebenaran-kebenaran individualistik itulah kontrak sosial dibentuk dan mendasarkan moralitas sosial pada kebijaksanaan yakni manusia wajib mematuhi kewenangan masyarakat demi keselamatan seluruh kepentingan.
Sebagai pengagum August Comte, Durkheim juga mewarisi paradigma positivismenya. Dia bahkan disebut sebagai murid yang ragu-ragu tetapi setia pada August Comte. Tafsiran-tafsiran yang saling mengisi dari Saint Simon dan Comte mengenai kemunduran feodalisme dan munculnya bentuk masyarakat modern merupakan landasan utama karya-karya Durkheim. Memang sebagian besar tema dari karya-karya Emile Durkheim semasa hidupnya berkenaan dengan usaha mendamaikan antara konsepsi Comte tentang tahapan positif perkembangan masyarakat dengan dengan peragaan Saint-Simon tentang ciri-ciri industrialisme.
Durkheim juga terpengaruh tradisi pemikiran Jerman yang pernah dihirup ketika melanjutkan studinya. Durkheim menyetujui Schaffle yang menegaskan adanya perbedaan radikal antara kehidupan organisme dan kehidupan masyarakat dan masyarakat merupakan sesuatu yang ideal yang mempunyai sifat-sifat spesifik tersendiri, yang bisa dipisahkan dari sifat-sifat anggotanya. Dalam pandangan Schaffle masyarakat bukanlah sekedar kumpulan dari individu-individu, akan tetapi merupakan benda hidup yang jauh ada sebelum adanya anggota masyarakat, dan yang mempunyai jiwa, kepentingan dan takdirnya serta hati nurani kolektif (conscience collective), sehingga peraturan-peraturan moral masyarakat harus ditaati individu ketika dalam struktur sosial. Jika Schaffle mengilhami Durkheim, tak ketinggalan Wilhelm Wundt. Salah satu sumbangannya adalah bahwa ia telah menunjukkan hal yang mendasar dari lembaga agama dan masyarakat.
Ahli psikologi eksperimental ini telah menunjukkan bahwa agama-agama primitif mengandung dua jenis gejala yang berhubungan satu sama lain. Suatu rangkaian renungan metafisik dengan aturan-aturan perilaku dan disiplin moral. Dengan melekatkan cita-cita untuk menjadi sasaran, maka agama merupakan suatu kekuatan dalam menciptakan kesatuan sosial. Durkheim menerima hal ini sebagai dalil umum. Dalam pandangannya cita-cita tadi mungkin berbeda dalam masyarakat yang berlainan. Namun orang tetap percaya bahwa tidak pernah ada manusia yang bersifat ideal bagaimanapun hebatnya dia. Oleh karena itu cita-cita sesuai dengan kebutuhan yang berakar kuat dalam sifat manusiawi kita.
Tapi dalam aspek lain Ia tidak sependapat dengan Wundt. Salah satu kritiknya adalah bahwa psikologi ini tidak sepenuhnya melihat sifat ganda dari pengaruh aturan-aturan moral dan agama. Padahal kegiatan moral dan aturan moral mempunyai mempunyai dua segi, pertama memikat perhatian berkat adanya unsur nilai-nilai positif. Kedua memiliki ciri khas berkaitan dengan kewajiban maupun larangan. Mengingat usaha untuk mencapai sasaran moral tidak selamanya mutlak harus berlandaskan atas cita-cita positif, kedua segi tersebut merupakan hal pokok agar peraturan moral bisa berfungsi.
Berbeda dengan sebelumnya dimana Durkheim cukup terpengaruh dengan pemikir Perancis dan jerman, dalam menelusuri konsepsi-konsepsi dari para pemikir Inggris ia banyak memberikan tanggapan kritis. Dia menolak dengan tegas kecenderungan individualisme Herbet Spencer karena hanya melihat masyarakat sebagai kelanjutan dari individu. Spencer mengasumsikan masyarakat berawal dari persetujuan kontraktual antara individu-individu yang bersepakat untuk mengejar kepentingan individunya. Sebaliknya Durkheim membantah bahwa kemungkinan persetujuan-persetujuan kontraktual itu mengandaikan sudah adanya masyarakat. Orang tidak mungkin menjalin hubungan dengan mereka yang belum memiliki ikatan sosial yang sama. Sekurang-kurangnya sudah ada konsensus moral yang berhubungan dengan sifat-sifat kontrak yang mengikat itu. Ia juga menolak metode mawas diri dari Hobbes yang menganjurkan ilmuwan mengambil jarak tanpa prasangka terhadap kenyataan sosial yang tidak diketahuinya. Menurutnya metode ini menipu sehingga Durkheim bersikukuh pada pendiriannya bahwa kenyataan sosial dapat ditemukan tidak dalam kesadaran individu melainkan dalam fakta sosial. Dan berbagai pemikiran itulah Durkheim membentuk pemikirannya.
5. Karya- Karya Ilmiah
Hampir seluruh tulisan yang dituangkan Emile Durkheim selalu menyisakan ruang untuk membahas masalah moralitas. Bagaikan seorang pecinta, pemikir Perancis ini, menurut E. Bougle, asyik menggeluti dan mengkaji esensi moralitas dan masyarakat, serta menjelaskan perkembangan moral memberikan sumbangan dalam mewujudkan cita-cita sosial dalam tindakan sosial.
Upaya mengembangkan ilmu pengetahuan positif ia buktikan lewat karyanya, Les Regles De La Methode Sosiologie (diterjemahkan dalam bahasa Inggris The Rules Of Sociologi Method,1964). Buku yang terbit pada tahun 1895 ini sering dianggap sebagai petunjuk klasik karena menjelaskan dasar-dasar metodologi dalam disiplin sosiologi.
Dua tahun sebelumnya, tahun 1893 Ia menerbitkan buku De La Division Du La Travail Social (diterjemahkan dalam bahasa Inggris The Division Of Labour In Society, 1964). Buku terbitan pertama ini bertujuan menganalisa kompleksitas pengaruh ataupun spesialisasi fungsi pembagian kerja ditengah-tengah struktur sosial, dan perubahan yang diakibatkannya.
Selanjutnya pada tahun 1897 Durkheim menulis buku Le Suicide (A Studi in Sociology) yang memuat kajian sistematis seputar bunuh diri. Tiga buah buku yang ditulis diatas ditambah buku Les Formes Elementaires De La Sociologie Religieuse ( diterjemahkan dalam bahasa Inggris The Elementary Forms Of The Religious Life,1964) merupakan buku yang diterbitkan sebelum ia meninggal. Buku Les Formes Elementaires De La Sociologie Religieuse ini menyajikan analisa dan uraian deskriptif tentang kepercayaan-kepercayaan dan ritual agama totemic orang Arunta di Australia dan menjadi rujukan bagi pengkajian agama melalui pendekatan sosiologis.
Karya-karya Emile Durkheim yang diterbitkan setelah ia meninggal adalah:
Education Et Sociologi (1922), Sociologie Et Philosophie (1924), L’ Education Morale (1925)- Yang Diterjemahkan Dalam Bahasa Indonesia Pendidikan Moral, Suatu Studi Teori Dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, Le Socialisme : Sa Definition, Ses Debuts La Doctrine Saint-Simonne ( 1928), L’evolution Pedagogique En France (1938), Le Cons, De Sociologie: Phisique Des Moerers Et Du Droit Pragmatisme Et Sociologie (1955), Montesqieu En Rosseau: For Runners Of Sociology (1965), Dan Durkheim Essays On Moral And Education (1979).