Kritis dalam perspektif agama
Kritis dalam perspektif agama bisa dimaknai sebagai amar makruf dan nahi munkar. Artinya, kritis merupakan bentuk lain dari memerintahkan kebajikan dan mencegah kemunkaran. Meminjam istilah Kuntowijoyo, amar makruf dipahami sebagai proses humanisasi (memanusiakan manusia) dan nahi munkar sebagai proses liberasi (pembebasan) dari ketertindasan. Dua proses ini tentunya dalam bingkai keislaman (transedensi) yang penuh ketundukan dan kedamaian. Itulah yang dinamakan oleh Kuntowijoyo sebagai Ilmu Sosial Profetik sebagaimana yang diilhami oleh salah satu ayat al-Qur’an surat Ali Imran 110 yang berbunyi: ”Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan (dikeluarkan) untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah SWT”.
Amar makruf bisa berarti mengajak seseorang berdoa, berdzikir, dan shalat, sampai yang semi-sosial seperti menghormati orang tua, gotong royong sesama teman, serta yang bersifat kolektif seperti mendirikan pemerintahan yang bersih dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), atau membangun sistem keamanan sosial untuk kesejahteraan rakyat. Amar makruf maknanya bisa disamakan dengan humanisasi. Humanisasi berarti memanusiakan manusia dan menghilangkan ketergantungan dari orang lain. Intinya, seorang pelajar harus melawan segala bentuk dehumanisasi (tidak memanusiakan manusia).
Dehumanisasi terjadi di antaranya karena adanya alat-alat teknologi, baik berupa alat-alat fisik seperti HP, tivi, internet, games, dan alat-alat kecantikan, serta barang-barang elektronik lainnya. Ini bukan berarti kita anti-globalisasi dan gaptek terhadap alat-alat modern. Tetapi sebagai bentuk kritis dan tidak menerima sesuatu secara mentah-mentah. Karena, teknologi sangat berpengaruh sekali dalam kehidupan manusia. Dia bisa membuat manusia menjadi terasing dari lingkungan sekitarnya. Orang mudah tertipu dengan mesin buatan mereka sendiri, sehingga hilang kesadarannya sebagai manusia yang mampu berpikir mandiri.
Nahi munkar bisa berarti mencegah teman dari mengonsumsi narkoba, melarang berkelahi, memberantas perjudian, sampai membela nasib kaum buruh dan tani, serta mengusir penjajah. Kita harus berani melawan produk-produk Barat yang menindas budaya kita dan berani menentang ketidakadilan adanya kebijakan pembangunan mall-mall bertingkat yang membuat kesenjangan sosial semakin jelas antara si kaya dan si miskin.
Makna nahi munkar bisa disandingkan dengan liberasi yang berarti memerdekakan/membebaskan. Sasaran liberasi adalah sistem pengetahuan, sistem ekonomi, dan sistem politik. Pembebasan dari sistem pengetahuan adalah usaha kita untuk membebaskan masyarakat dari sistem pengetahuan yang materialistis-kapitalistis, dari dominasi struktur tatanan masyarakat, misalnya dari klas dan seks. Inilah yang menyebabkan manusia menjadi licik dan ingin menang sendiri. Kita juga harus melakukan aksi pembebasan dari sistem ekonomi yang selalu menindas rakyat miskin, seperti melawan adanya kenaikan harga BBM dan TDL (Tarif Dasar Listrik).
Pada perspektif yang sangat filosofis, berpikir kritis sama saja dengan berpikir radikal. Radix artinya akar, sehingga berpikir kritis artinya berpikir sampai ke akar suatu permasalahan, mendalam, bahkan melewati batas-batas fisik yang ada (metafisik). Sebagai contoh, ketika kita berpikir kritis tentang sebuah gunung, maka kita tidak hanya berpikir bahwa gunung itu setumpukan tanah dan pepohonan, melainkan ada apa di balik ciptaan gunung yang tinggi dan besar itu. Jadi, kita bisa berpikir beyond atau melampaui. Kritis dalam artian ini menemukan makna terdalam dari sesuatu yang berada dalam suatu persoalan tertentu (Musa Asyarie, 2002).
Nah, lebih jauh kita akan menelusuri makna kritis secara historis dan sedikit rumit. Tapi nggak apa-apa. Karena tulisan ini menginginkan makna kritis yang cukup mendasar dan teoritis. Kunci utama dalam memahami teori kritis adalah kata ‘kritik’. Kritik merupakan program yang dimiliki oleh Madzab Frankfurt untuk merumuskan sebuah teori yang emansipatoris tentang masyarakat modern. Madzhab Frankfurt merupakan aliran sosial dalam teori kritis yang muncul di Jerman (Universitas Frankfurt) pada awal abad ke-20 dengan tiga tokoh utama Teodor Adorno, Horkheimer, dan Herbert Marcus. Tiga tokoh ini sering disebut sebagai generasi awal dari Madzhab Frankfurt yang kemudian diteruskan dengan generasi kedua yaitu Jurgen Habermas.
Madzhab Frankfurt sebenarnya satu aliran yang melakukan kritik terhadap pemikiran Karl Marx dan para penerusnya (Marxian). Walaupun sebenarnya Madzhab Frankfurt itu sendiri tidak bisa dipisahkan sejarahnya dari perkembangan pemikiran Marxis. Karena bagaimana pun Madzhab Frankfurt merupakan perkembangan lebih lanjut dari Marxisme di Barat. Hanya saja, Madzhab Frankfurt selalu melancarkan kritik-kritiknya terhadap Marxis yang menimbulkan kesan bahwa Madzhab Frankfurt anti-Marx, padahal sebenarnya tidak. Kemudian, pada perkembangan selanjutnya Madzhab Frankfurt menuai banyak kritik dari kalangan mahasiswa Jerman karena dianggap tidak mampu mewujudkan inti pesan dari Marx yaitu, membebaskan manusia yang tertindas akibat adanya perbedaan klas borjuis dan klas proletar. Kelemahan mereka memang terletak pada keterbatasn teori yang mereka miliki (Francisco Budi Hardiman, 1993).
Baiklah, kita tidak akan berlama-lama membahas tentang Madzhab Frankfurt, tetapi kita langsung memfokuskan pada arti kritis itu sendiri dalam perkembangannya pada masa-masa pencerahan abad ke-17 sampai abad ke-19 (Renaissance di Prancis dan Aufklarung di Jerman). Menurut Madzhab Frankfurt, ada empat pemikir kritis pada abad pencerahan ini yang bisa dijadikan rujukan untuk memahami makna kritis. Mereka itu adalah Immanuel Kant (1724-1804), GWF. Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-1883), dan Sigmund Freud (1856-1939). Kita akan membahas kritis dalam arti Kantian, Hegelian, Marxian, dan Freudian. Berikut ini adalah ulasannya.
Pertama, kritis dalam arti Kantian adalah melawan dogmatisme (sebuah ajaran yang tidak bisa diganggu gugat) dengan sikap skeptisisme. Dogma biasanya terdapat dalam ajaran agama yang harus diterima kebenarannya tanpa dibantah dan diragukan. Karena setiap agama pasti memiliki dogma. Skeptisisme merupakan sebuah sikap keraguan yang sangat mendalam dalam melihat sebuah kebenaran serta sikap tidak lekas percaya pada sebuah kebenaran tertentu sebelum diuji terlebih dahulu keilmiahannya. Apakah sesuai dengan fakta di lapangan atau tidak. Karena itu, rasio atau akal dituntut sangat berperan dalam menentukan sebuah kebenaran, baik yang berbentuk fisik maupun yang mistik.
Pengertian kritis dalam arti Kantian memang cukup berani. Kita diajak untuk ragu terhadap segala sesuatu. Ibarat ingin membeli buah mangga di pasar. Ketika kita ingin memastikan apakah mangga itu tidak busuk semua, maka ambillah sebuah keranjang lalu pilihlah mangga itu satu per satu dan masukkan ke dalam keranjang secara perlahan-lalan. Dengan demikian kita akan yakin, bahwa mangga tersebut tidak ada yang busuk. Prinsipnya, kritis dalam arti Kantian adalah kegiatan menguji valid atau tidaknya sebuah pengetahuan tanpa ada prasangka/asumsi. Kegiatan ini hanya dilakukan oleh akal (Francisco Budi Hardiman, 1993).
Kedua, kritis dalam arti Hegelian tidak sama dengan Kantian. Justru Hegel melakukan kritik terhadap konsepsi kritis yang dibangun oleh Kant. Menurut Hegel, Kant terlalu mendewa-dewakan akal. Seolah akal sudah sempurna dengan keutuhan akal itu sendiri. Padahal, menurut Hegel, akal tidak bisa dipisahkan dari proses yang cukup panjang dari perjalanan sejarah pembentukan akal itu sendiri. Justru, akal akan semakin sadar dan menemukan kesadaran tertingginya ketika akal bertemu dengan rintangan-rintangan yang cukup panjang.
Artinya, kritis dalam konsep Hegelian merupakan refleksi atau refleksi diri atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan, dan kontradiksi-kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri dari akal dalam sejarah. Dengan kata lain, kritis juga berarti proses menjadi sadar atau refleksi atas asal-usul kesadaran. Sederhananya, kritis berarti dialektika. Karena bagi Hegel, kesadaran tertinggi muncul ketika kita telah berdialektika dengan rintangan-rintangan tersebut (Francisco Budi Hardiman, 1993).
Jadi, kritis itu mengisyaratkan adanya dialektika tesis-antitesis-sintesa. Ada sebuah teori, kemudian teori itu dihujat akan kelemahan-kelemahannya karena dianggap tidak bisa menjawab anomali-anomali (kerusakan) yang ada, sehingga melahirkan teori baru. Teori baru itulah yang dinamakan sintesa. Begitu selanjutnya, teori baru tersebut mengalami dialektika lagi dan dihujat karena tidak bisa menjawab permasalahan yang ada, sehingga digantikan oleh teori baru berupa sintesa yang lebih baru.
Ketiga, kritis dalam arti Marxian adalah upaya pembebasan diri atau emansipasi dari penindasan yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat (Francisco Budi Hardiman, 1993). Teori kritis ini tidak bisa dipisahkan dari realitas di mana Marx berada, bahwa pada saat itu terjadi penindasan antara kaum pemilik modal alias borjuis (sang majikan) terhadap rakyat jelata yang menjadi budak. Untuk melanjutkan hidup mereka, terpaksa para budak itu bekerja untuk memenuhi ketakanan-tekanan para pemilik pemodal. Dari perbedaan klas inilah, Marx ingin membebaskan ketertidasan kaum proletar dari kaum borjuis dengan melukiskan hubungan-hubungan ekonomi-politik. Marx menganalisis, siapa saja pihak yang diuntungkan dan siapa saja pihak yang dirugikan.
Kritis yang diinginkan Marx adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana yang terdapat dalam butir kelima dari Pancasila, dasar-dasar dari negara Republik Indonesia. Kritis ala Marx berbeda dengan Hegel. Menurut Marx, Hegel terlalu jauh dari realitas hidup dan tidak menyentuh pada hubungan antarmasyarakat (idealisme). Karena, kita hidup selalu mengalami kontradiksi dan pertentangan. Dengan melukiskan adanya klas borjuis dan proletar tersebut (materialisme), kritis yang diinginkan Marx bertujuan pada pembebasan dari ketertindasan. Karena itu, sebenarnya Marx bisa dianggap cukup relegius. Karena tujuan-tujuan tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip hidup dalam semua ajaran agama. Hanya saja dia atheis.
Keempat, kritis dalam arti Freudian hampir sama dengan Hegel. Hanya saja, Frued lebih spesifik pada individu manusia, terutama pada perkembangan psikisnya. Kritis dimaknai oleh Freud sebagai refleksi baik dari individu maupun masyakarat atas konflik-konflik psikis yang menghasilkan ketidakbebasan internal sehingga dengan cara refleksi itu individu dan masyakarat tersebut dapat membebaskan diri dari kekuatan-kekuatan luar yang mengacaukan kesadarannya. Singkatnya, kritis Freudian adalah pembebasan individu dan masyakarat dari yang irrasional (tidak masuk akal) menjadi rasional (masuk akal) dan yang dari ketidaksadaran menjadi kesadaran.
Lagi-lagi, pengertian kritis ala Freud tidak bisa dilepaskan konteks sosio-historis di mana dia berada, bahwa pada saat dia hidup sebagai psikolog, banyak pasien-pasiennya yang mengalami gangguan kejiawaan seperti histeria, fobia, neurosis, dan macam-macam psikopatologis lainnya (Francisco Budi Hardiman, 1993). Subyek pembahasan kritis ala Freud adalah manusia itu sendiri.
Amar makruf bisa berarti mengajak seseorang berdoa, berdzikir, dan shalat, sampai yang semi-sosial seperti menghormati orang tua, gotong royong sesama teman, serta yang bersifat kolektif seperti mendirikan pemerintahan yang bersih dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), atau membangun sistem keamanan sosial untuk kesejahteraan rakyat. Amar makruf maknanya bisa disamakan dengan humanisasi. Humanisasi berarti memanusiakan manusia dan menghilangkan ketergantungan dari orang lain. Intinya, seorang pelajar harus melawan segala bentuk dehumanisasi (tidak memanusiakan manusia).
Dehumanisasi terjadi di antaranya karena adanya alat-alat teknologi, baik berupa alat-alat fisik seperti HP, tivi, internet, games, dan alat-alat kecantikan, serta barang-barang elektronik lainnya. Ini bukan berarti kita anti-globalisasi dan gaptek terhadap alat-alat modern. Tetapi sebagai bentuk kritis dan tidak menerima sesuatu secara mentah-mentah. Karena, teknologi sangat berpengaruh sekali dalam kehidupan manusia. Dia bisa membuat manusia menjadi terasing dari lingkungan sekitarnya. Orang mudah tertipu dengan mesin buatan mereka sendiri, sehingga hilang kesadarannya sebagai manusia yang mampu berpikir mandiri.
Nahi munkar bisa berarti mencegah teman dari mengonsumsi narkoba, melarang berkelahi, memberantas perjudian, sampai membela nasib kaum buruh dan tani, serta mengusir penjajah. Kita harus berani melawan produk-produk Barat yang menindas budaya kita dan berani menentang ketidakadilan adanya kebijakan pembangunan mall-mall bertingkat yang membuat kesenjangan sosial semakin jelas antara si kaya dan si miskin.
Makna nahi munkar bisa disandingkan dengan liberasi yang berarti memerdekakan/membebaskan. Sasaran liberasi adalah sistem pengetahuan, sistem ekonomi, dan sistem politik. Pembebasan dari sistem pengetahuan adalah usaha kita untuk membebaskan masyarakat dari sistem pengetahuan yang materialistis-kapitalistis, dari dominasi struktur tatanan masyarakat, misalnya dari klas dan seks. Inilah yang menyebabkan manusia menjadi licik dan ingin menang sendiri. Kita juga harus melakukan aksi pembebasan dari sistem ekonomi yang selalu menindas rakyat miskin, seperti melawan adanya kenaikan harga BBM dan TDL (Tarif Dasar Listrik).
Pada perspektif yang sangat filosofis, berpikir kritis sama saja dengan berpikir radikal. Radix artinya akar, sehingga berpikir kritis artinya berpikir sampai ke akar suatu permasalahan, mendalam, bahkan melewati batas-batas fisik yang ada (metafisik). Sebagai contoh, ketika kita berpikir kritis tentang sebuah gunung, maka kita tidak hanya berpikir bahwa gunung itu setumpukan tanah dan pepohonan, melainkan ada apa di balik ciptaan gunung yang tinggi dan besar itu. Jadi, kita bisa berpikir beyond atau melampaui. Kritis dalam artian ini menemukan makna terdalam dari sesuatu yang berada dalam suatu persoalan tertentu (Musa Asyarie, 2002).
Nah, lebih jauh kita akan menelusuri makna kritis secara historis dan sedikit rumit. Tapi nggak apa-apa. Karena tulisan ini menginginkan makna kritis yang cukup mendasar dan teoritis. Kunci utama dalam memahami teori kritis adalah kata ‘kritik’. Kritik merupakan program yang dimiliki oleh Madzab Frankfurt untuk merumuskan sebuah teori yang emansipatoris tentang masyarakat modern. Madzhab Frankfurt merupakan aliran sosial dalam teori kritis yang muncul di Jerman (Universitas Frankfurt) pada awal abad ke-20 dengan tiga tokoh utama Teodor Adorno, Horkheimer, dan Herbert Marcus. Tiga tokoh ini sering disebut sebagai generasi awal dari Madzhab Frankfurt yang kemudian diteruskan dengan generasi kedua yaitu Jurgen Habermas.
Madzhab Frankfurt sebenarnya satu aliran yang melakukan kritik terhadap pemikiran Karl Marx dan para penerusnya (Marxian). Walaupun sebenarnya Madzhab Frankfurt itu sendiri tidak bisa dipisahkan sejarahnya dari perkembangan pemikiran Marxis. Karena bagaimana pun Madzhab Frankfurt merupakan perkembangan lebih lanjut dari Marxisme di Barat. Hanya saja, Madzhab Frankfurt selalu melancarkan kritik-kritiknya terhadap Marxis yang menimbulkan kesan bahwa Madzhab Frankfurt anti-Marx, padahal sebenarnya tidak. Kemudian, pada perkembangan selanjutnya Madzhab Frankfurt menuai banyak kritik dari kalangan mahasiswa Jerman karena dianggap tidak mampu mewujudkan inti pesan dari Marx yaitu, membebaskan manusia yang tertindas akibat adanya perbedaan klas borjuis dan klas proletar. Kelemahan mereka memang terletak pada keterbatasn teori yang mereka miliki (Francisco Budi Hardiman, 1993).
Baiklah, kita tidak akan berlama-lama membahas tentang Madzhab Frankfurt, tetapi kita langsung memfokuskan pada arti kritis itu sendiri dalam perkembangannya pada masa-masa pencerahan abad ke-17 sampai abad ke-19 (Renaissance di Prancis dan Aufklarung di Jerman). Menurut Madzhab Frankfurt, ada empat pemikir kritis pada abad pencerahan ini yang bisa dijadikan rujukan untuk memahami makna kritis. Mereka itu adalah Immanuel Kant (1724-1804), GWF. Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-1883), dan Sigmund Freud (1856-1939). Kita akan membahas kritis dalam arti Kantian, Hegelian, Marxian, dan Freudian. Berikut ini adalah ulasannya.
Pertama, kritis dalam arti Kantian adalah melawan dogmatisme (sebuah ajaran yang tidak bisa diganggu gugat) dengan sikap skeptisisme. Dogma biasanya terdapat dalam ajaran agama yang harus diterima kebenarannya tanpa dibantah dan diragukan. Karena setiap agama pasti memiliki dogma. Skeptisisme merupakan sebuah sikap keraguan yang sangat mendalam dalam melihat sebuah kebenaran serta sikap tidak lekas percaya pada sebuah kebenaran tertentu sebelum diuji terlebih dahulu keilmiahannya. Apakah sesuai dengan fakta di lapangan atau tidak. Karena itu, rasio atau akal dituntut sangat berperan dalam menentukan sebuah kebenaran, baik yang berbentuk fisik maupun yang mistik.
Pengertian kritis dalam arti Kantian memang cukup berani. Kita diajak untuk ragu terhadap segala sesuatu. Ibarat ingin membeli buah mangga di pasar. Ketika kita ingin memastikan apakah mangga itu tidak busuk semua, maka ambillah sebuah keranjang lalu pilihlah mangga itu satu per satu dan masukkan ke dalam keranjang secara perlahan-lalan. Dengan demikian kita akan yakin, bahwa mangga tersebut tidak ada yang busuk. Prinsipnya, kritis dalam arti Kantian adalah kegiatan menguji valid atau tidaknya sebuah pengetahuan tanpa ada prasangka/asumsi. Kegiatan ini hanya dilakukan oleh akal (Francisco Budi Hardiman, 1993).
Kedua, kritis dalam arti Hegelian tidak sama dengan Kantian. Justru Hegel melakukan kritik terhadap konsepsi kritis yang dibangun oleh Kant. Menurut Hegel, Kant terlalu mendewa-dewakan akal. Seolah akal sudah sempurna dengan keutuhan akal itu sendiri. Padahal, menurut Hegel, akal tidak bisa dipisahkan dari proses yang cukup panjang dari perjalanan sejarah pembentukan akal itu sendiri. Justru, akal akan semakin sadar dan menemukan kesadaran tertingginya ketika akal bertemu dengan rintangan-rintangan yang cukup panjang.
Artinya, kritis dalam konsep Hegelian merupakan refleksi atau refleksi diri atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan, dan kontradiksi-kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri dari akal dalam sejarah. Dengan kata lain, kritis juga berarti proses menjadi sadar atau refleksi atas asal-usul kesadaran. Sederhananya, kritis berarti dialektika. Karena bagi Hegel, kesadaran tertinggi muncul ketika kita telah berdialektika dengan rintangan-rintangan tersebut (Francisco Budi Hardiman, 1993).
Jadi, kritis itu mengisyaratkan adanya dialektika tesis-antitesis-sintesa. Ada sebuah teori, kemudian teori itu dihujat akan kelemahan-kelemahannya karena dianggap tidak bisa menjawab anomali-anomali (kerusakan) yang ada, sehingga melahirkan teori baru. Teori baru itulah yang dinamakan sintesa. Begitu selanjutnya, teori baru tersebut mengalami dialektika lagi dan dihujat karena tidak bisa menjawab permasalahan yang ada, sehingga digantikan oleh teori baru berupa sintesa yang lebih baru.
Ketiga, kritis dalam arti Marxian adalah upaya pembebasan diri atau emansipasi dari penindasan yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat (Francisco Budi Hardiman, 1993). Teori kritis ini tidak bisa dipisahkan dari realitas di mana Marx berada, bahwa pada saat itu terjadi penindasan antara kaum pemilik modal alias borjuis (sang majikan) terhadap rakyat jelata yang menjadi budak. Untuk melanjutkan hidup mereka, terpaksa para budak itu bekerja untuk memenuhi ketakanan-tekanan para pemilik pemodal. Dari perbedaan klas inilah, Marx ingin membebaskan ketertidasan kaum proletar dari kaum borjuis dengan melukiskan hubungan-hubungan ekonomi-politik. Marx menganalisis, siapa saja pihak yang diuntungkan dan siapa saja pihak yang dirugikan.
Kritis yang diinginkan Marx adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana yang terdapat dalam butir kelima dari Pancasila, dasar-dasar dari negara Republik Indonesia. Kritis ala Marx berbeda dengan Hegel. Menurut Marx, Hegel terlalu jauh dari realitas hidup dan tidak menyentuh pada hubungan antarmasyarakat (idealisme). Karena, kita hidup selalu mengalami kontradiksi dan pertentangan. Dengan melukiskan adanya klas borjuis dan proletar tersebut (materialisme), kritis yang diinginkan Marx bertujuan pada pembebasan dari ketertindasan. Karena itu, sebenarnya Marx bisa dianggap cukup relegius. Karena tujuan-tujuan tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip hidup dalam semua ajaran agama. Hanya saja dia atheis.
Keempat, kritis dalam arti Freudian hampir sama dengan Hegel. Hanya saja, Frued lebih spesifik pada individu manusia, terutama pada perkembangan psikisnya. Kritis dimaknai oleh Freud sebagai refleksi baik dari individu maupun masyakarat atas konflik-konflik psikis yang menghasilkan ketidakbebasan internal sehingga dengan cara refleksi itu individu dan masyakarat tersebut dapat membebaskan diri dari kekuatan-kekuatan luar yang mengacaukan kesadarannya. Singkatnya, kritis Freudian adalah pembebasan individu dan masyakarat dari yang irrasional (tidak masuk akal) menjadi rasional (masuk akal) dan yang dari ketidaksadaran menjadi kesadaran.
Lagi-lagi, pengertian kritis ala Freud tidak bisa dilepaskan konteks sosio-historis di mana dia berada, bahwa pada saat dia hidup sebagai psikolog, banyak pasien-pasiennya yang mengalami gangguan kejiawaan seperti histeria, fobia, neurosis, dan macam-macam psikopatologis lainnya (Francisco Budi Hardiman, 1993). Subyek pembahasan kritis ala Freud adalah manusia itu sendiri.