puasa
Puasa adalah karakteristik moral dan spiritual yang unik dalam Islam. Puasa secara bahasa adalah menahan diri dari sesuatu. Sedangkan secara terminologi, adalah menahan diri pada siang hari dari berbuka dengan disertai niat berpuasa bagi orang yang telah diwajibkan sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.
Detailnya, puasa adalah menjaga dari pekerjaan-pekerjaan yang dapat membatalkan puasa seperti makan, minum, dan bersenggama pada sepanjang hari tersebut (sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Puasa diwajibkan atas seorang muslim yang baligh, berakal, bersih dari haidl dan nifas, disertai niat ikhlas semata-mata karena Allah ta'aala.
Adapun rukunnya adalah menahan diri dari makan dan minum, menjaga kemaluannya (tidak bersenggama), menahan untuk tidak berbuka, sejak terbitnya ufuk kemerah-merahan (fajar subuh) di sebelah timur hingga tenggelamnya matahari. Firman Allah swt : "Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar". (Al-Baqarah: 187).
Ibn 'Abdul Bar dalam hadis Rasulullah saw "Sesungguhnya Bilal biasa azan pada malam hari, maka makan dan minumlah kamu sampai terdengarnya azan Ibn Ummi Maktum", menyatakan bahwa benang putih adalah waktu subuh dan sahur hanya dikerjakan sebelum waktu fajar".
Menurut bahasa, puasa ialah menahan diri terhadap sesuatu (imsak). Sedangkan menurut istilah, puasa ialah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari dengan disertai niat.
Puasa itu bukan hanya dilakukan dengan fisik, tetapi juga dengan psikologis dan spiritual. Puasa bukan hanya menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh, tetapi juga merupakan latihan jiwa untuk mengatur keinginan, kemarahan, kebencian. Puasa yang hanya dilakukan dengan fisik semata, tetap disebut puasa. Tapi tingkatan nya rendah (‘awaaam), sebab hanya menahan lapar dan dahaga. Sedangkan puasa yang dilakukan dengan fisik, psikologis, dan spiritual, tingkatannya lebih tinggi sebab, mampu membawa kita menyadari kelemahan diri dan mengakui akan keagungan serta kebebasan Allah SWT. Selain itu, kita pun diajak untuk merasakan kehadiran Tuhan di setiap denyut nadi dan tarikan napas.
Kita harus bersyukur bahwa Allah SWT telah menempatkan puasa sebagai salah satu ibadah yang isttimewa. Dengan berpuasa, berarti kita sedang berdialog mesrah dengan Sang Kekasih (Allah SWT).
Oleh karena itu, sebagai hamba yang ingin menjadi diri yang sempurna (insan kamil), puasa adalah media istimewa untuk meraih tujuan itu. Puasa yang dilakukan dengan totalitas lahir dan batin, akan membawa kita pada “kesempurnaan” diri. Apabila oarang yang puasa mampu melaksanakan dan memenuhi tuntunan tersebut, niscaya Allah akan memberikan dua kebahagiaan besar. Yaitu apabila ia berbuka, ia merasa gembira dengan buka puasanya, dan apabila berjumpa dengan Rabbnya, ia berbahagia dengan puasanya
Demikianlah beberapa keutamaan Ibadah puasa. Hakikatnya bagi kaum Muslimin, disamping sebagai salah satu rukun Islam, juga menjadi perisai yang akan menjauhkan seseorang dari segala azab neraka menuju pengampunan, rahmat, dan kasih sayang-NYA.
Dalam sebuah hadits qudsi, nabi Muhammad SAW bersabda bahwa Allah SWT berfirman :
“ semua amalan anak cucu adam adalah baginya, kecuali puasa. Maka sesungguhnya ia untuk-KU dan AKU lah yang akan membalasnya. Puasa itu merupakan tameng (dari kejahatan). Oleh karena itu, jika seseorang diantara kalian berpuasa, jangan berlaku kotor dan terus berkata keras(berteriak), dan jangan pula bersikap dengan sikapnya orang-orang bodoh. Apabila ada seseorang mencelanya atau mengajaknya bermusuhan/bertengkar,hendaknya dia berkata(kepadanya),’sesungguhnya saya adalah orang yang berpuasa’- sebanyak dua kali demi zat yang diri Muhammad berada di genggamannya sesungguhnya bau mulut oranng yang berpuasa disisi Allah pada hari kiamat (kelak) jauh lebih harum daripada semerbaknya minyak kasturi. Disamping itu, orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan yang dirasakannya. (yaitu) apabila ia berbuka ia merasa gembira dengan buka puasanya, dan apabila berjumpa dengan rabbnya ia berbahagia dengan puasanya” (H.R Muslim)
Untuk mendapatkan manfaat puasa, hendaknya kita mampu menahan diri dari menyakiti orang lain sebagai wujud kemaslahatan (kebaikan) bersama serta lingkungannya. Sebagaimana sabda Rasullullah SAW dalam hadits riwayat muslim :
“ Jika seseorang diantara kalian berpuasa, jangan berlaku kotor dan berkata keras(berteriak), adan janganpula bersikap dengan sikapnya orang-orang bodoh apabila ada seseorang yang mencelanya atau (mengajak) bermusuhan atau bertengkar, hendaknya dia berkata (kepada), ‘sesungguhnya saya adalah orang yang berpuasa’”.
Demikianlah beberapa keutamaan dan keistimewaan ibadah puasa. Hakikatnya bagi kaumm muslimin, disamping sebagai rukun islam, juga menjadi perisai yang akan menjauhkan seseorang dari segala azaba neraka menuju pengampunan rahmat dan kasih sayangnya.
II. DALIL dan DASAR PUASA.
• Wajibnya Puasa Ramadhan Dan Firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berPuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."(al-Baqarah: 183).
917. Ibnu Umar r.a. berkata, "Nabi puasa pada hari Asyura dan beliau memerintahkan supaya orang berPuasa padanya." (Dalam satu riwayat: Ibnu Umar berkata, 'Pada hari Asyura itu orang-orang jahiliah biasa berPuasa 5/154). Setelah puasa Ramadhan diwajibkan, ditinggalkannya puasa Asyura.' (Dan, dalam satu riwayat: Ibnu Umar berkata, 'Orang yang mau berPuasa, ia berPuasa; dan barangsiapa yang tidak hendak berPuasa, maka dia tidak berPuasa.') Biasanya Abdullah (Ibnu Umar) tidak puasa pada hari itu, kecuali kalau bertepatan dengan hari yang ia biasa berPuasa pada hari itu."
• Keutamaan puasa.
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Abu Hurairah yang akan disebutkan pada '9 - BAB'.").
• Puasa Itu Adalah Kafarat (Penghapus Dosa).
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Hudzaifah yang tertera pada nomor 293 di muka.").
• Pintu Rayyan Itu Khusus Untuk Orang-Orang yang BerPuasa
918. Sahl r.a. mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Sesungguhnya di dalam surga terdapat (delapan pintu. Di sana 4/88) ada pintu yang disebut Rayyan, yang besok pada hari kiamat akan dimasuki oleh orang-orang yang berPuasa. Tidak seorang selain mereka yang masuk lewat pintu itu. Dikatakan, 'Dimanakah orang-orang yang berPuasa?' Lalu mereka berdiri, tidak ada seorang pun selain mereka yang masuk darinya. Apabila mereka telah masuk, maka pintu itu ditutup. Sehingga, tidak ada seorang pun yang masuk darinya."
919. Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang memberi nafkah dua istri (dengan apa pun 4/193) di jalan Allah, maka ia akan dipanggil dari pintu-pintu surga, 'Wahai hamba Allah, ini lebih baik.' (Dan dalam satu riwayat: Ia akan dipanggil oleh para penjaga surga, yakni oleh tiap-tiap penjaga pintu surga, 'Hai kemarilah.' 2/213). Barangsiapa yang ahli shalat, maka ia dipanggil dari pintu shalat. Barangsiapa yang ahli jihad, maka ia dipanggil dari pintu jihad. Barangsiapa yang ahli puasa, maka ia dipanggil dari (pintu puasa dan) pintu Rayyan. Dan, barangsiapa yang ahli sedekah, maka ia dipanggil dari pintu sedekah." Abu Bakar berkata, "(Tebusan) engkau adalah dengan ayah dan ibuku, wahai Rasulullah. Apakah ada keperluan bagi yang dipanggil dari seluruh pintu itu? Apakah ada orang yang dipanggil dari seluruh pintu itu?" (Dalam satu riwayat: "Wahai Rasulullah, itu yang tidak binasa?") Beliau bersabda, "Ya, dan aku berharap engkau termasuk golongan mereka."
• Apakah Boleh Disebut Ramadhan Saja ataukah Bulan Ramadhan? Dan, Orang yang Berpendapat bahwa Hal Itu Sebagai Kelonggaran.
Nabi bersabda, "Barangsiapa yang berPuasa Ramadhan."[1]
Beliau juga pernah, "Janganlah kamu semua mendahului Ramadhan (yakni sebelum tibanya)."[2]
920. Abu Hurairah r.a. berkata, "Rasulullah bersabda, 'Apabila bulan Ramadhan datang, maka pintu-pintu langit (dalam satu riwayat: pintu-pintu surga) dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dirantai."
• Orang yang BerPuasa Ramadhan Karena Iman dan Mengharapkan Pahala dari Allah Serta Keikhlasan Niat
Aisyah r.a. mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Orang-orang akan dibangkitkan dari kuburnya sesuai dengan niatnya."[3]
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Abu Hurairah yang tertera pada nomor 26 di muka.")
• Nabi Paling Dermawan pada Bulan Ramadhan
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Abbas yang tertera pada nomor 4 di muka.")
• Orang yang Tidak Meninggalkan Kata-kata Dusta dan Pengamalannya di Dalam Puasa.
921. Abu Hurairah r.a. berkata, "Rasulullah bersabda, 'Barangsiapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatan buruk, maka Allah tidak memerlukan ia meninggalkan makan dan minunmya.'"
• Apakah Seseorang Itu Perlu Mengucapkan, "Sesungguhnya Aku Ini Sedang BerPuasa", Jika Ia Dicaci Maki?
922. Abu Hurairah r.a, berkata, "Rasulullah bersabda, 'Allah berfirman, (dalam satu riwayat: dari Nabi, beliau meriwayatkan dari Tuhanmu, Dia berfirman 8/212), "Setiap amal anak Adam itu untuknya sendiri selain puasa sesungguhnya puasa itu untuk Ku (dalam satu riwayat: Tiap-tiap amalan memiliki kafarat, dan puasa itu adalah untuk Ku 8/212), dan Aku yang membalasnya puasa itu perisai. Apabila ada seseorang di antaramu berPuasa pada suatu hari, maka janganlah berkata kotor dan jangan berteriak-teriak (dan dalam satu riwayat: jangan bertindak bodoh 2/226). Jika ada seseorang yang mencaci makinya atau memeranginya (mengajaknya bertengkar), maka hendaklah ia mengatakan, 'Sesungguhnya saya sedang berPuasa.' (dua kali 2/226) Demi Zat yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman-Nya, sungguh bau mulut orang yang berPuasa di sisi Allah adalah lebih harum daripada bau kasturi. Bagi orang yang berPuasa ada dua kegembiraan yang dirasakannya. Yaitu, apabila berbuka, ia bergembira; dan apabila ia bertemu dengan Tuhannya, ia bergembira karena Puasanya itu."
• BerPuasa untuk Orang yang Takut Terjatuh dalam Perzinaan Kalau Membujang
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Mas'ud yang tertera pada '67-AN-NIKAH / 2 - BAB'.")
• Sabda Nabi, "Apabila kamu sudah melihat bulan sabit (1 Ramadhan), maka berPuasalah. Apabila kamu sudah melihat bulan sabit (1 Syawwal), maka berbukalah (jangan berPuasa)."[4]
Shilah berkata dari Ammar, "Barangsiapa yang berPuasa pada hari yang meragukan, maka sesungguhnya dia telah melanggar ajaran Abul Qasim (Nabi)."[5]
923. Abdullah bin Umar r.a. mengatakan bahwa Rasulullah pernah berbicara perihal Ramadhan. Beliau bersabda, "Sebulan itu dua puluh sembilan malam. (Dalam satu riwayat: 'Sebulan itu seperti ini dan ini', dan beliau menggenggam ibu jarinya pada kali yang ketiga. Dalam riwayat lain: 'Sebulan itu seperti ini dan seperti ini dan seperti ini', yakni tiga puluh hari. Kemudian beliau bersabda, 'Seperti ini dan seperti ini dan seperti ini", yakni dua puluh sembilan hari. Beliau bersabda sekali tiga puluh hari, dan sekali dua puluh sembilan hari. 6/78). Maka, janganlah kamu berPuasa sehingga kamu melihat bulan sabit (tanggal 1 Ramadhan), dan janganlah kamu berbuka sehingga kamu melihatnya (tanggal 1 Syawal). Jika bulan itu tertutup atasmu, kira-kirakanlah bilangannya (buatlah perhitungan bagi harinya)." (Dan dalam satu riwayat: "Maka, sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban tiga puluh hari.").
924. Abu Hurairah r.a. berkata, "Nabi (Abul Qasim) bersabda, 'BerPuasalah bila kamu melihatnya (bulan sabit tanggal satu Ramadhan), dan berbukalah bila kamu melihatnya (bulan sabit tanggal 1 Syawal). Jika bulan itu tertutup atasmu, maka sempurnakanlah bilangan Syaban tiga puluh hari.'"
925. Ummu Salamah r.a. mengatakan bahwa Nabi saw meng-ila' sebagian istri beliau (dalam satu riwayat: bersumpah tidak akan mencampuri sebagian istri beliau 6/152) selama satu bulan. Ketika telah lewat dua puluh sembilan hari, beliau pergi kepada mereka pada waktu pagi atau sore. Maka, dikatakan kepada beliau, "(Wahai Nabiyyullah), sesungguhnya engkau bersumpah tidak akan memasuki (mereka) selama satu bulan?" Beliau bersabda, "Sesungguhnya satu bulan itu dua puluh sembilan hari."
• Dua Bulan Hari Raya Itu Tidak Berkurang[6]
Abu Abdillah (Imam Bukhari) berkata, "Ishaq berkata, 'Jika ia kurang, maka ia sempurna.'"[7]
Muhammad berkata, "Kedua bulan itu tentu tidak sama, mesti ada yang kurang."[8]
926. Abu Bakrah r.a. mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Dua bulan tidak berkurang (secara bersamaan), yaitu dua bulan hari raya, yaitu Ramadhan dan Dzulhijjah."
• Sabda Nabi, "Kami tidak dapat menulis dan menghisab (menghitung) bulan)."
927. Ibnu Umar r.a. mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Sesungguhya kami adalah umat yang ummi, tidak dapat menulis dan menghisab (menghitung bulan). Sebulan itu demikian dan demikian, yakni sekali waktu dua puluh sembilan hari, dan sekali waktu tiga puluh hari."
• Tidak Boleh Mendahului Bulan Ramadhan dengan puasa Sehari atau Dua Hari
928. Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Jangan sekali-kali seseorang dari kamu mendahului bulan Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali seseorang yang biasa berPuasa, maka berPuasalah hari itu."
• Firman Allah, "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kamu. Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka, sekarang campurilah mereka dan campurilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu." (al-Baqarah: 187)
929. Al-Bara' r.a. berkata, "Para sahabat Nabi Muhammad apabila ada seorang yang berPuasa, dan datang waktu berbuka, tetapi ia tidur sebelum berbuka, maka ia tidak makan di malam dan siang harinya sampai sore. Sesungguhnya Qais bin Shirmah al-Anshari berPuasa. Ketika datang waktu berbuka, ia datang kepada istrinya, lalu berkata kepadanya, 'Apakah kamu mempunyai makanan? Istrinya menjawab, 'Tidak, tetapi saya berangkat untuk mencarikan (makanan) untukmu.' Pada siang harinya ia bekerja, lalu tertidur. Kemudian istrinya datang kepadanya. Ketika istrinya melihatnya, si istri berkata, 'Rugilah engkau.' Ketika tengah hari ia pingsan. Kemudian hal itu diberitahukan kepada Nabi, lalu turun ayat ini, 'Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa menggauli istrimu.' Maka, mereka bergembira, dan turunlah ayat, 'Makan dan minumlah sehingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam.'"
• Firman Allah, "Makan dan minumlah hingga jelas begimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam." (al-Baqarah: 187)
Dalam hal ini terdapat riwayat al-Bara' dari Nabi saw..
930. Adi bin Hatim r.a. berkata, "Ketika turun ayat, 'Sehingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam; saya sengaja mengambil tali hitam dan tali putih. Saya letakkan di bawah bantalku dan saya lihat (sebagian 5/156) malam hari, maka tidak jelas bagiku. Keesokan harinya saya datang kepada Rasulullah dan saya ceritakan hal itu kepada beliau. Maka, beliau bersabda, 'Sesungguhnya bantalmu itu terlalu panjang kalau benang putih dan benang hitam itu di bawah bantalmu!' (Dan dalam satu riwayat beliau bersabda, 'Sesungguhnya lehermu terlalu panjang untuk melihat kedua benang itu.' Kemudian beliau bersabda, Tidak demikian), sesungguhnya yang dimaksud adalah hitamnya malam dan putihnya siang hari.'"
931. Sahl bin Sa'ad berkata, "Diturunkan ayat, 'wakuluu wasyrabuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khaithil aswadi' 'Makan dan minumlah sehingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam;' dan belum turun lafal, 'minal fajri.' Maka, orang yang bermaksud hendak puasa mengikatkan benang putih dan benang hitam di kakinya. Ia senantiasa makan sehingga jelas kelihatan baginya kedua macam benang itu. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya, 'minal fajri 'yaitu fajar',' barulah mereka tahu bahwa yang dimaksudkan adalah malam dan siang."
• Sabda Nabi, "Janganlah menghalang-halangi sahurmu azan yang diucapkan Bilal."
932 & 933. Ibnu Umar dan Aisyah r.a. mengatakan bahwa Bilal biasa berazan pada malam hari. Maka, Rasulullah bersabda, "Makanlah dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan. Karena Ibnu Ummi Maktum tidak berazan sebelum terbit fajar." Al-Qasim berkata, "Antara azan keduanya tidak ada sesuatu (peristiwa) melainkan yang ini naik, dan yang itu turun."
• Mengakhirkan Sahur[9]
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Sahl yang tertera pada nomor 323 di muka.")
• Kadar Waktu Antara Sahur dan Shalat Subuh
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Anas yang tertera pada nomor 322 di muka.")
• Keberkahan Sahur, Tetapi Tidak Diwajibkan
Karena Nabi saw. dan para sahabat beliau pernah melakukan puasa wishal (bersambung dua hari), dan tidak disebut-sebut tentang sahur.[10]
934. Abdullah Ibnu Umar r.a. mengatakan bahwa Nabi melakukan puasa wishal, lalu orang-orang melakukan puasa wishal. Tetapi, kemudian mereka merasa keberatan, lalu dilarang oleh beliau. Mereka berkata, 'Tetapi engkau melakukan puasa wishal (terus-menerus)?" Beliau bersabda, "Aku tidak seperti kamu, aku senantiasa (dalam satu riwayat: pada malam hari) diberi makan dan minum."
935. Anas bin Malik r.a. berkata, "Nabi bersabda, 'Makan sahurlah, sesungguhnya dalam sahur itu terdapat berkah.'"
• Apabila Berniat puasa pada Siang Hari
Ummu Darda' berkata, "Abud Darda' biasa bertanya, 'Apakah engkau mempunyai makanan?' Jika kami jawab, 'Tidak', dia berkata, 'Kalau begitu, saya berPuasa hari ini.'"[11]
Demikian pula yang dilakukan oleh Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, dan Hudzaifah.[12]
936. Salamah ibnul Akwa' r.a. mengatakan bahwa Nabi saw. mengutus seseorang untuk mengumumkan kepada manusia pada hari Asyura, (dalam satu riwayat: Beliau bersabda kepada seorang laki-laki dari suku Aslam, "Umumkanlah kepada kaummu atau kepada masyarakat 8/136) bahwa orang yang sudah makan bolehlah ia meneruskannya atau hendaklah ia berPuasa pada sisa harinya. Sedangkan, yang belum makan, maka janganlah makan." (Dalam satu riwayat: "Hendaklah ia berPuasa, karena hari ini adalah hari Asyura.")
• Orang yang puasa Pagi-Pagi dalam Keadaan Junub (Menanggung Hadats Besar)
937&938. Abu Bakar bin Abdur Rahman berkata, "Saya dan ayah ketika menemui Aisyah dan Ummu Salamah. (Dalam satu riwayat: dari Abu Bakar bin Abdur Rahman, bahwa al-Harits bin Hisyam bahwa ayahnya Abdur Rahman memberitahukan kepada Marwan) Aisyah dan Ummu Salamah memberitahukan bahwa Rasulullah pernah memasuki waktu fajar sedang beliau dalam keadaan junub setelah melakukan hubungan biologis (2/234) dengan istrinya, bukan karena mimpi. Kemudian beliau mandi dan berPuasa." Marwan berkata kepada Abdur Rahman bin Harits, "Aku bersumpah dengan nama Allah, bahwa engkau harus mengkonfirmasikannya kepada Abu Hurairah." Marwan pada waktu itu sedang berada di Madinah. Abu Bakar berkata, "Abdur Rahman tidak menyukai hal itu. Kemudian kami ditakdirkan bertemu di Dzul Hulaifah, dan Abu Hurairah mempunyai tanah di sana. Lalu Abdur Rahman berkata kepada Abu Hurairah, 'Saya akan menyampaikan kepadamu suatu hal, yang seandainya Marwan tidak bersumpah kepadaku mengenai hal ini, niscaya saya tidak akan mengemukakannya kepadamu.' Lalu, Abdur Rahman menyebutkan perkataan Aisyah dan Ummu Salamah. Kemudian Abu Hurairah berkata, 'Demikian pula yang diinformasikan al-Fadhl bin Abbas kepadaku, sedangkan mereka (istri-istri Rasulullah) lebih mengetahui tentang hal ini.'"
Hammam dan Ibnu Abdillah bin Umar berkata dari Abu Hurairah, "Nabi menyuruh berbuka."[13]
Akan tetapi, riwayat yang pertama itu lebih akurat sanadnya.[14]
• Memeluk[15] Istri Bagi Orang Yang BerPuasa
Aisyah berkata, "Haram kemaluan istri bagi suami (ketika sedang berPuasa)."[16]
939. Aisyah r.a. berkata, "Nabi mencium dan menyentuh/memeluk (istri beliau) padahal beliau berPuasa. Beliau adalah orang yang paling menguasai di antaramu sekalian terhadap hasrat (seksual) nya."
Ibnu Abbas berkata, "Ma-aarib, artinya hasrat."[17]
Thawus berkata, "Ghairu ulil-irbah, maksudnya tidak mempunyai hasrat terhadap wanita."[18]
• Mencium Bagi Orang Yang BerPuasa
Jabir bin Zaid berkata, "Jika seseorang memandang (wanita) lalu keluar spermanya, maka hendaklah ia menyempurnakan Puasanya."[19]
940. Aisyah r.a. berkata, "Rasulullah pernah mencium salah seorang istri beliau, sedangkan beliau berPuasa." Kemudian Aisyah tertawa.[20]
• Mandinya Orang yang BerPuasa
Ibnu Umar r. a. pernah membasahi pakaiannya lalu mengenakannya, sedangkan dia berPuasa (karena kehausan).[21]
Asy-Sya'bi pernah masuk pemandian, sedangkan dia berPuasa.[22]
Ibnu Abbas berkata, 'Tidak mengapa seseorang mencicipi makanan atau sesuatu di periuk (dengan tidak menelannya)."[23]
Al-Hasan berkata, "Tidak mengapa orang yang berPuasa berkumur-kumur dan mendinginkan badan."[24]
Ibnu Mas'ud berkata, "Jika salah seorang di antara kamu berPuasa, maka hendaklah pada pagi harinya ia dalam keadaan berharum-haruman serta rambut yang tersisir rapi."[25]
Anas berkata, "Saya mempunyai telaga dan saya suka menceburkan diri di dalamnya, sedang saya saat itu sedang berPuasa."[26]
Disebutkan dari Nabi saw. bahwa beliau menggosok giginya dengan siwak, sedangkan beliau pada saat itu berPuasa.[27]
Ibnu Umar berkata, "Orang yang berPuasa boleh bersiwak pada permulaan hari dan akhir hari (yakni pada pagi hari dan sore hari) dan tidak boleh menelan ludahnya."[28]
Atha' berkata, "Jika ia menelan ludahnya, saya tidak mengatakan bahwa Puasanya batal."[29]
Ibnu Sirin berkata, "Tidak mengapa seseorang yang berPuasa bersiwak dengan menggunakan siwak yang basah." Ibnu Sirin ditanya, "Jika siwak yang dipergunakan itu ada rasanya, bagaimana?" Ia menjawab, "Air pun ada rasa nya, dan engkau berkumur-kumur dengan air pula."[30]
Anas, Hasan, dan Ibrahim berpendapat bahwa orang yang berPuasa tidak terlarang memakai celak.[31]
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Aisyah dan Ummu Salamah yang tertera pada nomor 937 dan 938 di muka.")
• Orang yang BerPuasa Jika Makan atau Minum karena Lupa
Atha' berkata, "Jika seseorang memasukkan air ke hidung dan hendak menyemprotkannya, lalu airnya ada yang masuk ke dalam tenggorokannya, maka Puasanya tidak batal, jika ia tidak mampu menolaknya."[32]
Hasan berkata, "Manakala tenggorokan orang yang berPuasa itu kemasukan lalat, maka Puasanya tidak batal."[33]
Hasan dan Mujahid berkata, "Jika orang yang berPuasa itu bersetubuh karena lupa, maka Puasanya tidak batal."[34]
941. Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Apabila (orang yang berPuasa) lupa, lalu ia makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan Puasanya. Karena sesungguhnya Allah memberinya makan dan minum."
• Menggunakan Siwak Yang Basah dan Kering untuk Orang yang BerPuasa
Amir bin Rabi'ah berkata, "Saya melihat Nabi bersiwak dan beliau pada saat itu sedang berPuasa. Karena seringnya, maka saya tidak dapat membilang dan menghitungnya."[35]
Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Andaikan tidak memberatkan umatku, niscaya mereka kuperintahkan bersiwak pada setiap kali berwudhu."
Riwayat serupa disebutkan dari Jabir dan Zaid bin Khalid dari Nabi, dan beliau tidak mengkhususkan orang yang berPuasa dari lainnya.[36]
Aisyah mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Bersiwak itu menyucikan mulut dan menyebabkan keridhaan Tuhan."[37]
Atha' dan Qatadah berkata, "Orang yang berPuasa boleh menelan ludahnya."[38]
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Utsman yang tertera pada nomor 105.")
• Sabda Nabi, "Jika seseorang berwudhu, maka hendaklah menghirup air dengan lubang hidungnya",[39] Dan Beliau Tidak Membedakan Antara Orang yang BerPuasa dan yang Tidak[40].
Hasan berkata, "Tidak batal orang yang berPuasa memasukkan obat tetes ke dalam hidungnya, asal tidak sampai masuk ke kerongkongannya. Tidak batal pula orang yang mempergunakan celak."[41]
Atha' berkata, "Jika orang yang berPuasa berkumur-kumur lalu membuang air yang ada di mulutnya, maka tidak membatalkan puasa, jika ia tidak menelan ludahnya beserta sisanya. Orang yang berPuasa jangan mengunyah sesuatu yang ada rasanya. Apabila ludahnya bercampur kunyahannya dan tertelan, maka saya tidak mengatakan batal Puasanya, tetapi dilarang. Apabila orang yang berPuasa menyedot air ke dalam hidungnya kemudian menyemprotkannya, tiba-tiba air itu masuk ke dalam kerongkongannya dan tidak mampu membuangnya, maka tidak membatalkan Puasanya."[42]
• Jika Orang Yang BerPuasa Bersetubuh pada Siang Hari Bulan Ramadhan
Disebutkan dari Abu Hurairah sebagai hadits marfu (yakni diangkat sampai Rasulullah), "Barangsiapa yang tidak puasa sehari dalam bulan Ramadhan tanpa adanya uzur dan bukan karena sakit, maka tidak dapat diganti dengan puasa setahun penuh, sekalipun ia mau berPuasa setahun penuh."[43]
Ibnu Mas'ud juga berpendapat demikian.[44]
Sa'id bin Musayyab, Sya'bi, Ibnu Jubair, Ibrahim, Qatadah, dan Hammad berkata, "Orang yang tidak berPuasa pada bulan Ramadhan itu wajib mengqadha setiap hari yang ditinggalkan."[45].
924. Aisyah r.a. berkata, "Sesungguhnya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi, lalu ia mengatakan bahwa dirinya terbakar. Lalu, Nabi bertanya, 'Mengapa kamu?' Dia menjawab, 'Saya telah mencampuri istri saya pada siang bulan Ramadhan.' Kemudian didatangkan kepada Nabi sekantong (bahan makanan), lalu beliau bertanya, 'Di mana orang yang terbakar itu?' Orang itu menjawab, 'Saya.' Beliau bersabda, 'Bersedekahlah dengan ini.'"
• Apabila Orang Mencampuri Istrinya pada Siang Hari Bulan Ramadhan dan Tidak Ada Sesuatu Pun yang Dapat Dipergunakan Membayar Kafarat, Maka Ia Boleh Diberi Sedekah Secukupnya untuk Membayar Kafarat
943. Abu Hurairah r.a. berkata, "Ketika kami sedang duduk-duduk di sisi Nabi, tiba-tiba seorang laki-laki datang kepada beliau. Ia berkata, 'Wahai Rasulullah, saya binasa.' Beliau bertanya, 'Mengapa engkau?' Ia berkata, 'Saya telah menyetubuhi istri saya padahal saya sedang berPuasa (pada bulan Ramadhan).' Rasulullah bersabda, 'Apakah kamu mempunyai budak yang kamu merdekakan?' Ia menjawab, 'Tidak.' Beliau bertanya, 'Apakah kamu mampu berPuasa dua bulan berturut-turut?' Ia menjawab, 'Tidak mampu.' Beliau bersabda, 'Apakah kamu mampu memberi makan enam puluh orang miskin?' Ia menjawab, 'Tidak mampu.' Beliau bersabda, '(Duduklah!' Kemudian ia duduk. 7/236), lalu berdiam di sisi Nabi. Ketika kami dalam keadaan demikian, tiba-tiba dibawakan satu 'araq (satu kantong besar) yang berisi kurma kepada Nabi. (Dalam satu riwayat: maka datanglah seorang laki-laki dari golongan Anshar 3/137). Beliau bertanya, 'Manakah orang yang bertanya tadi?' Orang itu menjawab, 'Saya.' Beliau bersabda, 'Ambillah ini dan sedekahkanlah.' Ia berkata kepada beliau, 'Apakah kepada orang yang lebih fakir (dalam satu riwayat: lebih membutuhkan) daripadaku wahai Rasulullah? Demi Allah di antara dua batu batas (dalam satu riwayat: dua tepian kota Madinah 7/111) (ia maksudkan dua tanah tandus Madinah) tidak ada keluarga yang lebih miskin daripada keluargaku.' Maka, Nabi tertawa sehingga gigi seri beliau tampak. Kemudian beliau bersabda, '(Pergilah, dan) berikanlah kepada keluargamu.'"
• Orang yang Mencampuri Istrinya pada Siang Hari Bulan Ramadhan, Apakah Boleh Memberikan Makanan kepada Keluarganya dari Kafarat Itu, Jika Keluarganya Tergolong Orang-Orang yang Membutuhkan?
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya sebagian dari hadits Abu Hurairah sebelumnya.")
• Berbekam dan Muntah bagi Orang yang BerPuasa
944. Abu Hurairah r.a. berkata, "Jika seseorang muntah pada waktu puasa, maka Puasanya tidak batal. Sebab, ia mengeluarkan dan bukannya memasukkan.".
Disebutkan dari Abu Hurairah bahwa muntah itu mambatalkan puasa, namun riwayat yang pertama itu lebih tepat.[46]
Ibnu Abbas dan Ikrimah berkata, " puasa itu bisa batal dengan sebab adanya sesuatu yang masuk dan bukan karena sesuatu yang keluar."[47]
Ibnu Umar r.a. berbekam, padahal ia sedang berPuasa. Kemudian dia tidak lagi berbekam pada siang hari, dan dia berbekam pada waktu malam.[48]
Abu Musa berbekam pada malam hari.[49]
Disebutkan dari Sa'd, Zaid bin Arqam, dan Ummu Salamah bahwa mereka berbekam pada waktu berPuasa.[50]
Bukair berkata dari Ummi Alqamah, "Kami berbekam di sisi Aisyah, tetapi dia tidak melarangnya."[51]
Diriwayatkan dari al-Hasan dari beberapa orang secara marfu, katanya, "Batal puasa orang yang membekam dan yang dibekam."[52]
945. Hadits serupa diriwayatkan dari al-Hasan. Ditanyakan kepadanya, "Dari Nabi?" Dia menjawab, "Ya." Kemudian dia berkata lagi, "Allah lebih mengetahui."
946. Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa Nabi berbekam (di kepala beliau 7/5) karena suatu penyakit yang menimpa beliau,[53] padahal beliau sedang ihram. (Karena suatu penyakit yang menimpa beliau, dengan air yang disebut lahyu Jamal), beliau berbekam padahal beliau sedang berPuasa."
947. Syu'bah berkata, "Saya mendengar Tsabit al-Bunani bertanya kepada Anas bin Malik, ia berkata, 'Apakah engkau memakruhkan berbekam untuk orang yang berPuasa (pada zaman Nabi [54])?' Anas menjawab, 'Tidak, kecuali karena melemahkan tubuh.'"
• BerPuasa dan Berbuka pada Waktu Bepergian
948. Aisyah r.a. istri Nabi saw mengatakan bahwa Hamzah bin Anir al-Aslami berkata kepada Nabi, "(Wahai Rasulullah, saya suka berPuasa), apakah saya boleh berPuasa dalam bepergian?" Dan, ia banyak berPuasa. Beliau bersabda, "Jika mau, berPuasalah; dan jika kamu mau, maka berbukalah!"
• Jika Seseorang BerPuasa Beberapa Hari dalam Bulan Ramadhan Lalu Bepergian
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya sebagian dari hadits Ibnu Abbas yang akan disebutkan pada '64 AL-MAGHAZI / 79 - BAB'.")
949. Abud Darda' r.a. berkata, "Kami berangkat bersama Nabi dalam suatu perjalanan beliau pada hari yang panas. Sehingga, seseorang meletakkan tangannya di atas kepalanya karena sangat panas. Di antara kami tidak ada yang berPuasa kecuali Nabi dan Ibnu Rawahah."
• Sabda Nabi kepada Orang yang Tidak Dinaungi Sedang Hari Sangat Panas
950. Jabir bin Abdullah r.a. berkata, "Rasulullah dalam suatu perjalanan, beliau melihat kerumunan dan seseorang sedang dinaungi. Beliau bertanya, 'Apakah ini?' Mereka menjawab, 'Seseorang yang sedang berPuasa.' Maka, beliau bersabda, 'Tidak termasuk kebajikan, berPuasa dalam bepergian.'"
• Para Sahabat Nabi Tidak Saling Mencela dalam Hal BerPuasa dan Berbuka (Tidak BerPuasa).
951. Anas bin Malik berkata, "Kami bepergian bersama Nabi, maka orang yang berPuasa tidak mencela orang yang berbuka, dan orang yang berbuka tidak mencela orang yang berPuasa."
• Orang yang Berbuka Dalam Bepergian Supaya Dilihat oleh Orang Banyak
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Abbas yang tercantum pada '64-AL-MAGHAZI / 49 - BAB'.")
• Firman Allah, "Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berPuasa) membayar fidyah." (al-Baqarah: 184)
Ibnu Umar dan Salamah ibnul Akwa' berkata, "ayat di atas itu telah dimansukh (dihapuskan) oleh ayat, 'Beberapa hari yang ditentukan itu adalah bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antaramu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berPuasa pada bulan itu. Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berPuasa), sebanyak dari hari yang ia tinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.'" (al-Baqarah: 185)[55]
Ibnu Abi Laila berkata, "Kami diberi tahu oleh para sahabat Nabi, 'Diturunkan kewajiban berPuasa dalam bulan Ramadhan, lalu para sahabat merasa berat melakukannya. Oleh karena itu, barangsiapa yang dapat memberikan makanan setiap harinya kepada seorang miskin, orang itu boleh membatalkan puasa. Yaitu, dari golongan orang yang sangat berat melakukannya. Mereka diberi kemurahan untuk meninggalkan puasa. Kemudian hukum di atas ini dimansukh (dihapuskan) dengan adanya ayat, 'wa an tashuumuu khairul lakum' 'Dan berPuasa itu lebih baik bagimu'.' Lalu, mereka diperintahkan berPuasa.'"[56]
952. Dari Ibnu Umar r.a. (bahwa ia 5/155) membaca potongan ayat, "fidyatun tha'aamu masaakiin' 'Membayar fidyah, yaitu memberi makan kepada orang-orang miskin'." Ibnu Umar mengatakan, "Ia (ayat) itu dihapuskan hukumannya."
• Kapankah Dilakukannya Qadha Puasa Ramadhan
Ibnu Abbas berkata, "Tidak mengapa jika mengqadha puasa itu dipisah-pisah, karena firman Allah, 'fa'iddatun min ayyamin ukhar' 'Maka, wajiblah baginya berPuasa sebanyak yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain'.'"[57]
Sa'id ibnul-Musayyab berkata mengenai berPuasa sepuluh hari yang pertama pada bulan Dzulhijjah, "Hal itu tidak baik, sehingga dia memula puasa bulan Ramadhan (yang ditinggalkannya)."[58]
Ibrahim berkata, "Jika seseorang teledor dalam mengqadha puasa Ramadhan, sehingga datang lagi bulan Ramadhan berikutnya, maka dia wajib berPuasa untuk Ramadhan yang lalu dan untuk Ramadhan yang satunya. Dia tidak diwajibkan memberi makan kepada orang miskin."[59]
Masalah juga diriwayatkan dari Abu Hurairah secara mursal.[60]
Ibnu Abbas mengatakan bahwa orang yag teledor diwajibkan memberi makan.[61]
Namun, Allah tidak menyebutkan kewajiban memberi makan. Dia hanya berfirman, "fa'iddatun min ayyaamin ukhar' 'Maka, wajiblah baginya berPuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari hari yang lain'."[62]
953. Aisyah r.a. berkata, "Saya biasa mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, dan saya tidak dapat mengqadhanya melainkan di bulan Sya'ban." Yahya berkata, "(Hal itu karena) sibuk dengan urusan Nabi."
• Wanita yang Haid Meninggalkan puasa dan Shalat.
Abu Zinad berkata, "Sesungguhnya sunnah-sunnah Nabi (yakni ucapan-ucapan dan perbuatan Nabi) dan sesuatu yang dibenarkan agama (syariat Islam) banyak yang diperselisihan antara yang satu dan yang lainnya. Oleh karena itu, tidak ada jalan bagi umat Islam kecuali mengikuti salah satunya. Di antaranya adalah bahwa orang yang haid wajib mengqadha puasa, tetapi tidak wajib mengqadha shalat."[63]
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya sebagian dari hadits Abu Sa'id yang tertera pada nomor 725 di muka.")
• Orang yang Meninggal Dunia Sedang Ia Masih Punya Kewajiban puasa.
Al-Hasan berkata, "Jika ada tiga puluh orang yang mengerjakan puasa sehari untuk orang yang meninggal dunia, maka hal itu sudah boleh (cukup)."[64]
954. Aisyah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang meninggal sedang ia masih menanggung kewajiban puasa, maka walinya berPuasa untuknya."
955. Ibnu Abbas r.a. berkata, "Seorang laki-laki (dalam satu riwayat: seorang wanita[65]) datang kepada Nabi. Ia berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku (dalam riwayat kedua: saudara wanitaku[66]) meninggal, sedang ia masih mempunyai kewajiban puasa satu bulan (dalam riwayat kedua itu disebutkan, puasa nazar) (dan dalam riwayat ketiga puasa lima belas hari[67]), apakah saya mengqadha untuknya?" Beliau bersabda, "Ya, utang Allah itu lebih berhak untuk ditunaikan."
• Kapankah Orang yang BerPuasa Itu Boleh Berbuka?
Abu Sa'id al-Khudri berbuka puasa ketika bulatan matahari telah tenggelam.[68]
956. Umar ibnul Khaththab dari ayahnya, ia berkata, "Rasulullah bersabda, 'Apabila malam datang dari sini, dan siang berlalu dari sini, sedang matahari telah terbenam, maka sesungguhnya orang yang berPuasa boleh berbuka.'".
957. Abdullah bin Abi Aufa r.a. berkata, "Kami bersama Rasulullah dalam suatu perjalanan, sedangkan beliau dalam keadaan berPuasa. Ketika matahari terbenam, beliau bersabda kepada sebagian kaum (seseorang dari mereka), 'Wahai Fulan, berdirilah, campurlah sawiq (tepung gandum) dengan air untuk kita.' Orang itu berkata, 'Wahai Rasulullah, alangkah baiknya kalau sampai tiba sore hari.' (Dalam satu riwayat: Alangkah baiknya kalau engkau menunggu sampai sore hari.' Dan dalam riwayat lain: Cahaya matahari masih tampak.[69] 2/237) Beliau bersabda, 'Turunlah, campurlah sawiq dengan air untuk kita.' Orang itu menjawab, 'Sesungguhnya engkau masih mempunyai waktu siang yang cukup.' Beliau bersabda, 'Turunlah, campurlah sawiq dengan air untuk kita.' Lalu orang itu turun, kemudian membuat minuman untuk mereka (setelah diperintahkan ketiga kalinya). Lalu, Nabi minum,[70] kemudian melemparkan isyarat (Dalam satu riwayat berisyarat dengan tangan beliau ke sini. Dan dalam satu riwayat: berisyarat dengan jarinya ke arah timur), lalu beliau bersabda, 'Apabila kamu melihat malam datang dari sini, maka orang yang berPuasa sudah diperbolehkan berbuka.'"
• Orang yang BerPuasa Berbuka dengan Apa yang Mudah Didapatkan, Baik Berupa Air Maupun Lainnya
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya hadits Abdullah bin Abi Aufa di atas.")
• Menyegerakan Berbuka
958. Sahl bin Sa'ad mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, "Manusia itu senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka."
• Apabila Orang BerPuasa Sudah Berbuka dalam Bulan Ramadhan, Kemudian Matahari Kelihatan Lagi.
959. Asma' binti Abu Bakar r.a. berkata, "Kami berbuka pada masa Nabi pada hari yang berawan, kemudian matahari tampak lagi." Kemudian ditanyakan kepada Hisyam, "Apakah para sahabat disuruh mengqadha?" Hisyam berkata, "Harus mengqadha?"
Ma'mar berkata, "Saya mendengar Hisyam berkata, 'Aku tidak mengetahui, apakah mereka itu mengqadha atau tidak.'"[71]
• Puasa Anak-Anak
(Saya [Sofyan Efendi] tidak menemukan bab 48 dan 49 pada kitab sumber, dan saya belum memahami relevansi hadits no.964 dibawah ini dengan bab 47 ini. Menurut saya semestinya hadits no.964 ini disimpan pada bab 50.)
964. Abu Hurairah r.a. berkata, "Nabi melarang melakukan wishal (Dalam satu riwayat: 'Janganlah kamu melakukan wishal', beliau ucapkan dua kali) dalam berPuasa. Salah seorang (dalam satu riwayat: Beberapa orang 8/32) dan kaum muslimin berkata, 'Sesungguhnya engkau berwishal, wahai Rasulullah.' Beliau bersabda, 'Siapakah diantara kamu yang seperti aku? Sesungguhnya aku bermalam dengan diberi makan dan minum oleh Tuhanku.' (Lalu mereka tetap memaksakan diri melakukan semampu mungkin). Ketika mereka enggan menghentikan wishal, beliau mewishalkan mereka sehari, kemudian sehari. Kemudian mereka melihat tanggal, lalu beliau bersabda, 'Seandainya tanggal itu mundur, niscaya aku tambahkan kepadamu.' Beliau bersabda begitu seakan-akan hendak menghukum mereka ketika mereka enggan menghentikan (wishal)."
• Melakukan Wishal Sampai Waktu Sahur
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan hadits Abu Sa'id yang tertera pada nomor 962 di muka.")
(Saya [Sofyan Efendi] tidak menemukan hadits no.962 pada kitab sumber)
• Orang yang Bersumpah kepada Saudaranya Supaya Tidak meneruskan puasa Sunnahnya dan Dia Berpendapat Tidak Wajib Mengqadhanya Jika yang Bersangkutan Menyetujuinya.
965. Abu Juhaifah berkata, "Nabi mempersaudarakan antara Salman dan Abud Darda'. Maka, Salman mengunjungi Abud Darda', lantas ia melihat Ummu Darda' (istri Abu Darda) mengenakan pakaian kerja (pakaian yang jelek), lalu ia bertanya kepada Ummu Darda', 'Mengapa engkau begitu?' Ia menjawab, 'Saudaramu Abud Darda' tidak membutuhkan dunia.' Kemudian Abud Darda' datang, lantas Salman membuatkan makanan untuknya, dan berkata, 'Makanlah.' Abud Darda' berkata, 'Sesungguhnya saya sedang berPuasa.' Salman menjawab, 'Saya tidak akan makan sehingga kamu makan.' Maka, Abud Darda' makan. Ketika malam hari Abud Darda' hendak melakukan shalat, lalu Salman berkata, 'Tidurlah.' Maka, ia pun tidur. Kemudian ia hendak melakukan shalat, lalu Salman berkata, 'Tidurlah!' Kemudian pada akhir malam, Salman berkata, 'Bangunlah sekarang!' Kemudian keduanya melakukan shalat. Setelah itu Salman berkata kepadanya, 'Sesungguhnya Tuhanmu mempunyai hak atasmu, dirimu mempunyai hak atasmu, dan keluargamu (istrimu) mempunyai hak atasmu. Maka, berikan kepada setiap yang mempunyai hak akan haknya.' Lalu Abud Darda' datang kepada Nabi, dan menuturkan hal itu kepada beliau. Maka, beliau bersabda, 'Benar Salman.'"
(Abu Juhaifah adalah Wahb as-Suwai, ada yang mengatakan: Wahb al-Khair 7/105).
• Puasa dalam Bulan Sya'ban
966. Aisyah r.a. berkata, "Rasulullah melakukan puasa (sunnah) sehingga kami mengatakan, 'Beliau tidak pernah berbuka.' Dan, beliau berbuka (tidak berPuasa) sehingga kami mengatakan, 'Beliau tidak pernah berPuasa.' Saya tidak melihat Rasulullah menyempurnakan puasa sebulan kecuali Ramadhan. Saya tidak melihat beliau berPuasa (sunnah) lebih banyak daripada puasa dalam bulan Sya'ban. (Dan dalam satu riwayat: 'Nabi tidak pernah melakukan puasa (sunnah) dalam suatu bulan yang lebih banyak daripada bulan Sya'ban. Karena, beliau sering berPuasa dalam bulan Sya'ban sebulan penuh.') Beliau bersabda, 'Lakukan amalan menurut kemampuanmu, karena Allah tidak pernah merasa bosan terhadap amal kebaikanmu sehingga kamu sendiri yang bosan.' Dan, shalat (sunnah) yang paling dicintai Nabi adalah yang dilakukan secara kontinu, meskipun hanya sedikit. Apabila beliau melakukan suatu shalat (sunnah), maka beliau melakukannya secara kontinu."
• Perihal Puasa Nabi dan Berbukanya
967. Ibnu Abbas r.a. berkata, "Nabi tidak pernah berPuasa sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Beliau melakuka puasa (sunnah) sehingga ada orang yang mengatakan, 'Tidak, demi Allah, beliau tidak pernah berbuka (yakni tidak pernah tidak berPuasa). Dan beliau juga berbuka (yakni tidak melakukan puasa sunnah), sampai ada orang yang mengatakan, 'Tidak, demi Allah, beliau tidak pernah berPuasa (sunnah).'"
968. Humaid berkata, "Saya bertanya kepada Anas tentang puasa Nabi, lalu ia berkata, 'Tidaklah beliau berPuasa di suatu bulan melainkan saya melihatnya, dan tidaklah beliau berbuka melainkan saya melihatnya. Tidaklah beliau berjaga malam melainkan saya melihatnya, dan tidaklah beliau tidur melainkan saya melihatnya. Saya tidak pernah menyentuh kain wool campur sutra atau sutra yang lebih halus daripada telapak tangan Rasulullah. Saya tidak pernah mencium minyak kasturi dan bau harum yang lebih harum daripada bau Rasulullah.'"
• Hak Tamu dalam puasa.
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya sebagian dari hadits Ibnu Amr yang tertera pada '66-fadhaailul qur'an / 34-Bab'.")
• Hak Tubuh dalam BerPuasa
Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Amr yang diisyaratkan di atas.")
• BerPuasa Setahun
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Amr yang diisyaratkan tadi.")
• Hak Keluarga (Istri) dalam puasa
Hal itu diriwayatkan oleh Abu Juhaifah dari Nabi saw.[72]
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Amr yang diisyaratkan di atas.")
• BerPuasa Sehari dan Berbuka Sehari
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya sebagian dari hadits yang diisyaratkan di atas.")
• Puasa Nabi Dawud a.s.
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits yang diisyaratkan di atas.')
• BerPuasa Pada Hari-hari Putih Yaitu Tanggal 13, 14, dan 15
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Abu Hurairah yang tertera pada nomor 608 di muka.")
• Orang yang Berziarah di Tempat Suatu Kaum, Tetapi Tidak Berbuka di Sisi Mereka
969. Anas r.a. berkata, "Nabi masuk pada Ummu Sulaim, lalu dia menghidangkan kepada beliau kurma dan samin. Beliau bersabda, 'Kembalikanlah saminmu dan kurmamu ke dalam tempatnya, karena aku sedang berPuasa.' Kemudian beliau berdiri di sudut rumah, lalu melakukan shalat yang bukan fardhu. Kemudian beliau memanggil Ummu Sulaim dan keluarganya. Ummu Sulaim berkata, 'Sesungguhnya ada sedikit kekhususan bagi saya.' Beliau bertanya, 'Apakah itu?' Ia berkata, 'Pembantumu Anas, tidaklah ia meninggalkan kebaikan dunia akhirat melainkan ia mendoakan untukku, 'Ya Allah, berilah ia harta dan anak, dan berkahilah ia padanya.' Sesungguhnya saya termasuk orang Anshar yang paling banyak hartanya. Anakku Umainah menceritakan kepadaku bahwa dimakamkan untuk selain keturunan dan cucu-cucu saya sebelum Hajjaj di Bashrah selang seratus dua puluh lebih.'"
• Mengerjakan puasa pada Akhir Bulan
970. Imran bin Hushain r.a. mengatakan bahwa Nabi saw bertanya kepada nya atau bertanya kepada seorang lelaki dan Imran mendengar. Beliau bersabda, "Hai ayah Fulan, tidakkah kamu berPuasa pada akhir bulan ini?" Imran berkata, "Saya kira yang beliau maksudkan itu Ramadhan." Orang itu menjawab, "Tidak, wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Apabila kamu berbuka (tidak berPuasa),[73] maka berPuasalah dua hari."[74] Shalt tidak mengatakan, "Saya mengira bahwa yang dimaksudkan itu adalah bulan Ramadhan." (Dalam satu riwayat: "Di akhir Sya'ban.")
• Puasa Pada Hari Jumat (Saja). Apabila Seseorang Memasuki Pagi Hari Jumat dengan BerPuasa, Maka Hendaklah Ia Berbuka
971. Muhammad bin Abbad berkata, "Saya bertanya kepada Jabir, 'Betulkah Nabi melarang berPuasa pada hari Jumat? (Yakni, mengkhususkan puasa pada hari Jumat saja)?'[75] Ia menjawab. 'Betul.'"
972. Abu Hurairah r.a. berkata, "Saya mendengar Nabi bersabda, 'Jangan sekali-kali kamu berPuasa pada hari Jumat, melainkan bersama dengan satu hari sebelumnya atau sesudahnya.'"
973. Juwairiyah bin Harits r.a. mengatakan bahwa Nabi saw. masuk padanya pada hari Jumat di mana ia sedang berPuasa. Beliau bersabda, "Apakah kemarin engkau berPuasa?" Ia menjawab, "Tidak". Beliau bersabda, "Apakah besok engkau berPuasa?" Ia menjawab, "Tidak." Beliau bersabda, "Berbukalah!" (Maka, ia berbuka/tidak berPuasa).
• Bolehkah Mengkhususkan Sesuatu Dari Hari-Hari Yang Ada
974. Alqamah bertanya kepada Aisyah, "(Wahai Ummul Mu'minin! Bagaimanakah amalan Nabi? 7/182) Apakah beliau mengkhususkan hari-hari dengan sesuatu?" Ia menjawab, "Tidak, amal beliau itu kekal. Siapakah di antara kalian yang kuat (mampu) terhadap sesuatu yang Rasulullah mampu melakukannya?"
• Puasapada Hari Arafah
975. Maimunah mengatakan bahwa orang-orang ragu-ragu terhadap puasanya Nabi pada hari Arafah. Maka, Maimunah mengirimkan susu yang telah diperah kepada beliau. Pada saat itu beliau sedang berhenti di mauqif (yakni tempat wuquf di Arafah). Kemudian beliau meminumnya, sedangkan orang-orang melihatnya.
• Puasa Pada Hari Nahar (Hari Raya Kurban)
976. Abu Hurairah r.a. berkata, "Dilarang melakukan dua macam puasa dan dua macam jual beli. Yaitu, puasa pada hari raya Fitri dan hari raya kurban, jual beli mulamasah dan munabadzah."[76]
• Puasa pada Hari-Hari Tasyriq
977. Hisyam berkata, "Aku diberitahu oleh ayahku bahwa Aisyah berPuasa pada hari-hari tasyriq di Mina, dan ayahnya (Abu Bakar) juga berPuasa pada hari-hari itu."
978 & 979. Aisyah dan Ibnu Umar r.a. berkata, "Hari-hari Tasyriq itu tidak diperbolehkan orang berPuasa padanya selain bagi orang-orang yang tidak mempunyai binatang hadyu."
Dalam riwayat lain dari Ibnu Umar r.a., ia berkata, "Mengerjakan puasa itu boleh bagi orang yang bertamattu' dengan umrah sampai ke haji sehingga pada hari Arafah. Jika orang itu tidak mendapatkan hadyu dan tidak berPuasa, maka dia boleh berPuasa pada hari-hari Mina."
Riwayat serupa juga diriwayatkan dari Aisyah.
• Puasa pada Hari Asyura
980. Aisyah r.a. berkata, "Pada hari Asyura orang-orang Quraisy biasa berPuasa pada masa jahiliah, dan Rasulullah berPuasa juga. Ketika itu tiba di Madinah, beliau berPuasa pada hari itu dan memerintahkan untuk berPuasa pada hari Asyura itu (sebelum difardhukannya puasa Ramadhan, dan pada hari itu Ka'bah diberi kelambu 2/159). Ketika (puasa) Ramadhan difardhukan (dalam satu riwayat: turun ayat yang mewajibkan puasa Ramadhan 5/155), maka Puasa Ramadhan itulah yang wajib, dan beliau meninggalkan hari Asyura. Barangsiapa yang mau, maka berPuasalah; dan barangsiapa yang mau, maka ia boleh meninggalkannya." (Dan dalam satu riwayat: "Sehingga diwajibkan puasa Ramadhan, dan Rasulullah bersabda, 'Barangsiapa yang mau, maka berPuasalah; dan barangsiapa yang mau, maka ia boleh berbuka.'" 2/226).
981. Humaid bin Abdurrahman mengatakan bahwa ia mendengar Mu'awiyah bin Abu Sufyan r.a pada hari Asyura, pada tahun haji, berkata di atas mimbar, "Wahai penduduk Madinah, manakah ulama kalian? Aku mendengar Rasulullah bersabda, 'Ini adalah hari Asyura dan tidak diwajibkan mengerjakan puasa atasmu. Tetapi, aku berPuasa. Barangsiapa yang menghendaki puasa, bolehlah berPuasa. Barangsiapa yang tidak menghendaki berPuasa, maka boleh tidak berPuasa.'"
982. Ibnu Abbas r.a. berkata, "Nabi tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berPuasa pada hari Asyura. Maka, beliau bertanya, 'Apakah ini?' Mereka menjawab, 'Hari yang baik (dalam satu riwayat hari besar 4/126). Ini adalah hari yang Allah pada hari itu menyelamatkan bani Israel dari musuh mereka. (Dalam satu riwayat: Hari yang pada saat itu Allah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israel atas musuh mereka). Maka, Musa berPuasa pada hari itu sebagai pernyataan syukur kepada Allah, (dan kita berPuasa pada hari itu untuk menghormatinya' 4/269). Beliau bersabda, 'Aku lebih berhak (dalam satu riwayat: 'Kita lebih lebih layak) terhadap Musa daripada kamu sekalian (kaum Yahudi).' Lalu, beliau berPuasa pada hari itu dan memerintahkan berPuasa pada hari itu." (Dalam riwayat lain: "Kalian lebih berhak terhadap Musa daripada mereka (kaum Yahudi), maka berPuasalah kalian." 5/212)
983. Abu Musa r.a. berkata, "Hari Asyura itu dianggap oleh kaum Yahudi sebagai hari raya." (Dalam satu riwayat: Abu Musa berkata, "Nabi memasuki Madinah, tahu-tahu orang-orang Yahudi mengagungkan hari Asyura dan berPuasa padanya. Lalu, Nabi bersabda, 'Kita lebih berhak untuk berPuasa pada hari itu. 4/269). Maka, berPuasalah kamu semua pada hari Asyura itu.'"
984. Ibnu Abbas r.a. berkata, "Saya tidak pernah melihat Nabi mengerjakan puasa pada suatu hari yang oleh beliau lebih diutamakan atas hari-hari yang lain, kecuali hari ini, yaitu hari Asyura, dan bulan ini, yakni bulan Ramadhan."
Catatan Kaki:
[1] Di-maushul-kan oleh penyusun dalam bab berikutnya.
[2] Di-maushul-kan oleh penyusun dari hadits Abu Hurairah secara marfu yang seperti itu pada delapan bab lagi (yakni "BAB - 8").
[3] Akan disebutkan secara maushul dengan lengkap pada permulaan kitab AL-BUYU'.
[4] Nama judul ini adalah lafal Muslim dari hadits Abu Hurairah secara marfu, dan di-maushul-kan oleh penyusun (Imam Bukhari) dalam bab ini dengan lafal yang hampir sama dengan ini.
[5] Di-maushu!-kan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, dan lain-lainnya dengan sanad yang perawi-perawinya tepercaya hingga Shilah, dan disahkan oleh Ibnu Khuzaimah (1914), Ibnu Hibban (878) dan lainnya. Hadits ini mempunyai pendukung dari Ammar dengan lafal yang hampir sama dengannya yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (3/72) dengan sanad sahih. Juga memiliki syahid dari jalan lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1912).
[6] Ini adalah lafal sebagian hadits bab ini di sisi Tirmidzi.
[7] Ishaq ini adalah Ibnu Rahawaih, menurut keterangan yang kuat dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh al-Hafizh. Silakan periksa Masaail al-Maruzi Mahthuthat azh Zhahiriyah. Maksud hadits ini ialah tidak berkurang pahalanya, meskipun usia bulan itu hanya dua puluh sembilan hari.
[8] Muhammad adalah Imam Bukhari penyusun kitab Shahih Bukhari itu sendiri (yakni Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari -penj.). Maksud hadits ini, kedua bulan itu tidak mungkin berkurang secara bersama-sama (yakni masing-masing secara bersamaan berjumlah dua puluh sembilan hari). Jika yang satu berjumlah dua puluh sembilan hari, maka bulan yang satunya tentu tiga puluh hari. Inilah yang biasa terjadi. Dan yang tidak demikian, jarang sekali terjadi. Demikian kesimpulan al-Hafizh.
[9] Demikianlah judul yang asli. Di dalam naskah al-Hafizh disebutkan Bab Ta'jilis-Sahur, dan ia berkata, "Ibnu Baththal berkata, 'Kalau bab ini diberi judul Bab Ta'khiris Sahur, niscaya bagus. Maghlathay memberi komentar bahwa dia menjumpai di dalam naskah lain dari al-Bukhari Bab Ta'khiris-Sahur. Tetapi, saya sama sekali tidak melihat hat itu di dalam naskah at Bukhari yang ada pada kami."
[10] Menunjuk kepada hadits Ibnu Umar yang disebutkan dalam bab ini, dan yang sama dengannya adalah hadits Anas yang akan disebutkan pada "48 - BAB" dan hadits Abu Hurairah sesudahnya.
[11] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdur Razzaq dari jalan Ummu Darda' dengan sanad yang sahih.
[12] Atsar Thalhajh di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq dan Ibnu Abi Syaibah dari dua jalan dari Anas, sanadnya sahih. Atsar Abu Hurairah di-maushul-kan oleh Baihaqi. Atsar Ibnu Abbas di-maushul-kan oleh Thahawi dengan sanad yang bagus (jayyid), dan atsar Hudzaifah di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq dan Ibnu Abi Syaibah.
[13] Hammam adalah Ibnu Munabbih. Riwayatnya ini di-maushul-kan oleh Ahmad (2/314) dengan isnadnya darinya dari Abu Hurairah secara marfu dengan lafal, "Apabila telah dikumandangkan azan subuh, sedangkan salah seorang dari kamu dalam keadaan junub, maka janganlah ia berPuasa pada hari itu." Adapun riwayat Ibnu Abdullah bin Umar di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq. Akan tetapi, namanya diperselisihkan sebagaimana dipaparkan dalam al-Fath. Namun, riwayatnya didukung oleh banyak orang, antara lain Abdullah bin Umar bin Abdul Qari darinya, diriwayatkan oleh Abdur Razzaq (7399) dan Ahmad (2/248).
[14] Yakni, hadits Aisyah dan Ummu Salamah lebih kuat, karena hadits ini diriwayatkan dari mereka dari jalan yang banyak sekali yang semakna, sehingga Ibnu Abdil Barr berkata, "Sesungguhnya riwayat ini sah dan mutawatir. Adapun Abu Hurairah, maka kebanyakan riwayat darinya adalah berupa fatwanya sendiri. Diriwayatkan darinya dari dua jalan ini bahwa ia merafakannya kepada Nabi. Akan tetapi, kemudian Abu Hurairah meralat fatwanya itu. Silakan baca perinciannya di dalam Fathul Bari."
[15] Asal arti kata "mubasyarah" ialah bertemunya dua kulit, juga dapat berarti bersetubuh. Tetapi, bukan ini yang dimaksudkan dalam judul ini, sebagaimana dijelaskan dalam Fathul Bari. Lafal ini ditafsirkan oleh sebagian orang yang bodoh dengan pengertian bersetubuh. Dengan didasarkan atas kebodohannya itu dia menghukumi hadits ini sebagai hadits maudhu 'palsu' di dalam makalah yang dipublikasikan oleh majalah al-Arabi terbitan Kuwait, dengan penuh kebohongan dan kepalsuan. Hanya kepada Allahlah tempat mengadu.
[16] Di-maushul-kan oleh Thahawi dan lainnya dengan sanad yang sahih sebagaimana telah saya jelaskan dalam Silsilatul Ahaditsish Sahihah (221).
[17] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang terputus.
[18] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq dengan sanad yang sahih.
[19] Di-rnaushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang sahih.
[20] Al-Hafizh berkata, "Boleh jadi tertawa Aisyah ini karena merasa heran terhadap orang yang menentang kebolehan perbuatan ini. Ada yang mengatakan bahwa ia menertawakan dirinya sendiri karena menceritakan hal ini, yang biasanya seorang wanita merasa malu menceritakannya kepada kaum laki-laki. Tetapi, ia terpaksa menyampaikannya demi menyampaikan ilmu. Boleh jadi ia tertawa karena geli menceritakan dirinya sendiri yang melakukan hal itu dan dia teringat bahwa sebenarnya dialah pelaku cerita itu. Penyampaiannya dengan kalimat begitu supaya menambah kepercayaan orang yang mendengarnya. Dan, boleh jadi ia tertawa karena gembira terhadap kedudukannya di sisi Nabi dan karena cinta beliau kepadanya yang sedemikian rupa."
[21] Di-maushul-kan oleh penyusun dalam at-Tarikh dan Ibnu Abi Syaibah dari jalan Abdullah bin Abu Utsman bahwa dia melihat Utsman berbuat begitu.
[22] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang sahih.
[23] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dan al-Baghawi dalam al Ja'diyyat.
[24] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq yang semakna dengannya. Imam Malik dan Imam Dawud meriwayatkan yang semakna dengannya secara marfu.
[25] Al-Hafizh tidak mentakhrijnya.
[26] Di-maushul-kan oleh as-Sarqasthi di dalam Gharibul Hadits.
[27] Al-Hafizh tidak mentakhrijnya di sini, dan dimaushulkan oleh Ahmad dan lainnya dengan sanad yang lemah dari Amir bin Rabi'ah, dan akan disebutkan oleh penyusun secara mu'allaq sebentar lagi. Telah saya jelaskan dan saya takhrij di dalam al-Irwa' nomor 68.
[28] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah (3/47) dengan riwayat yang semakna dengannya.
[29] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq dengan sanad yang sahih.
[30] Di-maushul-kan juga oleh Ibnu Abi Syaibah.
[31] Atsar Anas diriwayatkan oleh Tirmidzi dan dilemahkannya riwayat yang marfu dari Anas. Atsar Hasan di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq dan Ibnu Abi Syaibah (3/47) dengan sanad yang sahih. Sedangkan, atsar Ibrahim di-maushul-kan oleh Sa'id bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah, dan Abu Dawud dari Ibrahim dengan sanad yang sahih.
[32] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq (7379) dan Ibnu Abi Syaibah (3/70) dengan sanad yang sahih.
[33] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (3/107) dengan isnad yang sahih.
[34] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq dengan dua isnad dari al-Hasan dan Mujahid, dan riwayat Mujahid adalah sahih.
[35] Hadits yang semakna dengannya sudah disebutkan di muka beserta takhrijnya pada nomor 300.
[36] Hadits Jabir di-maushul-kan oleh Abu Nu'aim dalam Kitab as-Siwak dengan sanad yang hasan. Hadits Yazid bin Khalid di-maushul-kan oleh Ahmad, Ashhabus Sunan, dan lain-lainnya, dan sudah ditakhrij pada sumber di atas.
[37] Di-maushul-kan oleh Ahmad dan lainnya dengan sanad sahih, dan hadits ini sudah saya takhrij di dalam Irwa-ul Ghalil (65).
[38] Di-maushul-kan oleh Sa'id bin Manshur dari Atha', dan oleh Abd bin Humaid dari Qatadah.
[39] Di-maushul-kan oleh Muslim dan Ahmad (2/316) dari hadits Abu Hurairah.
[40] Ini merupakan perkataan Imam Bukhari sendiri sebagai hasil ijtihad fiqihiahnya, demikian pula mengenai masalah istinsyaq 'menghirup air ke dalam hidung'. Akan tetapi, terdapat riwayat yang membedakan antara orang yang berPuasa dan yang tidak berPuasa, yaitu mengenai istinsyaq yang dilakukan secara bersangatan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ashhabus-Sunan dan disahkan oleh Ibnu Khuzaimah dan lainnya dari jalan Ashim bin Laqith bin Shabrah dari ayahnya, bahwa Nabi bersabda kepadanya, "Bersungguh-sungguhlah kamu dalam beristinsyaq kecuali jika kamu sedang berPuasa." Tampaknya penyusun (Imam Bukhari) mengisyaratkan hal ini dengan mengemukakan atsar al-Hasan sesudahnya. Demikian keterangan al-Fath. Saya katakan bahwa hadits Ashim tersebut adalah sahih, dan telah saya takhrij di dalam Shahih Abu Dawud (130) dan al-Irwa. (90).
[41] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah.
[42] Di-maushul-kan oleh Sa'id bin Manshur dan Abdur Razzaq. Akan tetapi, di dalam riwayat Abdur Razzaq (7487) terdapat tambahan, "Jika dia menelannya padahal sudah dikatakan kepadanya bahwa hal itu terlarang", Atha' menjawab, "Kalau begitu batal Puasanya." Ia mengucapkan demikian beberapa kali. Sanadnya sahih.
[43] Di-maushul-kan oleh Ashhabus-Sunan dengan isnad yang lemah sebagairnana saya jelaskan di dalam Takhrij at-Targhib (2/74).
[44] Di-maushul-kan oleh Baihaqi (4/228) dari dua jalan dari Ibnu Mas'ud.
[45] Atsar Sa'id bin Musayyab di-maushul-kan oleh Musaddad dan lainnya, dan diriwayatkan oleh Abdur Razzaq (7469) dan Ibnu Abi Syaibah (3/105) dengan lafal, "Hendaklah ia berPuasa menggantikan setiap hari puasa yang ditinggalkannya itu dalam sebulan.", dan sanadnya sahih. Atsar asy-Sya'bi diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur dengan sanad yang sahih juga, dan Abdur Razzaq (7476), dan Ibnu Abi Syaibah (3/105). Atsar Ibnu Jubair yaknai Sa'id bin Jubair di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad sahih. Atsar Ibrahim yakni Ibnu Yazid an-Nakha'i di-maushul-kan oleh Said bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad sahih. Atsar Qatadah di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq dengan sanad yang sahih. Dan, atsar Hammad yakni Ibnu Abi Sulaiman diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dari Abu Hanifah darinya.
[46] Saya melihat riwayat ini bukan riwayat mauquf dari Abu Hurairah, tetapi merupakan riwayat marfu dengan lafal, "Barangsiapa yang terdorong muntah sedangkan dia berPuasa, maka dia tidak wajib mengqadha; dan jika dia sengaja muntah, maka hendaklah ia mengqadha." Hadits ini sudah saya takhrij di dalam al-Irwa' (915).
[47] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan dua isnad yang sahih (3/51/39).
[48] Di-maushul-kan oleh Malik dengan isnad yang sahih.
[49] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang sahih, dan oleh Nasa'i dan Hakim.
[50] Atsar Sa'ad di-maushul-kan oleh Imam malik dengan sanad yang terputus. Atsar Zaid di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq dengan sanad yang lemah. Atsar Ummu Salamah dimaushulkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang di dalamnya terdapat perawi yang tidak disebutkan namanya. Oleh karena itu, penyusun membawakan riwayat ini dengan menggunakan kata kerja pasif.
[51] Di-maushul-kan oleh penyusun di dalam kitab at-Tarikh. Ummu Alqamah ini namanya Mirjanah, dan keadaannya tidak dikenal (majhub).
[52] Di-maushul-kan oleh Nasai dari jalan Abu Hurairah dari al-Hasan. Diperselisihkan pensanadannya kepada al-Hasan sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh dalam al-Fath. Akan tetapi, hadits ini diriwayatkan secara sah dari selain jalan ini dari lebih dari seorang sahabat, dan telah saya takhrij di dalam al-Irwa'. Namun, hadits ini mansukh (dihapuskan hukumnya), dan nasikhnya atau penghapusnya ialah hadits Ibnu Abbas yang akan datang (nomor 946), juga oleh hadits Abu Sa'id al-Khudri yang mengatakan, "Nabi telah memberikan kemurahan untuk berbekam bagi orang yang berPuasa", dan sanad hadits ini juga sahih sebagaimana saya jelaskan di situ.
[53] Tambahan ini secara mu'allaq pada penyusun, tetapi di-maushul-kan oleh al-Isma'ili.
[54] Tambahan ini adalah mu'allaq pada penyusun, tetapi di-maushul-kan oleh Ibnu Mandah di dalam Gharaaibi Syu'bah, namun isnadnya diperselisihkan. Silakan baca al-Fath.
[55] Di-maushul-kan oleh penyusun pada akhir bab ini dari Ibnu Umar. Sedangkan, riwayat Salamah di-maushul-kannya pada "65 -TAFSIRU AL-BAQARAH / 26 - BAB".
[56] Riwayat ini disebutkan secara mu'allaq oleh penyusun, dan di-maushul-kan oleh Baihaqi di dalam Sunannya (4/200) dengan sanad sahih. Di-maushul-kan juga oleh Abu Dawud dan lainnya dengan redaksi yang mirip dengan itu. Silakan periksa Shahih Abu Dawud (523)
[57] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq dan Daruquthni dengan sanad yang sahih. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (3/32).
[58] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan lafal yang hampir sama (3/74) dengan isnad yang sahih.
[59] Di-maushul-kan oleh Sa'id bin Manshur dengan isnad yang sahih.
[60] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq secara mauquf pada Abu Hurairah dengan isnad yang sahih. Inilah yang dimaksud dengan "mursal' di sini, dan ini merupakan istilah khusus. Karena, pengertian "mursal" yang sebenarnya ialah periwayatan di mana seorang tabi'i berkata, "Rasulullah bersabda " (dengan tidak menyebutkan nama sahabat), sebagaimana istilah yang sudah dimaklumi.
[61] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq, Sa'id bin Manshur, dan Baihaqi dengan sanad yang sahih.
[62] Ini adalah perkataan Imam Bukhari sendiri sebagai hasil ijtihad fiqihiah.
[63] Al-Hafizh tidak mentakhrijnya.
[64] Di-maushul-kan oleh Daruquthni dalam Kitab adz-Dzabh dengan sanad sahih.
[65] Riwayat ini adalah mu'allaq di sisi penyusun dari beberapa jalan. Tetapi, sebagian jalannya di-maushul-kan oleh Muslim dan lainnya sebagaimana sudah saya jelaskan di dalam Ash-Shahihah (pada nomor sebelum 2000).
[66] Riwayat ini juga mu'allaq, tetapi di-maushul-kan oleh Ahmad.
[67] Di-maushul-kan oleh Ibnu Khuzaimah, al-Hasan bin Sufyan, dan al-Baihaqi (3/265), dan di dalam sanadnya terdapat Abu Haris sedangkan dia itu lemah.
[68] Di-mausltu!-kan oleh Said bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah (3/12) dengan sanad yang sahih.
[69] Seakan-akan dia berkata, "Cahaya matahari masih tampak, maka alangkah baiknya kalau engkau tunggu sehingga cahayanya lenyap dan malam tiba." Dengan ucapannya ini ia mengisyaratkan kepada firman Allah, 'Dan sempurnakanlah puasa hingga malam tiba.' Seolah-olah dia mengira bahwa malam itu belum datang sehingga dengan jelas matahari telah tenggelam secara langsung, sesudah kegelapan merata ke timur dan barat. Maka, Nabi memberikan pengertian kepadanya bahwa malam itu dianggap sudah tiba apabila permulaan gelap telah terjadi dari arah timur dan persis setelah matahari tenggelam.
[70] Abdur Razzaq menambahkan (4/226/7594) bahwa orang itu berkata, "Kalau seseorang mau melihat-lihatnya di atas kendaraannya, niscaya dia dapat melihatnya, yakni melihat matahari." Sanadnya sahih menurut syarat Shahih Bukhari dan Muslim.
[71] Di-maushul-kan oleh Abd bin Humaid, dia berkata, "Kami diberi tahu oleh Ma'mar tentang hal itu." Sanadnya sahih.
[72] Menunjuk kepada hadits yang baru saja disebutkan di muka "51- BAB" nomor 965.
[73] Muslim menambahkan (3/168): "dan puasa Ramadhan".
[74] Muslim juga menambahkan: "sebagai gantinya".
[75] Tambahan ini diriwayatkan secara mu'allaq oleh penyusun, dan di-maushul-kan oleh Nasa'i dengan sanad yang sahih.
[76] Jual beli mulamasah ialah dengan menyentuh kain tanpa melihatnya. Dengan cara demikian jual beli pun terjadi dan tidak ada hak khiyar 'menentukan pilihan'. Demikian pula dengan munabadzah, di sini si pembeli tidak punya hak untuk melihat barangnya. Larangan jual beli mulamasah dan munabadzah ini sudah disebutkan dari jalan lain pada nomor 328 dengan ditegaskan sebagai hadits marfu dari Nabi saw. Sedangkan, larangan Puasanya itu tidak saya lihat secara tegas sebagai hadits marfu dalam kitab ini. Karena itulah saya tidak memasukkannya ke jalan periwayatan yang lalu, dan saya memberinya nomor tersendiri.
Sumber: Ringkasan Shahih Bukhari - M. Nashiruddin Al-Albani - Gema Insani Press
III. TUJUAN DAN FUNGSI DARI HIKMAH PUASA.
Puasa wajib ramadhan adalah puasa dengan hukum wajib 'ain yang harus dilakukan oleh setiap orang islam beriman di bulan ramadan yang telah dewasa (akil balig), waras, mampu, merdeka dan tidak dalam safar sesuai dengan perintah langsung dari Allah SWT dalam firmanNya di dalam Kita Suci Al-Qur'an.
Puasa merupakan ibadah wajib yang ada dalam rukun islam dengan menahan lapar dan haus serta hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbit fajar di timur hingga terbenam matahari di barat. Orang yang melanggar aturan puasa akan batal puasanya dan wajib mengganti puasanya dengan hari lain di luar romadon.
Firman Allah Mengenai Puasa Ramadhan :
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa"(Q.S. Al-Baqarah: 183)
"(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
(Q.S. Al-Baqarah: 184).
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur.”(Q.S. Al-Baqarah: 185)
Fungsi / tujuan puasa selama satu bulan penuh di bulan suci ramadhan adalah sangat baik, yaitu untuk meningkatkan ketaqwaan kita kepada Tuhan yang menciptakan kita Allah SWT. Di samping itu juga terdapat banyak sekali guna dan manfaat dari melaksanakan puasa ramadhan yaitu baik untuk jasmani maupun rohani.
Berikut ini adalah beberapa Manfaat dan Hikmah Puasa Ramadhan :
1. Membuat kita lebih taqwa kepada Allah SWT.
2. Mendapatkan pahala yang melimpah ruah.
3. Memberikan efek yang menyehatkan tubuh kita dan dapat menyembuhkan berbagai penyakit.
4. Melatih kita untuk menahan nafsu bejat selama hidup di dunia fana.
5. Mendorong kita untuk selalu berbuat kebajikan.
6. Bisa memasukkan kita ke dalam surga jika kita telah mati.
7. Melatih sabar, pengendalian diri, disiplin, jujur, emosi, dll.
8. Mempersempit jalan aliran darah di mana setan berlalu-lalang.
9. Mempererat tali silaturahmi dengan sahur dan buka puasa bersama.
10. Menghilangkan dosa di antara manusia dengan saling maaf-memaafkan di hari lebaran idul fitri kembali ke fitrah manusia.
Berikut ini adalah beberapa Keutamaan Puasa Ramadhan :
1. Orang yang berpuasa ramadhan bisa masuk ke dalam surga ar-raiyan.
2. Puasa bisa menjadi penebus dosa.
3. Orang yang berpuasa akan mendapatkan kegembiraan.
4. Puasa adalah penangkal.
5. Mendapatkan ganjaran dari Allah tanpa hitungan.
6. Bau mulut orang yang melakukan puasa bagi Allah SWT wanginya lebih wangi dari bau kesturi.
7. Puasa dan Al-quran memberikan syafaat.
Puasa hanya wajib bagi orang islam yang beriman kepada Allah SWT. Jika anda tidak beriman, maka anda tidak wajib puasa. Selamat menunaikan ibadah Puasa bagi yang menjalankannya. Semoga pol puasanya dan jangan lupa niat puasa sebelum menjalankan ibadah puasanya
IV. SYARAT DAN RUKUN SAH PUASA.
Syarat Wajib Puasa[1]
Syarat wajibnya puasa yaitu:
(1) islam
(2) berakal
(3) sudah baligh[2]
(4) mengetahui akan wajibnya puasa.[3]
Syarat Wajibnya Penunaian Puasa[4]
Syarat wajib penunaian puasa, artinya ketika ia mendapati waktu tertentu, maka ia dikenakan kewajiban puasa. Syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut :
(1) Sehat, tidak dalam keadaan sakit.
(2) Menetap, tidak dalam keadaan bersafar. Dalil kedua syarat ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185). Kedua syarat ini termasuk dalam syarat wajib penunaian puasa dan bukan syarat sahnya puasa dan bukan syarat wajibnya qodho’ puasa. Karena syarat wajib penunaian puasa di sini gugur pada orang yang sakit dan orang yang bersafar. Ketika mereka tidak berpuasa saat itu, barulah mereka qodho’ berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika mereka tetap berpuasa dalam keadaan demikian, puasa mereka tetap sah.
(3) Suci dari haidh dan nifas. Dalilnya adalah hadits dari Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Hadits tersebut adalah,
عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.”[5] Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho’ puasanya.[6]
Syarat Sahnya Puasa
Syarat sahnya puasa ada dua, yaitu:[7]
(1) Islam: tidak sah puasa orang kafir sebelum masuk Islam.
(2) Akal: tidak sah puasa orang gila sampai kembali berakal.
(3) Tamyiz: tidak sah puasa anak kecil sebelum dapat membedakan (yang balk dengan yang buruk).
(4) Tidak haid: tidak sah puasa wanita haid, sebelum berhenti haidnya.
(5) Tidak nifas: tidak sah puasa wanita nifas, sebelum suci dari nifas.
(6) Berniat. Niat merupakan syarat sah puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah yang lain. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.”[8]
Niat puasa ini harus dilakukan untuk membedakan dengan menahan lapar lainnya. Menahan lapar bisa jadi hanya sekedar kebiasaan, dalam rangka diet, atau karena sakit sehingga harus dibedakan dengan puasa yang merupakan ibadah.
Namun, para pembaca sekalian perlu ketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan (dilafadzkan). Karena yang dimaksud niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan niat letaknya di hati[9]. Semoga Allah merahmati An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Syafi’iyah- yang mengatakan,
لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”[10]
Ulama Syafi’iyah lainnya, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan,
وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ ، وَلَا تَكْفِي بِاللِّسَانِ قَطْعًا ، وَلَا يُشْتَرَطُ التَّلَفُّظُ بِهَا قَطْعًا كَمَا قَالَهُ فِي الرَّوْضَةِ
“Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali tidakk disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar Roudhoh.”[11]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَالنِّيَّةُ مَحَلُّهَا الْقَلْبُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ ؛ فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِلِسَانِهِ أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ بِاتِّفَاقِهِمْ
“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.”[12]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan pula, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.”[13]
Wajib Berniat Sebelum Fajar[14]
Dalilnya adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshoh –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”[15]
Syarat ini adalah syarat puasa wajib menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali. Yang dimaksud dengan berniat di setiap malam adalah mulai dari tenggelam matahari hingga terbit fajar.[16]
Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat setelah terbit fajar menurut mayoritas ulama. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil masalah ini adalah hadits ‘Aisyah berikut ini. ‘Aisyah berkata,
دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.
“Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.”[17] An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini adalah dalil bagi mayoritas ulama, bahwa boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.”[18] Di sini disyaratkan bolehnya niat di siang hari yaitu sebelum niat belum melakukan pembatal puasa. Jika ia sudah melakukan pembatal sebelum niat (di siang hari), maka puasanya tidak sah. Hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya.[19]
Niat ini harus diperbaharui setiap harinya. Karena puasa setiap hari di bulan Ramadhan masing-masing hari berdiri sendiri, tidak berkaitan satu dan lainnya, dan tidak pula puasa di satu hari merusak puasa hari lainnya. Hal ini berbeda dengan raka’at dalam shalat.[20]
Niat puasa Ramadhan harus ditegaskan (jazm) bahwa akan berniat puasa Ramadhan. Jadi, tidak boleh seseorang berniat dalam keadaan ragu-ragu, semisal ia katakan, “Jika besok tanggal 1 Ramadhan, berarti saya tunaikan puasa wajib. Jika bukan 1 Ramadhan, saya niatkan puasa sunnah”. Niat semacam ini tidak dibolehkan karena ia tidak menegaskan niat puasanya.[21] Niat itu pun harus dikhususkan (dita’yin) untuk puasa Ramadhan saja tidak boleh untuk puasa lainnya.[22]
Rukun Puasa
Berdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari[23]. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Yang dimaksud dari ayat adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan yang dimaksud benang secara hakiki.
Dari ‘Adi bin Hatim ketika turun surat Al Baqarah ayat 187, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
إِنَّمَا ذَاكَ بَيَاضُ النَّهَارِ مِنْ سَوَادِ اللَّيْلِ
“Yang dimaksud adalah terangnya siang dari gelapnya malam”[24]. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan seperti itu pada ‘Adi bin Hatim karena sebelumnya ia mengambil dua benang hitam dan putih. Lalu ia menanti kapan muncul benang putih dari benang hitam, namun ternyata tidak kunjung nampak. Lantas ia menceritakan hal tersebut pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau pun menertawai kelakukan ‘Adi bin Hatim.[25]
Catatan Kaki :
[1] Disebut dengan syarat wujub shoum.
[2] Tanda baligh adalah: (1) Ihtilam, yaitu keluarnya mani dalam keadaan sadar atau saat mimpi; (2) Tumbuhnya bulu kemaluan; atau (3) Dua tanda yang khusus pada wanita adalah haidh dan hamil. (Lihat Al Mawsua’ah Al Fiqhiyah, 2/3005-3008).
Sebagian fuqoha menyatakan bahwa diperintahkan bagi anak yang sudah menginjak usia tujuh tahun untuk berpuasa jika ia mampu sebagaimana mereka diperintahkan untuk shalat. Jika ia sudah berusia 10 tahun dan meninggalkannya –padahal mampu-, maka hendaklah ia dipukul. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916)
[3] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916.
[4] Disebut dengan syarat wujubul adaa’ shoum.
[5] HR. Muslim no. 335.
[6] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916-9917.
[7] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 97 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9917.
[8] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin Al Khottob.
[9] Niat tidak perlu dilafazhkan dengan “nawaitu shouma ghodin …”. Jika seseorang makan sahur, pasti ia sudah niat dalam hatinya bahwa ia akan puasa. Agama ini sungguh tidak mempersulit umatnya.
[10] Rowdhotuth Tholibin, 1/268.
[11] Mughnil Muhtaj, 1/620.
[12] Majmu’ Al Fatawa, 18/262.
[13] Idem.
[14] Yang dimaksudkan adalah masuk waktu shubuh.
[15] HR. Abu Daud no. 2454, Tirmidzi no. 730, dan Nasa’i no. 2333.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Riwayat yang menyatakan bahwa hadits ini mauquf (hanya perkataan sahabat) tidak menafikan riwayat di atas. Karena riwayat marfu’ adalah ziyadah (tambahan) yang bisa diterima sebagaimana dikatakan oleh ahli ilmu ushul dan ahli hadits. Pendapat seperti ini pun dipilih oleh sekelompok ulama, namun diselisihi oleh yang lainnya. Ulama yang menyelisihi tersebut berdalil tanpa argumen yang kuat” (Ar Roudhotun Nadiyah, hal. 323).
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Irwaul Gholil 914 (4/26).
[17] HR. Muslim no. 1154.
[18] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/35.
[19] Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matn Al Iqna’, 6/32.
[20] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9922.
[21] Inilah pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9918.
[22] Ini pendapat jumhur (mayoritas ulama). Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9918.
[23] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9915.
[24] HR. Tirmidzi no. 2970, beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
[25] HR. Ahmad, 4/377. Shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth
V. WAKTU-WAKTU PUASA DAN WAKTU DILARANG PUASA.
Waktu haram puasa adalah waktu di mana umat Islam dilarang berpuasa. Hikmahnya adalah ketika semua orang bergembira, seseorang itu perlu turut bersama merayakannya.
• Berpuasa pada Hari Raya Idul Fitri ( 1 Syawal ).
• Berpuasa pada Hari Raya Idul Adha ( 10 Zulhijjah )
• Berpuasa pada hari-hari Tasyrik ( 11, 12, dan 13 Zulhijjah )
Selain hari-hari tersebut, ada pula waktu dimana umat Islam dianjurkan untuk tidak berpuasa, yaitu ketika ada kerabat atau teman yang sedang mengadakan pesta syukuran atau pernikahan. Hukum berpuasa pada hari ini bukan haram, melainkan makruh, karena Allah tidak menyukai jika seseorang hanya memikirkan kehidupan akhirat saja sementara kehidupan sosialnya (menjaga hubungan dengan kerabat atau masyarakat) ditinggalkan.
1. Hari Raya Idul Fithri
Tanggal 1 Syawwal telah ditetapkan sebagai hari raya sakral umat Islam. Hari itu adalah hari kemenangan yang harus dirayakan dengan bergembira. Karena itu syariat telah mengatur bahwa di hari itu tidak diperkenankan seseorang untuk berpuasa sampai pada tingkat haram. Meski tidak ada yang bisa dimakan, paling tidak harus membatalkan puasanya atau tidak berniat untuk puasa.
نهَى رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ: يَوْمَ الفِطْرِ وَيَوْمَ الأَضْحَى – متفق عليه
Rasulullah SAW melarang berpuasa pada dua hari: hari Fithr dan hari Adha. (HR Muttafaq ‘alaihi).
2. Hari Raya Idul Adha
Hal yang sama juga pada tanggal 10 Zulhijjah sebagai Hari Raya kedua bagi umat Islam. Hari itu diharamkan untuk berpuasa dan umat Islam disunnahkan untuk menyembelih hewan Qurban dan membagikannya kepada fakir msikin dan kerabat serta keluarga. Agar semuanya bisa ikut merasakan kegembiraan dengan menyantap hewan qurban itu dan merayakan hari besar.
3. Hari Tasyrik
Hari tasyrik adalah tanggal 11, 12 dan 13 bulan Zulhijjah. Pada tiga hari itu umat Islam masih dalam suasana perayaan hari Raya Idul Adha sehingga masih diharamkan untuk berpuasa. Namun sebagian pendapat mengatakan bahwa hukumnya makruh, bukan haram. Apalagi mengingat masih ada kemungkinan orang yang tidak mampu membayar dam haji untuk puasa 3 hari selama dalam ibadah haji.
إِنَّهَا أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْب وَذِكْرِ اللهِ تَعَالى – رواه مسلم
Sesungguhnya hari itu (tasyrik) adalah hari makan, minum dan zikrullah (HR Muslim)
4. Puasa sehari saja pada hari Jumat
Puasa ini haram hukumnya bila tanpa didahului dengan hari sebelum atau sesudahnya. Kecuali ada kaitannya dengan puasa sunnah lainnya seperti puasa sunah nabi Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari tidak. Maka bila jatuh hari Jumat giliran untuk puasa, boleh berpuasa. Sebagian ulama tidak sampai mengharamkannya secara mutlak, namun hanya sampai makruh saja.
5. Puasa pada hari Syak
Hari syah adalah tanggal 30 Sya‘ban bila orang-orang ragu tentang awal bulan Ramadhan karena hilal (bulan) tidak terlihat. Saat itu tidak ada kejelasan apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum. Ketidak-jelasan ini disebut syak. Dan secara syar‘i umat Islam dilarang berpuasa pada hari itu. Namun ada juga yang berpendapat tidak mengharamkan tapi hanya memakruhkannya saja.
6. Puasa Selamanya
Diharamkan bagi seseorang untuk berpuasa terus setiap hari. Meski dia sanggup untuk mengerjakannya karena memang tubuhnya kuat. Tetapi secara syar‘i puasa seperti itu dilarang oleh Islam. Bagi mereka yang ingin banyak puasa, Rasulullah SAW menyarankan untuk berpuasa seperti puasa Nabi Daud as yaitu sehari puasa dan sehari berbuka.
7. Wanita haidh atau nifas
Wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas diharamkan mengerjakan puasa. Karena kondisi tubuhnya sedang dalam keadaan tidak suci dari hadats besar. Apabila tetap melakukan puasa, maka berdosa hukumnya. Bukan berarti mereka boleh bebas makan dan minum sepuasnya. Tetapi harus menjaga kehormatan bulan Ramadhan dan kewajiban menggantinya di hari lain.
8. Puasa sunnah bagi wanita tanpa izin suaminya
Seorang isteri bila akan mengerjakan puasa sunnah, maka harus meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya. Bila mendapatkan izin, maka boleh lah dia berpuasa. Sedangkan bila tidak diizinkan tetapi tetap puasa, maka puasanya haram secara syar‘i.
Dalam kondisi itu suami berhak untuk memaksanya berbuka puasa. Kecuali bila telah mengetahui bahwa suaminya dalam kondisi tidak membutuhkannya. Misalnya ketika suami bepergian atau dalam keadaan ihram haji atau umrah atau sedang beri‘tikaf. Sabda Rasulullah SAW Tidak halal bagi wanita untuk berpuasa tanpa izin suaminya sedangkan suaminya ada dihadapannya. Karena hak suami itu wajib ditunaikan dan merupakan fardhu bagi isteri, sedangkan puasa itu hukumnya sunnah. Kewajiban tidak boleh ditinggalkan untuk mengejar yang sunnah.
VI. MACAM-MACAM DAN HUKUM PUASA.
Macam-macam puasa.
Puasa dalam Islam bermacam-macam, dan perlu dikaji secara mendalam. Ada dua jenis perintah berkaitan dengan puasa. Satu berkaitan dengan puasa wajib dan yang lain puasa yang bersifat sunnah (pilihan). :
1. Puasa wajib.
Puasa Wajib yaitu buasa yang dilakukan pada bulan kesembilan dalam kalender islam, yaitu bulan ramadhan, dilakukan selama satu bulan penuh dan diakhiri deangan salat idul fitri.
2. Puasa sunnah.
Ada kalanya dianjurkan untuk melakukan puasa sunah, sepeti Tradisi Nabi Muhammad saw. Di antara waktu: Setiap hari Senin dan Kamis dari seminggu
Hari ke-13, 14, dan 15 setiap bulan lunar Enam hari di bulan Syawal (bulan setelah Ramadhan) Hari Arafat (tanggal 9 Dzulhijjah di (Hijriah) Islam kalender)
Hari Ashuraa (10 Muharram dalam (Hijriah) Islam kalender), dengan satu hari lagi puasa sebelum atau setelahnya, Hari Asyura(tanggal 10 muharram) dan Tasu’a(tanggal 9 muharram), Puasa Nabi Daud (sehari puasa sehari berbuka kecuali pada hari yang diharamkan berpuasa).
3. Puasa kafarat.
Yakni bayaran yang diberikan karena tidak mampu memberikan apa yang seharusnya dari hukum yang dilanggar dikarenakan lalai menjalankan kewajiban. Penyebab puasa ini berdasarkan antara lain:
(1) Apabila seseorang tidak mampu memberi makan sepuluh fakir miskin sebanyak atau membebaskan seorang budak, maka ia harus berpuasa selama tiiga hari.
(2) Jika seseorang membunuh seorang mukmin dan ia tidak mampu membayar uang darah (tebusan) atau mungkin memerdekakan seorang budak, maka ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut.
Ketika Islam diperkenalkan agama ini tak tertandingi, benih ditanam tercipta sebuah pohon yang terus tumbuh dengan kebajikan tak terbatas dan produk yang tak ternilai. Berikut adalah penjelasan tentang makna spiritual dari Puasa Islam:
A. Cinta yang tulus: karena ketika ia mengamati Puasa dia melakukannya karena kasih yang mendalam bagi Allah. Dan orang yang mengasihi Allah benar-benar adalah orang yang benar-benar tahu apa itu cinta.
B. Melengkapi manusia dengan rasa kreatif harapan dan pandangan optimis terhadap kehidupan, karena ketika ia berpuasa ia berharap untuk menyenangkan Allah dan mencari karunia-Nya.
C. Menumbuhkan dalam diri manusia kebajikan kebenaran akan devosi yang efektif, dedikasi jujur dan kedekatan dengan Allah, karena ketika ia berpuasa ia melakukannya untuk Tuhan dan demi-Nya sendiri.
D. Melatih Manusia dalam kesabaran dan tidak mementingkan diri sendiri, melalui puasa, ia merasa sakit kekurangan tapi dia bertahan. Mereka sabar.
E. Puasa adalah resep Ilahi untuk diri-jaminan dan pengendalian diri.
Siapa saja yang diwajibkan untuk berpuasa?
Puasa Ramadhan adalah wajib atas setiap muslim, laki-laki atau perempuan, yang memiliki kualifikasi ini:
Secara mental dan fisik fit, yang berarti waras dan mampu.
Untuk menjadi dewasa, usia pubertas dan yang biasanya sekitar umur empat belas. Anak di bawah usia ini harus didorong untuk memulai praktek yang baik pada tingkat mudah, sehingga ketika mereka mencapai usia pubertas mereka akan mental dan fisik siap untuk menjalankan ibadah puasa..Tidak berada jauh di pemukiman permanen seseorang, kota asal Anda, pertanian seseorang, dan tempat usaha seseorang, dll Ini berarti Anda tidak berada dalam perjalanan sekitar lima puluh mil atau lebih.Merasa yakin bahwa puasa tidak mungkin menyebabkan Anda bahaya, fisik maupun mental, selain reaksi normal terhadap lapar, haus, dll.
Orang-orang yang tidak diwajibkan untuk berpuasa :
1. Anak di bawah usia pubertas, kurang dari 14 tahun
Anak anak tidak yang belum dianggap mampu berpuasa tidak diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa. Namun, sejak dini anak harus dibiasakan terlatih untuk berpuasa.
2. Pria dan wanita yang terlalu tua dan lemah untuk melakukan kewajiban berpuasa dan tidak dapat menanggung kesulitan nya. Orang tersebut dibebaskan dari tugas ini, tapi mereka harus memberi makan, fakir miskin Muslim makanan penuh rata-rata atau setara nilai makanan orang per hari.
3. Sakit yang tidak diperbolehkan untuk berpuasa. Setelah merasa mampu menjalankan, maka sudah sepantasnyalah ia menjalankan ibadah puasa.
4. Orang yang sedang dalam perjalanan tidak diwajibkan untuk berpuasa, namun ia dapat menggantinya di hari kemudian sesuia dengan jumlah hari yang ia tinggalkan.
5. Wanita hamil dan wanita menyusui anak-anak mereka juga dapat membatalkan puasa, jika puasa cenderung membahayakan kesehatan mereka sendiri atau bayi mereka. Tapi mereka harus menebus puasanya dikumudian hari, satu hari untuk satu hari.
6. Perempuan di masa-menstruasi.
Perlu dipahami di sini bahwa, seperti dalam semua usaha Islam lainnya, niat harus dibuat jelas, bahwa tindakan ini dilakukan dalam ketaatan kepada Allah, sebagai respons terhadap perintah-Nya dan usaha mendapat kasih-Nya.
Hukum Puasa :
Hukum orang yang tidak berpuasa Ramadhan.
Diperbolehkan tidak puasa pada bulan Ramadhan bagi empat golongan:
a. Orang sakit yang berbahaya baginya jika berpuasa dan orang bepergian yang boleh baginya mengqashar shalat. Tidak puasa bagi mereka berdua adalah afdhal, tapi wajib mengqadhanya. Namun jika mereka berpuasa maka puasa mereka sah (mendapat pahala). Firman Allah Ta'ala: " ….Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.... " (Al-Baqarah:184). Maksudnya, jika orang sakit dan orang yang bepergian tidak berpuasa maka wajib mengqadha (menggantinya) sejumlah hari yang ditinggalkan itu pada hari lain setelah bulan Ramadhan.
b. Wanita haid dan wanita nifas: mereka tidak berpuasa dan wajib mengqadha. Jika berpuasa tidak sah puasanya. Aisyah radhiallahu 'anha berkata: "Jika kami mengalami haid, maka diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan menggadha shalat." (HaditsMuttafaq 'Alaih).
c. Wanita hamil dan wanita menyusui, jika khawatir atas kesehatan anaknya boleh bagi mereka tidak berpuasa dan harus meng-qadha serta memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Jika mereka berpuasa maka sah puasanya. Adapun jika khawatir atas kesehatan diri mereka sendiri, maka mereka boleh tidak puasa dan harus meng-gadha saja. Demikian dikatakan Ibnu Abbas sebagaimana diriwayatkan o!eh Abu Dawud. Lihat kitab Ar Raudhul Murbi', 1/124.
d. Orang yang tidak kuat berpuasa karena tua atau sakit yang tidak ada harapan sembuh. Boleh baginya tidak berpuasa dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Demikian kata Ibnu Abbas menurut riwayat Al-Bukhari. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir, 1/215. Sedangkan jumlah makanan yang diberikan yaitu satu mud (genggam tangan) gandum, atau satu sha' (+ 3 kg) dari bahan makanan lainnya. Lihat kitab 'Umdatul Fiqh, oleh Ibnu Qudamah, him. 28.
Hukum jima' pada siang hari bulan Ramadhan
Diharamkan melakukan jima' (bersenggama) pada siang hari bulan Ramadhan. Dan siapa yang melanggarnya harus meng-qadha dan membayar kaffarah mughallazhah (denda berat) yaitu membebaskan hamba sahaya. Jika tidak mendapatkan, maka berpuasa selama dua bulan berturut-turut; jika tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin; dan jika tidak punya maka bebaslah ia dari kaffarah itu. Firman Allah Ta'ala: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya..." (Al-Baqarah: 285). Lihat kitab Majalisu Syahri Ramadhan, hlm. 102-108.
Hal-hal yang membatalkan puasa :
(a) Makan dan minum dengan sengaja. Jika dilakukan karena lupa maka tidak batal puasanya.
(b) Jima' (bersenggama).
(c) Memasukkan makanan ke dalam perut. Termasuk dalam hal ini adalah suntikan yang mengenyangkan dan transfusi darah.
(d) Mengeluarkan mani dalam keadaan terjaga karena onani, bersentuhan, ciuman atau sebab lainnya dengan sengaja. Adapun keluar mani karena mimpi tidak membatalkan puasa karena keluamya tanpa sengaja.
(e) Keluamya darah haid dan nifas. Manakala seorang wanita mendapati darah haid, atau nifas batallah puasanya, baik pada pagi hari atau sore hari sebelum terbenam matahari.
(f) Sengaja muntah, dengan mengeluarkan makanan atau minuman dari perut melalui mulut. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Barangsiapa yang muntah tanpa sengaja maka tidak wajib qadha, sedang barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka wajib qadha." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi). Dalam lafazh lain disebutkan: "Barangsiapa muntah tanpa disengaja, maka ia tidak (wajib) mengganti puasanya." Diriwayatkan oleh Al-Harbi dalam Gharibul Hadits(5/55/1) dari Abu Hurairah secara maudu' dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah No. 923.
(g) Murtad dari Islam -semoga Allah melindungi kita darinya. Perbuatan ini menghapuskan segala amal kebaikan. Firman Allah Ta'ala: "Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-An'aam: 88).
Tidak batal puasa orang yang melakukan sesuatu yang membatalkan puasa karena tidak tahu, lupa atau dipaksa. Demikian pula jika tenggorokannya kemasukan debu, lalat, atau air tanpa disengaja. Jika wanita nifas telah suci sebelum sempurna empat puluh hari, maka hendaknya ia mandi, shalat dan berpuasa.
Kewajiban orang yang berpuasa
Orang yang berpuasa, juga lainnya, wajib menjauhkan diri dari perbuatan dusta, ghibah(menyebutkan kejelekan orang lain), namimah (adu-domba), laknat (mendo'akan orang dijauhkan dari rahmat Allah) dan mencaci-maki. Hendaklah ia menjaga telinga, mata, lidah dan perutnya dari perkataan yang haram, penglihatan yang haram, pendengaran yang haram, makan dan minum yang haram.
Puasa yang disunatkan
Disunatkan puasa 6 hari pada bulan Syawwal, 3 hari pada setiap bulan (yang afdhal yaitu tanggal 13, 14 dan 15; disebut shaum al-biidh), hari Senin dan Kamis, 9 hari pertama bulan Dzul Hijjah (lebih ditekankan tanggal 9, yaitu hari Arafah), hari 'Asyura (tanggal 10 Muharram) ditambah sehari sebelum atau sesudahnya untuk mengikuti jejak Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya yang mulia serta menyelisihi kaum Yahudi.
VII. CARA MENENTUKAN AWAL DAN AKHIR PUASA MENURUT MUHAMMADIYAH.
Penentuan Awal Puasa dan Iedul Fithri
Awal puasa ditentukan dengan tiga cara:
1.Ru’yah hilal (melihat bulan sabit pertama).
2.Persaksian atau kabar tentang ru’yah hilal.
3.Menyempurnakan bilangan hari bulan Sya’ban.
Tiga hal ini diambil dari hadits-hadits dibawah ini:
1. Hadits dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda: “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal bulan Ramadhan) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika (penglihatan) kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.” (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081).
2. Hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa (sunnat) pada waktu itu. Dan janganlah kalian berbuka sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.” (HR. Abu Dawud 2327, An-Nasa’I 1/302, At-Tirmidzi 1/133, Al-Hakim 1/425, dan di-Shahih-kan sanadnya oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)
3. Hadits dari ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Apabila datang bulan Ramadhan, maka berpuasalah 30 hari kecuali sebelum itu kalian melihat hilal.” (HR. At-Thahawi dalam Musykilul Atsar 105, Ahmad 4/377, Ath-Thabrani dalamAl-Kabir 17/171 dan lain-lain)
4. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Puasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Jika awan menghalangi kalian sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika dua orang saksi mempersaksikan (mengaku melihat hilal) maka berpuasalah dan berbukalah kalian karenanya.” (HR. An-Nasa’I 4/132, Ahmad 4/321, Ad-Daruquthni, 2/167, dari Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khattab dari sahabat-sahabat Rasulullah, sanadnya Hasan. Demikian keterangan Syaikh Salim Al-Hilali serta Syaikh Ali Hasan. LihatShifatus Shaum Nabi, hal. 29)
Hadits-hadits semisal itu diantaranya dari Aisyah, Ibnu Umar, Thalhah bin Ali, Jabir bin Abdillah, Hudzaifah dan lain-lain radliallahu ‘anhum. Syaikh Al-Albani membawakan riwayat-riwayat mereka serta takhrij-nya dalam Irwa’ul Ghalil hadits ke 109.
Isi dan makna hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa awal bulan puasa dan Iedul Fithri ditetapkan dengan tiga perkara diatas. Tentang persaksian atau kabar dari seseorang berdalil dengan hadits yang keempat dengan syarat pembawa berita adalah orang Islam yang adil (dapat dipercaya karena kelurusan perilakunya dan pengetahuannya), sebagaimana tertera dalam riwayat Ahmad dan Daraquthni. Sama saja saksinya dua orang atau satu orang, sebagaimana telah dinyatakan oleh Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma ketika beliau berkata: “Manusia sedang melihat-lihat (munculnya) hilal. Aku beritahukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa aku melihatnya. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2342, Ad-Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871, Al-Hakim 1/423 dan Al-Baihaqi, sanadnya Shahih sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam At-Talkhisul Kabir 2/187)
Perbedaan Mathla’ (Tempat Muncul Hilal)
Hadits-hadits diatas menerangkan dengan jelas bahwa dalam mengetahui masuk dan berakhirnya bulan puasa adalah dengan ru’yah hilal (melihat bulan sabit pertama), bukan denganhisab (perhitungan kalender). Dan konteks kalimatnya kepada semua kaum muslimin (di seluruh kawasan dan negeri) bukan hanya kepada satu negeri atau kampung tertentu.
Maka, bagaimana cara mengkompromikan hadits-hadits diatas dengan hadits Kuraib atau hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum yang berbunyi: “Kuraib mengabarkan bahwa Ummu Fadhl bintul Harits mengutusnya kepada Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata: "Aku sampai di Syam kemudian aku memenuhi keperluannya dan diumumkan tentang hilal Ramadhan, sedangkan aku masih berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah pada akhir bulan. Maka Ibnu Abbas bertanya kepadaku kemudian dia sebutkan tentang hilal : "Kapan kamu melihat Hilal?" Akupun menjawab: "Aku melihatnya pada malam Jum’at." Beliau bertanya lagi: "Engkau melihatnya pada malam Jum’at?" Aku menjawab: "Ya, orang-orang melihatnya dan merekapun berpuasa, begitu pula Muawiyyah." Dia berkata: "Kami melihatnya pada malam Sabtu, kami akan berpuasa menyempurnakan tiga puluh hari atau kami melihatnya (hilal)." Aku bertanya: "Tidakkah cukup bagimu ru'yah dan puasa Muawiyyah?" Beliau menjawab: "Tidak! Begitulah Rasulullah memerintahkan kami.” (HR. Muslim 1087, At-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud 1021. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi di-Shahih-kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/213)
Dalam hadits Kuraib diatas dan hadits-hadits sebelumnya para ulama berselisih pendapat. Perselisihan ini disebutkan dalam Fathul Bari Juz. 4 hal. 147. Ibnu Hajar berkata: Para Ulama berbeda pendapat tentang hal ini atas beberapa pendapat :
Pendapat Pertama:
Setiap negeri mempunyai ru’yah atau mathla’. Dalilnya dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam Shahih Muslim. Ibnul Mundzir menceritakan hal ini dari Ikrimah, Al-Qasim Salim dan Ishak, At-Tirmidzi mengatakan bahwa keterangan dari ahli ilmu dan tidak menyatakan hal ini kecuali beliau. Al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini adalah salah satu pendapat madzab Syafi’i.
Pendapat Kedua:
Apabila suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Pendapat ini masyhur dari kalangan madzhab Malikiyah. Tetapi Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa ijma’ telah menyelisihinya. Beliau mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa ru’yah tidak sama pada negara yang berjauhan seperti antara Khurasan (negara di Rusia) dan Andalus (negeri Spanyol).
Al-Qurthubi berkata bahwa para syaikh mereka telah menyatakan bahwa apabila hilal tampak terang disuatu tempat kemudian diberitakan kepada yang lain dengan persaksian dua orang, maka hal itu mengharuskan mereka semua berpuasa.
Sebagian pengikut madzhab Syafi’i berpendapat bahwa apabila negeri-negeri berdekatan, maka hukumnya satu dan jika berjauhan ada dua: 1. Tidak wajib mengikuti, menurut kebanyakan mereka. 2. Wajib mengikuti. Hal ini dipilih oleh Abu Thayib dan sekelompok ulama. Hal ini dikisahkan oleh Al-Baghawi dari Syafi’i.
Sedangkan dalam menentukan jarak (jauh) ada beberapa pendapat:
1. Dengan perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudlah dan Syarhul Muhadzab.
2. Dengan jarak meng-qashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam Al-Baghawi dan dibenarkan oleh Ar-Rafi’i dalam Ash-Shaghir dan An-Nawawi dalam Syarhul Muslim.
3. Dengan perbedaan iklim.
4. Pendapat As-Sarkhasi: “Keharusan ru’yah bagi setiap negeri yang tidak samar atas mereka hilal.”
5. Pendapat Ibnul Majisyun: “Tidak harus berpuasa karena persaksian orang lain...” Berdalil dengan wajibnya puasa dan beriedul fithri bagi orang yang melihat hilal sendiri walaupun orang lain tidak berpuasa dengan beritanya.
Imam Syaukani menambahkan: “Tidak harus sama jika berbeda dua arah, yakni tinggi dan rendah yang menyebabkan salah satunya mudah melihat hilal dan yang lain sulit atau bagi setiap negeri mempunyai iklim. Hal ini diceritakan oleh Al-Mahdi dalam Al-Bahr dari Imam Yahya dan Hadawiyah.”
Hujjah ucapan-ucapan diatas adalah hadits Kuraib dan segi pengambilan dalil adalah perbuatan Ibnu Abbas bahwa beliau tidak beramal (berpuasa) dengan ru’yah penduduk Syam dan beliau berkata pada akhir hadits : “Demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh kami.” Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menghapal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa penduduk suatu negeri tidak harus beramal dengan ru’yah negeri lain. Demikian pendalilan mereka.
Adapun menurut jumhur ulama adalah tidak adanya perbedaan mathla’ (tempat munculnya hilal). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Ucapan ini umum mencakup seluruh ummat manusia. Jadi siapa saja dari mereka melihat hilal dimanapun tempatnya, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.” (Fiqhus Sunah 1/368)
As-Shan’ani rahimahullah berkata, “Makna ucapan “karena melihatnya” yaitu apabila ru’yah didapati diantara kalian. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.” (Subulus Salam 2/310)
Imam As-Syaukani membantah pendapat-pendapat yang menyatakan bahwasanya ru’yah hilal berkaitan dengan jarak, iklim dan negeri dalam kitabnya Nailul Authar 4/195.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa berkata: “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i, diantaranya mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan, kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal...."
Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka wajib puasa. Demikian juga kalau menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.” (Majmu’ Fatawa Juz 25 hal 104-105)
Shidiq Hasan Khan berkata: “Apabila penduduk suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Hal itu dari segi pengambilan dalil hadits-hadits yang jelas mengenai puasa, yaitu “karena melihat hilal dan berbuka (iedul fithri) karena hilal” (Hadits Abu Hurairah dan lain-lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua ummat, maka barangsiapa diantara mereka melihat hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru’yah itu untuk semuanya ...” (Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/146)
Bolehkah Ber-Iedul Fithri Sendiri Menyelisihi Kaum Muslimin?
Sekarang timbul permasalahan yaitu seseorang yang melihat hilal (bulan sabit awal Ramadhan atau awal Syawal) sendirian secara jelas, apakah dia harus beriedul fithri/berpuasa sendiri atau bersama manusia? Dalam permasalahan ini ada tiga pendapat, sebagaimana yang dirinci oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 25/114:
Pendapat Pertama: Wajib atasnya berpuasa (bila melihat hilal Ramadhan) dan ber’iedul fithri (bila melihat hilal Syawal) secara sembunyi-sembunyi. Inilah madzhab Syafi’i.
Pendapat Kedua: Dia harus berpuasa (bila melihat hilal Ramadhan) tetapi tidak ber’iedul fithri (bila melihat hilal Syawal) kecuali ketika bersama manusia. Pendapat ini masyhur dari madzhab Maliki dan Hanafi.
Pendapat Ketiga: Dia berpuasa dan ber’iedul fithri bersama manusia. Inilah pendapat yang paling jelas karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya): "Puasa kalian adalah pada hari kalian semua berpuasa dan berbuka kalian (Iedul Fithri) adalah pada hari kalian semua berbuka (tidak berpuasa) dan (Iedul) Adha kalian adalah hari kalian berkurban." (HR. Tirmidzi 2/37 dan beliau berkata “hadits gharib hasan”. Syaikh Al-Albani berkata: “Sanadnya jayyid (bagus) dan rawi-rawinya semuanya tsiqah (terpercaya). Lihat Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/440). Demikian keterangan Syaikhul Islam.
Bertolak dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu diatas, para ulama pun berkomentar. Di antaranya Imam At-Tirmidzi berkata setelah membawakan hadits ini: "Sebagian ahlu ilmi (ulama) mentafsirkan hadits ini bahwa puasa dan Iedul Fithri bersama mayoritas manusia."
Imam As-Shan’ani berkata: "Dalam hadits itu terdapat dalil bahwa hari Ied ditetapkan bersama manusia. Orang yang mengetahui hari Ied dengan ru’yah sendirian wajib baginya untuk mencocoki lainnya dan mengharuskan dia untuk mengikuti mereka didalam shalat Iedul Fithri dan Iedul Adha." (Subulus Salam 2/72)
Abul Hasan As-Sindi setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah pada riwayat Tirmidzi, berkata dalam Shahih Ibnu Majah: “Yang jelas maknanya adalah bahwa perkara-perkara (berpuasa dan berhari raya) ini bukan untuk perorangan, tidak boleh bersendirian dalam hal itu. Perkaranya tetap diserahkan kepada imam dan jamaah. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal sedangkan imam menolak persaksiannya, maka seharusnya tidak diakui dan wajib atasnya untuk mengikuti jamaah pada yang demikian itu.”
Syaikh Al-Albani menegaskan: “Makna inilah yang terambil dari hadits tersebut. Diperkuat makna ini dengan hujjah Aisyah terhadap Masruq melarang puasa pada hari Arafah karena khawatir pada saat itu hari nahr (10 Dzulhijah). Aisyah menerangkan kepadanya bahwa pendapatnya tidak dianggap dan wajib atasnya untuk mengikuti jama’ah. Aisyah berkata: “Nahr (Iedul Adha) adalah hari orang-orang menyembelih kurban dan Iedul Fithri adalah hari orang-orang berbuka.” (Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/443-444)
Akan tetapi jika seseorang tinggal disuatu tempat yang tidak ada orang kecuali dia, apabila ia melihat hilal, maka wajib berpuasa karena dia sendirian di sana. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa 25/117.
Terkadang seorang Imam meremehkan ketika disampaikan penetapan hilal dengan menolak persaksian orang yang adil, bisa jadi karena tidak mau membahas tentang keadilannya atau karena politik dan sebagainya dari alasan-alasan yang tidak syar’i, maka bagaimana hukumnya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam hal ini mengatakan: “Apa yang sudah menjadi ketetapan sebuah hukum tidak berbeda keadaannya pada orang yang diikuti dalam ru’yah hilal. Sama saja dia seorang mujtahid yang benar atau salah, atau melampaui batas. Tentang masalah apabila hilal tidak tampak dan tidak diumumkan padahal manusia sangat bersemangat mencarinya telah tersebut dalam As-Shahihah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang para imam: "Mereka (para imam) shalat bersama kalian, jika mereka benar maka pahala bagi kalian dan mereka, dan jika salah maka pahala bagi kalian dan dosa atas mereka.” Maka kesalahan dan pelampauan batas adalah tanggung jawab mereka bukan tanggung jawab kaum muslimin yang tidak salah dan tidak melampaui batas.” (Majmu’ Fatawa, 25/206)
Jika timbul pertanyaan bagaimana hukum puasa pada hari mendung, pada saat hilal terhalang oleh awan sedangkan pada waktu itu malam yang ke 30 dari bulan Sya’ban?
Dalam permasalahan ini, Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam menerangkan dalam kitab beliauTaudlihul Ahkam 1/139 sebagai berikut: “Pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad adalah wajib puasa pada waktu itu. Pengikut-pengikut beliau membela madzhabnya dan membantah hujjah orang yang menyelisihinya. Pendapat ini berdalil dengan hadits Ibnu Umarradhiallahu ‘anhuma yang ada dalam Shahihain bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallambersabda: "Apabila kalian melihat hilal (Ramadhan), maka puasalah dan apabila melihatnya (hilal Syawal) maka berbukalah. Jika mendung atas kalian maka kira-kirakanlah.” Dengan persempit bulan Sya’ban menjadi 29 hari.
Sedangkan Imam Malik, Syafi’I dan Hanafi berpendapat bahwa tidak disyari’atkannya puasa pada waktu itu, karena pada waktu itu adalah waktu keraguan yang dilarang puasa padanya. Mereka berdalil dengan hadits Ammar yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan: “Barang siapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka dia sungguh telah bermaksiat kepada Abul Qasim (Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam).” Pendapat inilah pendapat Imam Ahmad yang sebenarnya.
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni bahwa riwayat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa pada waktu itu puasa tidak wajib dan jika dia puasa, maka tidak dianggap puasa Ramadhan. Inilah pendapat kebanyakan ahlul ilmi (ulama).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : “Tidak berpuasa (pada saat itu) adalah madzhab Imam Ahmad. Imam Ahmad juga mengatakan bahwa berpuasa pada hari yang diragukan adalah mendahului Ramadhan dengan puasa satu hari. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang hal itu. Yang masih diragukan adalah tentang wajibnya berpuasa pada hari itu, padahal tidak wajib dilakukan bahkan yang disunnahkan adalah meninggalkannya …. Kalau dikatakan boleh dua perkara, maka sunnah untuk berbuka itu lebih utama.”
Beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata dalam Al-Furu: “Aku tidak mendapatkan dari Ahmad bahwa beliau menegaskan wajibnya dan memerintahkannya, maka janganlah (pendapat diatas) dinisbatkan (dihubungkan) kepadanya.”
Syaikh Muhammad bin Hasan berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa para peneliti dari kalangan madzhab Hambali dan selainnya berpendapat tentang tidak wajibnya berpuasa bahkan dimakruhkan atau diharamkan.”
Syaikh Abdul Lathief bin Ibrahim barkata bahwa orang yang melarang puasa (pada waktu diatas) mempunyai hujjah hadits-hadits, diantaranya hadits Ammar: “Tidak boleh puasa pada waktu ragu.” At-Tirmidzi mengatakan bahwa berdasarkan hadits ini para ulama dari kalangan shahabat dan tabi’in beramal.” Demikian penjelasan Syaikh Ali Bassam.
Dari keterangan diatas menunjukkan bahwa malam ke-30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal karena terhalang oleh awan dan selainnya adalah waktu yang diragukan padanya puasa. Oleh karena itu Imam As-Shan’ani menegaskan: “Ketahuilah bahwa hari yang diragukan adalah hari ke 30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal pada malam itu, karena ada awan yang menghalangi atau selainnya. Bisa jadi saat itu bulan Ramadhan atau Sya’ban. Dan makna hadits Ammar dan selainnya menunjukkan atas haramnya puasa (pada saat itu).” (Subulus Salam2/308)
Kalau sudah jelas bahwa hari yang diragukan, maka tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk berpuasa sebelum Ramadhan satu atau dua hari dengan alasan ihtiyath (berhati-hati) kecuali kalau hari itu bertepatan dengan hari puasa (yang biasa ia lakukan).
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda: “Janganlah kalian dahului Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari, kecuali orang yang biasa berpuasa (sunnat bertepatan pada hari itu), maka puasalah.” (HR. Muslim)
Shilah bin Zufar dari Amar berkata: “Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Lihat Shifatus Shaum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karya Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim Al-Hilali hal.28).
Hukum Hilal Yang Diketahui Pada Akhir Siang
Dari Umair bin Anas bin Malik dari pamannya dari kalangan shahabat bahwasanya ada sekelompok pengendara datang. Mereka mempersaksikan bahwa telah melihat hilal kemarin. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka untuk berbuka (Iedul Fithri) dan pergi pagi-pagi ke tanah lapang keesokan harinya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Tirmidzi 1/214, hadits ke 1026).
Hadits ini sebagai dalil bagi orang yang berkata bahwasanya shalat Ied boleh dilakukan pada hari kedua, apabila tidak jelas waktu Ied kecuali setelah keluar waktu shalatnya. Pendapat ini adalah pendapat Al-Auza’I, At-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, Syafi’i, dan lain-lain. Dhahir hadits diatas menunjukkan bahwa shalat pada hari yang kedua itu adalah penunaian bukan qadla.” Demikian keterangan Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar 3/310.
Imam As-Shan’ani menyatakan: “Hadits diatas sebagai dalil bahwa shalat Ied dilaksanakan hari kedua tatkala waktu Ied diketahui dengan jelas sesudah keluar (habis) waktu shalat (ied).” (Subulus Salam 2/133).
Demikian keterangan para ulama tentang masalah diatas yang menunjukkan bolehnya shalat Iedul Fithri pada hari kedua. Semoga tulisan yang diambil dari kitab-kitab para ulama ini bermanfaat bagi kita. Kesempurnaan itu hanya mutlak milik Allah Ta’ala sedangkan makhluk tempat khilaf dan kekurangan. Wallahu a’lam bisshawat.
Penganut ajaran Islam Kejawen Alif Rebo Wage atau Aboge mempunyai cara tersendiri untuk menentukan kapan dimulainya puasa. Jika Muhammadiyah menggunakan hisab atau perhitungan dan Nahdlatul Ulama menggunakan Rukhyah, maka kaum Aboge menggunakan almanak Jawa untuk menentukan awal puasa. Apa perbedaannya?
"Hitungannya sudah paten, formulasi penanggalannya sudah jelas," kata Juru Bicara Trah Bonokeling, Sumitro, yang menggunakan perhitungan Aboge untuk menentukan awal puasa, Selasa (17/7).
Bagi dia, perhitungan menggunakan penanggalan Jawa mudah untuk dipelajari. Setiap pemuda, kata dia, akan diajari oleh orang tuanya untuk menghitung penanggalan. Selain untuk menentukan hari baik bagi yang akan melangsungkan hajatan, penanggalan itu juga digunakan untuk menentukan hari besar agama, termasuk puasa dan Lebaran.
Menurut dia, berdasarkan penanggalan Jawa, tahun ini merupakan tahun wawu di mana 1 Sura atau tahun baru Islam jatuh pada hari Senin Kliwon. Tahun baru tersebut disingkat Waninwon, atau Wawu Senin Kliwon.
Menurut dia, hitungan Waninwon tersebut menjadi patokan dalam sejumlah penanggalan termasuk penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal berdasarkan rumusan yang telah diyakini penganut Islam Aboge sejak ratusan tahun silam.
Penganut Islam Aboge meyakini bahwa dalam kurun waktu delapan tahun atau satu windu terdiri atas tahun Alif, Ha, Jim, Awal, Za, Dal, Ba/Be, Wawu, dan Jim akhir serta dalam satu tahun terdiri 12 bulan dan satu bulan terdiri atas 29-30 hari dengan hari pasaran berdasarkan perhitungan Jawa, yakni Pon, Wage, Kliwon, Manis (Legi), dan Pahing.
Hari dan pasaran pertama pada tahun Alif jatuh pada Rabu Wage (Aboge), tahun Ha pada Ahad/Minggu Pon (Hakadpon), tahun Jim Awal pada Jumat Pon (Jimatpon), tahun Za pada Selasa Pahing (Zasahing), tahun Dal pada Sabtu Legi (Daltugi), tahun Ba/Be pada Kamis Legi (Bemisgi), tahun Wawu pada Senin Kliwon (Waninwon), dan tahun Jim Akhir pada Jumat Wage (Jimatge).
Hari dan pasaran pertama pada tahun berjalan ini menjadi patokan penentuan penanggalan berdasarkan rumusan yang berlaku bagi penganut Islam Aboge, misalnya Sanemro (Pasa Enem Loro) untuk menentukan awal Ramadan dan Waljiro untuk menentukan 1 Syawal.
Oleh karena sekarang tahun Wawu, kata dia, patokan Waninwon (Wawu Senin Kliwon) diturunkan pada rumusan Sanemro (Pasa Enem Loro), yakni awal puasa Ramadan jatuh pada hari keenam dengan pasaran kedua sehingga muncul Sabtu Manis atau Sabtu Legi.
"Hari pertama tahun Wawu jatuh pada Senin sehingga hari keenamnya adalah Sabtu. Pasaran pertama tahun Wawu jatuh pada Kliwon, sehingga pasaran keduanya pada Manis atau Legi," katanya.
Berdasarkan patokan Waninwon tersebut, kata dia, dapat diketahui bahwa 1 Syawal akan jatuh pada Senin Manis atau 20 Agustus 2012, karena mengacu para rumusan Waljiro (Syawal Siji Loro), yakni 1 Syawal jatuh pada hari pertama (Senin) dan pasaran kedua (Manis/Legi).
Perhitungan yang dipakai aliran Aboge telah digunakan para wali sejak abad ke-14 dan disebarluaskan oleh ulama Raden Rasid Sayid Kuning berasal dari Pajang. "Bedanya kami dengan Muhammadiyah dan NU hanya pada penentuan tanggal, selain itu sama semua," katanya.
Lalu bagaimana dengan Muhammadiyah dan NU?
Muhammadiyah menerapkan penentuan awal bulan menggunakan metode hisab, meskipun tidak sepenuhnya menghilangkan proses rukyat. Hal ini beralasan bahwa berdasarkan perkembangan iptek dan pola kehidupan masyarakat maka pelaksanaan rukyat dilakukan dengan menggunakan hisab. Dengan metode hisab dari Muhammadiyah ini maka dianggap sudah memasuki bulan baru manakala sudah dapat dilihat wujudul hilal atau nampaknya bulan baru setelah terbenamnya matahari.
Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Banyumas, Ibnu Hasan, meminta warga Muhammadiyah untuk saling menghormati. Menurutnya, Muhammadiyyah melihat posisi hilal 1,3 derajat tanggal 19 Juli sudah ufuk, maka 20 Juli ditetapkan awal Puasa. Mereka akan puasa genap 30 hari.
"Meskipun kita sudah ada kepastian tentang awal puasa, tetapi tetap menghormati yang menentukan puasa dengan melihat hilal," katanya.
Sedangkan NU dalam menentukan awal bulan Qomariyah (Hijriyah) pada awalnya hanya menerapkan metode rukyatul hilal, namun dalam perkembangannya juga mengkombinasikan dengan rukyat berkualitas dengan dukungan hisab yang akurat sekaligus menerima kriteria imkanur rukyat. NU telah melakukan redefinisi hilal dan rukyat menurut bahasa, Alquran, As-Sunnah dan menurut sains sebagai landasan dan pijakan kebijakannya dalam penentuan awal Ramadan, dan jatuhnya hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
NU akan menentukan pergantian bulan manakala bulan baru sudah terlihat setelah terbenamnya matahari setinggi 2 derajat, bila tidak maka bulan akan digenapkan menjadi 30 hari.
Sedangkan Ketua PCNU Banyumas, KH Taefur Arofat juga menegaskan, perbedaan penentuan awal puasa tidak bisa dihindari. "Tetapi memiliki komitmen sama, menghormati Muhammadiyah yang telah menentukan awal puasa. Karena saling menghormati mutlak menjadi kunci. Untuk NU, tetap akan menunggu hasil sidang isbat yang dilakukan pemerintah. Yang pasti, semuanya punya dasar, pada koridor dan tidak asal. Warga NU, tetap menunggu pemerintah, tidak perlu saling ejek," katanya.