2.2. Validasi Metode
            Validasi merupakan persyaratan dasar untuk menjamin kualitas dan keandalan (Ermer J and Miller, J. H. M., 2005). Validasi metode menurut United States Pharmacopeia (USP) dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis akurat, spesifik, reprodusibel dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis (Gandjar dan Rohman, 2007).
            Uji validasi dibedakan menjadi empat kategori. Kategori I, metode analisi untuk penentuan zat untuk keerluan farmasi baik sebagai bahan baku atau produk ahir farmasetik. Kategori II, metode analisis untuk menentukan cemaran sintetis, degradasi produk dalam bahan baku dan produk akhir farmasetik. Uji kuantitatif dan limit tes termasuk dalam metode ini. Kategori III, metode analisis untuk penentuan karakterisistik obat (misalnya disolusi). Kategori IV, metode analisi untuk tes identifikasi (Ermer J and Miller, J. H. M., 2005; USP32 – NF27., 2009).
Tabel II.1. Parameter yang Diperlukan untuk Validasi (Roydan, 2009 ).
Karakteristik analisis
Kategori I
Kategori II
Kategori III
Kategori IV
Kuantitatif
Uji batas
Akurasi
Ya
Ya
*
*
Tidak
Presisi
Ya
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Spesifisifitas/ selektivitas
Ya
Ya
Ya
*
Ya
LOD
Tidak
Tidak
Ya
*
Tidak
LOQ
Tidak
Ya
Tidak
*
Tidak
Linearitas
Ya
Ya
Tidak
*
Tidak
Range
Ya
Ya
*
*
Tidak
* Mungkin dibutuhkan, bergantung pada sifat tes yang spesifik.

2.2.1. Spesifisitas/selektifitas
            Spesifisitas/selektifitas adalah kemampuan untuk mengukur analit yang dituju secara tepat dan spesifik dengan adanya komponen – komponen dalam matriks sampel seperti ketidakmurnian, produk degradasi dan komponen matriks (Gandjar dan Rohman, 2007; Roydan, 2009).
            ICH membagi spesifisitas dalam 2 kategori, yakni uji identifikasi dan uji kemurnian atau pengukuran. Untuk tujuan identifikaai, spesifikasi ditunjukkan dengan kemampuan suatu metode analisis untuk membedakan antar senyawa yang mempunyai struktur molekul yang hampir sama. Untuk tujuan uji kemurnian dan tujuan pengukuran kadar spesifisitas ditunjukkan oleh daya pisah 2 senyawa yang berdekatan.jika dalam suatu uji terdapat suatu pengotor maka metode uji harus tidak terpengaruh dengan adanya pengotor ini (Gandjar dan Rohman, 2007; ICH, 2005).

2.2.2. Linearitas
            Linearitas merupakan kemampuan untuk mendapatkan hasil analisis secara langsung. Atau yang dirumuskan dengan baik  dengan transformasi matematika.proporsional antara konsentrasi analit dalam sampel pada rentang yang diberikan (Roydan, 2009).
            Pengujian linearitas biasanya menggunakan minimal lima konsentrasi analit pada rentang yang digunakan. Untuk  pengujian linearitas dari bahan baku obat atau produk akhir digunakan rentang 80 – 120 % dari konsentrasi analit (Roydan, 2009).
            Linearitas dapat diamati secara visual pada plot respon detektor sebagai fungsi dari konsentrasi analit. Jika terlihat adanya hubungan yang linear, maka hasil tes harus diolah dengan metode statistik. Data dari perhitungan linearitas dapat membantu menentukan derajat linearitas. Koefisien korelasi (r), y-intersep, slope garis regresi harus ditentukan (Roydan, 2009).

2.2.3. Batas deteksi (limit of detection, LOD)
            Batas deteksi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi. LOD merupakan batas uji yang secara spesifik menyatakan apakah analit diatas atau dibawah nilai tertentu. Rasio signal to noise 2:1 atau 3:1. (Gandjar dan Rohman, 2007; Roydan, 2009). LOD dihitung berdasarkan standart deviasi (SD) respon dan kemiringan (slope, S) kurva baku pada level yang mendekati LOD sesuai dengan rumus:
Keterangan:
LOD    : Batas deteksi
SD       : Standart deviasi
S          : slope
(Gandjar dan Rohman, 2007).

2.2.4. Batas kuantifikasi (limit of quantification,LOQ)
            Batas kuantifikasi adalah konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan. Rasio signal to noise 10:1 digunakan untuk menentukan LOQ. Metode perhitungan didasarkan pada standart deviasi respon (SD) dan slope (S) kurva baku sesuai dengan rumus:
Keterangan:
LOD    : Batas deteksi
SD       : Standart deviasi
S          : slope
(Gandjar dan Rohman, 2007).

2.2.5. Akurasi
            Akurasi merupakan ketelitian metode analisi atau kedekatan antara nilai terukur dengan nilai yang diterima baik nilai konvensi. Nilai sebenarnya atau nilai rujukan. Akurasi diukur sebagai banyaknya analit yang diperoleh kembali pada suatu pengukuran dengan bahan rujukan standart (standart reference material, SRM) (Gandjar dan Rohman, 2007).
             Untuk mendokumentasikan akurasi, ICH merekomendasikan pengumpulan data dari 9 kali penetapan kadar dengan 3 konsentrasi yang berbeda (misal 3 konsentrasi dengan 3 kali replikasi). Data harus dilaporkan sebagai peresentasi perolehan kembali (Gandjar dan Rohman, 2007). Keakuratan metode harus dinilai dengan menggunakan minimal 9 penentuan dilakukan pada rentang minimal 3 konsentrasi (80%, 100%, 120% dari konsentrasi target). Pengalaman dari laboratorium menunjukkan bahwa dengan menggunakan setidaknya lima tingkat konsentrasi yang di duplikasi (yaitu, 8%, 90%, 100%, 110%, 120% dari konsentrasi target), hasil yang lebih baik dapat dicapai. Akurasi dihitung sebagai persen recoverydengan membandingkan hasil terukur dengan nilai sebenarnya ( Yuwono M, Indrayanto G., 2005). Pernyataan tersebut dinyatakan sebagai berikut:



2.2.6. Presisi
            Presisi merupakan ukuran keterulangan metode analisis dan biasanya diekspresikan dengan simpangan baku relatif dari sejumlah sampel yang berbeda signifikan secara statistik (Roydan, 2009). Sesuai dengan ICH presisi harus dilakukan pada 3 tingkatan yang berbeda yaitu: keterulangan (repeatibility), presisi antara (intermediate precision) dan ketertiruan (reproducibility) (Ermer J dan Miller, J. H. M., 2005; Gandjar dan Rohman, 2007; Yuwono M, Indrayanto G., 2005).
            Keterulangan yaitu ketepatan (precision) pada kondisi percobaan yang sama (berulang), baik analisnya, peralatannya, tempatnya maupun waktunya (dilakukan pada satu hari kerja) (Ermer J dan Miller, J. H. M., 2005; Gandjar dan Rohman, 2007; Yuwono M, Indrayanto G., 2005). Presisi antara yaitu analisis yang dilakukan pada laboratorium yang sama dengan analis, hari dan alat yang berbeda (Ermer J dan Miller, J. H. M., 2005; Yuwono M, Indrayanto G., 2005). Ketertiruan yaitu presisi yang diperoleh dari pengukuran di laboratorium yang berbeda dengan tujuan untuk memverifikasi metode, apakah dapat menghasilkan hasil yang sama difasilitas yang berbeda (Ermer J dan Miller, J. H. M., 2005; Gandjar dan Rohman, 2007; Yuwono M, Indrayanto G., 2005).
            Ketepatan dari prosedur analisis ditentukan melalui pengujian dalam jumlah yang memadai (aliquot) dari sampel yang homogen untuk menghitung secara statistik standart deviasi atau standart deviasi relatif (koefisien variasi).  ICH merekomendasikan bahwa pengulangan harus dinilai dengan menggunakan minimal 9 penentuan yang mencakup rentang yang ditentukan untuk prosedur (misalnya dengan menggunakan 9 konsentrasi dan 3 replikasi pada masing – masing konsentrasi atau menggunakan minimum 9 penentuan pada 100% dari konsentrasi uji) (Roydan, 2009).
            Pengujian presisi pada awal validasi metode seringkali hanya menggunakan 2 parameter, yaitu: keterulangan dan presisi antara. Presisi seringkali diekspresikan dengan SD atau standart deviasi relatif (RSD) dari serangkaian data. Nilai RSD antara 1 – 2& biasanya dipersyaratkan untuk senyawa aktif dalam jumlah yang banyak. Nilai RSD dirumuskan dengan:

Keterangan:
RSD    : standaart deviasi relatif (KV)
SD       : standart deviasi
          : rata – rata data
(Gandjar dan Rohman, 2007).

2.2. Arthritis
            Arthritis merupakan suatu bentuk kelainan sendi yang melibatkan satu atau lebih sendi. Arthritis meliputi osteoporosis, reumatoid arthritis, osteoarthritis, gout dan hiperurisemia (Dipiro. J. T., 2008).

2.2.1. Gout
            Istilah gout menjelaskan spektrum penyakit klinis yang heterogen meliputi asam urat serum (hiperurisemia), serangan berulang artritis akut berhubungan dengan kristal monosodium urat dalam leukosit yang ditemukan dalam cairan sinovial. Penyimpanan kristal monosodium urat dalam jaringan (disebut tofus), penyakit ginjal intersisial, nefrolitiasis asam urat. Pada 37 °C (98,6 ° F), konsentrasi asam urat serum diatas (atau sekitar) 7 mg/dL mulai melebihi batas kelarutan untuk monosodium urat (Ernst M E et al., 2008).
EPIDEMIOLOGY
2.2.1.1. Epidemology
            Ada hubungan langsung antara konsentrasi serum asam urat dengan kecenderungan terjadinya gout. Studi populasi menunjukkan adanya korelasi antara konsentrasi asam urat dengan bertambahnya umur, berat badan, intake alkohol, serum kreatin, tekanan darah, jenis kelamin, blood urea nitrogen. Pada pasien yang resiko gout adalah pasien dengan kadar serum urat < 7mg/dL adalah 0,6%, dibandingkan dengan resiko 30,5% pasien yang memiliki kadar urat > 10 mg/dL. Meskipun konsentrasi serum urat merupakan faktor resiko paling penting untuk terjadinya gout, hiperurisemia. Bagaimanapun juga, hiperurisemia tidak selalu meyebabkan gout. Arthritis gout akut dapat terjadi pada pasien dengan kadar serum asam urat normal. Gout lebih sering terjadi pada laki – laki 7 dhingga 9X lebih sering daripada wanita (Ernst M E et al., 2008).

2.2.1.2. Etiologi dan Patofisiologi
            Pada manusia, asam urat merupakan peoduk akhir dari degradasi purin. Karena asam urat bukan produk yang dihasilkan untuk tujuan fisiologi, tetapi merupakan produk buangan. Asam urat normal mendekati batas kelarutan urat, karena harus ada keseimbangan antara produksi urat dan ekskresi. Dibawah kondisi normal, jumlah asam urat yang terakumulasi adalah 1200mg pada laki – laki dan 600mg pada wanita. Akumulasi tersebut disebabkan karena produksi yang berlebihan atau ekskresi asam urat yang sedikit (Ernst M E et al., 2008).
            Purin dari asam urat dihasilkan dari tiga sumber: diet purin, perubahan perubahan asam nukleat menjadi purin suatu nukleotida dan sintesis de novo pembentukan purin. Rata – rata manusia memproduksi 600 – 800mg asam urat setiap hari dan diekskresi kurang dari 600mg didalam urin (Ernst M E et al., 2008).
            Pasien gout pada umumnya (80% – 90%) relatif memiliki penurunan
dalam ekskresi renal asam urat tanpa alasan yang diketahui. Normalnya, asam urat tidak di akumulasi selama asam urat diproduksi. Harus ada keseimbangan antara produksi dan eliminasi. Asam urat dieliminasi melalui 2 jalur. Sekitar 2 – 3 asam urat yang diproduksi diekskresi melalui urin. Kedua dieliminasi melalui saluran cerna setelah degradasi enzim oleh bakteri colon (Ernst M E et al., 2008).
 
Gambar 2.1. Metabolisme purin (HGPRT, hipoxantin – guanin fosforibosiltransferase; PRPP, fosforibosil pirofosfat) (Ernst M E et al., 2008).

a.       Arthritis gout akut
     Serangan akut arthritis gout karakteristik, onset yang cepat dari nyeri yang luar biasa, bengkak, radang. Tipe gejala pertama adalah monoarticular, dan paling sering menyebabkan sendi metatarsiphalangeali secara frekuen pada pergelangan kaki, tumit, lutut, pergelangan tangan, jari dan siku. Hampir 90% pasien gout akan mengalami gejala ini. Serangan biasanya dimulai pada malam hari, menyebabkan pasien terbangun dari tidur karena nyeri yang menakutkan, amat sakit (Ernst M E et al., 2008).

b.      Arthritis gout kronis
     Penyakit yang telah menjadi kronis (Kertia  N, 2009). Tahap dimana masa kristal asam urat (tophi) menumpuk di berbagai wilayah jaringan lunak tubuh penderitanya (Sustrani L dkk, 2004).

2.2.1.3. Diagnosis
            Diagnosis pasti dapat dilakukan dengan aspirasi cairan sinovial dari tulang sendi dan identifikasikristal antar sel dari monosodium urat monohidrat dalam cairan sinovial leukosit. Ketika aspirasi tulang sendi bukan merupakan suatu pilihan, diagnosis dugaan dari artritis gout akut didasarkan pada karakteristik tanda – tanda dan gejala serta respon terhadap pengobatan (Ernst M E et al., 2008).

2.3.  Pengobatan gout artritis akut
2.3.1. Terapi nonfarmakologis
            Pasien dianjurkan mengurangi asupan makanan lemak jenuh, daging tinggi purin (misalnya daging organ), meningkatkan asupan caairan dan mengurangi asupan garam. Istirahat selama 1 – 2 hari harus dilakukan, menurangi berat badan dengan pembatasan kalori dan olahraga harus dilakukan. Pembatasan alkohol merupakan hal yang penting, karena konsumsi alkohol berhubungan dengan gejala gout. Alkohol dapat menyebabkan laktat akademia yang dapat mengurangi ekskresi urat di ginjal. Konsumsi alkohol dalam jangka panjang dapat meningkatkan produksi purin yang merupakan hasil konversi asetat menjadi koenzim A dalam metabolisme alkohol (Ernst M E et al., 2008).

2.3.2. Terapi obat (NSAIDs)
            Nonsteroidal antiinflamatory drugs (NSAIDs) merupakan terapi utama gejala akut gout arthritis karena memiliki efikasi yang sangat baik dan memiliki toksisitas yang minimal dengan penggunaan jangka pendek.        
            Semua NSAIDs memiliki efek samping potensial yang sama. Daerah yang umum terkena adalah gastrointestinal (gastritis, perdarahan, perforasi), ginjal (nekrosis papiler ginjal, pengurangan klirens kreatinin), sistem kardiovaskular (natrium dan retensi cairan, peningkatan tekanan darah) dan sistem saraf pusat (gangguan fungsi kognitif, sakit kepala, pusing). Perhatian harus diberikan ketika menggunakan NSAIDs pada pasien dengan riwayat ulkus peptikum, gagal jantung kongestif, hipertensi yang tidak terkontrol, insufisiensi ginjal, penyakit arteri koroner,  atau penggunaan bersama dengan antikoagulan, maka NSAIDs tidak boleh diberikan (Ernst M E et al., 2008).

2.3.3 Kolkisin
            Kolkisin merupakan suatu anti – inflamasi yang terutama diindikasikan untuk terapi gout akut selama  beberapa tahun (Katzung B. G., 2007). Kolkisin merupakan antimitotic drug yang sangat efektif mencegah serangan gout akut (Ernst M E et al., 2008).

2.3.3.1. Farmakodinamik
            Sifat antiradang kolkisin spesifik terhadap penyakit gout artritis dan beberapa artritis lainnya, sedang sebagai antiradang umum kolkisin tidak efektif. Kolkisin tidak memiliki efek analgesik.
            Pada penyakit gout artritis kolkisin tidak meningkatkan ekskresi, sintesis atau kadar asam urat dalam darah. Obat ini berikatan dengan protein mikrotubular dan menyebabkan depolimerisasi dan menghilangnya mikrotubul fibrilar granulosit dan sel bergerak lainnya. Hal ini menyebabkan penghambatan migrasi granulosit ke tempat radang sehingga pelepasan mediator inflamasi juga dihambat dan respon inflamasi ditekan (Wilmana P F, Sulistia G., 2007).

2.3.3.2. Farmakokinetika
            Absorbsi melalui saluran cerna baik setelah pemberian peroral. Mencapai plasma level dalam waktu 2jam. Dan dieliminasi dengan waktu paruh 9jam. Metabolit diekskresi dalam saluran usus dan urin (Katzung B. G., 2007).
            Obat ini didistribusi secara luas dalam jaringan tubuh, volume distribusinya 49,5 ± 9,5 L. kadar tinggi didapat didalam ginjal, hati, limpa dan saluran cerna, tetapi tidak terdapat di otot rangka., jantung dan otak. Sebagian besar obat ini diekskresi dalam bentuk utuh melalui tinja, 10 – 20% diekskresi melalui urin. Pada pasien dengan penyakit hati eliminasinya berkurang dan lebih banyak yang diekskresi lewat urin (Wilmana P F, Sulistia G., 2007).

2.3.3.3. Indikasi
            Kokisin adalah obat terpilih untuk penyakit gout artritis. Pemberian harus dimulai secepatnya pada awal serangan dan diteruskan pada sampai gejala hilang atau timbul efek samping yang mengganggu. Gejala penyakit umumnya menghilang 24 – 48 jam setelah pemberian obat. Bila terapi terlambat efektivitas obat berkurang. Kolkisin juga berguna untuk profilaktik serangan penyakit gout arthritis atau mengurangi beratnya serangan. Pasien yang mendapat dosis profilaksismemberikan respon terhadap dosis kecil sewaktu serangan, sehingga efek samping tidak menggangu. (Wilmana P F, Sulistia G., 2007).

2.3.3.4. Dosis
            Dosis kolkisin 0,5 – 0,6 mg tiap jam atau 1,2mg sebagai dosis awal diiukuti 0,5 – 0,6 mg tiap 2 jam sampai gejala penyakit hilang atau gejala saluran cerna timbul. Untuk profilaksis diberikan 0,5 – 1 mg sehari (Wilmana P F, Sulistia G., 2007). Dosis kolkisin oral harus dikurangi menjadi tidak lebih dari 0,6mg setiap hari bila digunakan sebagai profilaksis (Ernst M E et al., 2008).
            Dosis total dapat diberikan secara intravena jika diperlukan, tetapi perlu diingt bahwa dosis 8 mg atau lebih dalam 24jam dapat berakibat fatal (Katzung B. G., 2007).  Untuk pasien dengan disfungsi ginjal (klirens kreatin anatar 10 – 50 mL/menit) atau disfungsi hati, tidak ada rekomendasi spesifik untuk penyesuaian dosis kolkisin dalam serangan akut (Ernst M E et al., 2008).

2.3.3.5. Efek samping
            Efek samping kolkisin yang paling sering adalah mual, muntah dan diare dapat sangat menganggu terutama dengan dosis maksimal. Bila efek ini terjadi pengobatan harus segera dihentikan walaupun efek terapi belum tercapai. Gejala saluran cerna tidak terjadi pada pemberian IV dengan dosis terapi, tetapi bila terjadi ekstravasasi dapat menimbulkan peradangan dan nekrosis kulit dan jaringan lemak (Wilmana P F, Sulistia G., 2007). Rute intravena dapat menyebabkan toksisitas sumsum tulang meningkat (Katzung B. G., 2007). Purpura, neuritis perifer, miopati, anuria, alopesia, gangguan hati, reaksi alergi dan kolitis hemoragik jarang terjadi. Reaksi ini umumnya terjadi pada dosis berlebihan dan pemberian IV, gangguan ekskresi akibat kerusakan ginjal dan kombinasi keadaan tersebut. Koagulasi intravaskular diseminata merupakan manifestasi keracunan kolkisin yang berat, timbul dalam 48jam dan sering bersifat fatal. Kolkisin harus diberikan dengan hati – hati pada pasien usia lanjut, lemah atau pasien dengan gangguan ginjal, kardiovaskular dan saluran cerna (Wilmana P F, Sulistia G., 2007).

2.3.3.6. Kontraindikasi
            Kolkisin dikontraindikasikan pada pasien dengan diskrasiasi darah, penyakit jantung berat, penyakit gastrointestinal, gagal hati, penyakit ginjal berat(klirens kreatin <10 e="" i="" m="" menit="" ml="" rnst="">et al.,
2008).

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel