Hakikat IPA Biologi dan Pengajarannya
Sains merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang diperoleh tidak hanya
produk saja, akan tetapi juga mencakup pengetahaun seperti keterampilan
keingintahuan, keteguhan hati, dan juga keterampilan dalam hal melakukan
penyelidikan ilmiah.
Para ilmuwan IPA dalam mempelajari gejala alam, menggunakan proses dan
sikap ilmiah. Proses ilmiah yang dimaksud misalnya melalui pengamatan,
eksperimen, dan analisis yang bersifat rasional. Sedang sikap ilmiah misalnya
objektif dan jujur dalam mengumpulkan data yang diperoleh. Dengan
menggunakan proses dan sikap ilmiah itu saintis memperoleh penemuanpenemuan
atau produk yang berupa fakta, konsep, prinsip, dan teori. Carin (1993)
menyatakan bahwa IPA sebagai produk atau isi mencakup fakta, konsep, prinsip,
hukum-hukum, dan teori IPA. Jadi pada hakikatnya IPA terdiri dari tiga
komponen, yaitu sikap ilmiah, proses ilmiah, dan produk ilmiah. Hal ini berarti
bahwa IPA tidak hanya terdiri atas kumpulan pengetahuan atau berbagai macam
fakta yang dihafal, IPA juga merupakan kegiatan atau proses aktif menggunakan
pikiran dalam mempelajari gejala-gejala alam yang belum dapat direnungkan. IPA
menggunakan apa yang telah diketahui sebagai batu loncatan untuk memahami
apa yang belum diketahui. Suatu masalah IPA yang telah dirumuskan dan
16
17
kemudian berhasil dipecahkan akan memungkinkan IPA untuk berkembang
secara dinamis. Akibatnya kumpulan pengetahuan sebagai produk juga
bertambah.
Biologi sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan alam memfokuskan
pembahasan pada masalah-masalah biologi di alam sekitar melalui proses dan
sikap ilmiah. Sebagai cabang IPA, maka dalam pembelajaran biologi berpatokan
pada pembelajaran IPA seperti yang tertuang dalam kurikulum 1994, yaitu
pembelajaran yang berorientasi pada hakikat IPA yang meliputi produk, proses,
dan sikap ilmiah melalui keterampilan proses.
Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa pembelajaran IPA biologi lebih
menekankan pada pendekatan keterampilan proses sehingga siswa menemukan
fakta-fakta, membangun konsep-konsep, teori dan sikap ilmiah di pihak siswa
yang dapat berpengaruh positif terhadap kualitas maupun produk pendidikan.
Pembelajaran biologi selama ini lebih banyak menghafalkan fakta, prinsip, dan
teori saja. Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu dikembangkan strategi
pembelajaran biologi yang dapat melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan
pembelajaran untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka.
B. Teori Konstruktivis dalam Pembelajaran IPA
Konstruktivis adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi kita sendiri (Von Glaserfelt dalam
Suparno, 1997). Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan, bahwa
anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar
18
secara sadar, sedangkan guru yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan
yang lebih tinggi (Slavin, 1994; Abruscato, 1999).
Ide pokoknya adalah siswa secara aktif membangun pengetahuan mereka
sendiri, otak siswa sebagai mediator, yaitu memproses masukan dari dunia luar
dan menentukan apa yang mereka pelajari. Pembelajaran merupakan kerja mental
aktif, bukan menerima pengajaran dari guru secara pasif. Dalam kerja mental
siswa, guru memegang peranan penting dengan cara memberikan dukungan,
tantangan berfikir, melayani sebagai pelatih atau model, namun siswa tetap
merupakan kunci pembelajaran (Von Glaserfelt dalam Suparno, 1997; Abruscato,
1999).
Menurut teori ini, satu prinsip paling penting dalam psikologi pendidikan
adalah bahwa guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada
siswa agar secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru
dapat memberikan kepada siswa atau peserta didik anak tangga yang membawa
siswa akan pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri harus
memanjat anak tangga tersebut (Slavin, 1994).
Pada bagian ini akan dikemukakan dua teori yang melandasi pendekatan
konstruktivis dalam pembelajaran IPA yaitu Teori Perkembangan Kognitif
Piaget, dan Teori Perkembangan Mental Vygotsky.
1. Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Piaget adalah salah satu pioner yang menggunakan filsafat konstruktivis
dalam proses belajar. Piaget menyatakan bahwa anak membangun sendiri
skemanya serta membangun konsep-konsep melalui pengalaman-pengalamannya.
19
Piaget membedakan perkembangan kognitif seorang anak menjadi empat
taraf, yaitu (1) taraf sensori motor, (2) taraf pra-operasional, (3) taraf operasional
konkrit, dan (4) taraf operasional formal. Walaupun ada perbedaan individual
dalam hal kemajuan perkembangan, tetapi teori Piaget mengasumsikan bahwa
seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun
pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Perkembangan
kognitif sebagian besar bergantung seberapa jauh anak memanipulasi dan aktif
berinteraksi dengan lingkungan. Antara teori Piaget dan konstruktivis terdapat
persamaan yaitu terletak pada peran guru sebagai fasilitator, bukan sebagai
pemberi informasi. Guru perlu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif
bagi siswa-siswanya (Woolfolk, 1993) dan membantu siswa menghubungkan
antara apa yang sudah diketahui siswa dengan apa yang sedang dan akan
dipelajari (Abruscato, 1999).
Prinsip-prinsip Piaget dalam pengajaran diterapkan dalam program-program
yang menekankan pembelajaran melalui penemuan dan pengalaman-pengalaman
nyata dan pemanipulasian alat, bahan, atau media belajar yang lain serta peranan
guru sebagai fasilitator yang mempersiapkan lingkungan dan memungkinkan
siswa dapat memperoleh berbagai pengalaman belajar.
Implikasi teori kognitif Piaget pada pendidikan adalah sebagai berikut
(Slavin, 1994):
a. Memusatkan perhatian kepada berfikir atau proses mental anak, tidak sekedar
kepada hasilnya. Selain kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami
proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut.
20
Pengalaman-pengalaman belajar yang sesuai dikembangkan dengan
memperhatikan tahap fungsi kognitif dan hanya jika guru penuh perhatian
terhadap metode yang digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan
tertentu, barulah dapat dikatakan guru berada dalam posisi memberikan
pengalaman yang dimaksud.
b. Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif
dalam kegiatan belajar. Dalam kelas, Piaget menekankan bahwa pengajaran
pengetahuan jadi (ready made knowledge) tidak mendapat tekanan, melainkan
anak didorong menemukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan
dengan lingkungan. Oleh karena itu, selain mengajar secara klasik, guru
mempersiapkan beranekaragam kegiatan secara langsung dengan dunia fisik.
c. Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan
perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh dan
melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu
berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Oleh karena itu harus melakukan
upaya untuk mengatur aktivitas di dalam kelas yang terdiri dari individuindividu
ke dalam bentuk kelompok-kelompok kecil siswa daripada aktivitas
dalam bentuk klasikal. Hal ini sesuai dengan pendekatan konstruktivis dalam
pembelajaran khas menerapkan pembelajaran kooperatif secara ekstensif.
2. Teori Perkembangan Fungsi Mental Vygotsky
Vygotsky berpendapat seperti Piaget, bahwa siswa membentuk
pengetahuan, yaitu apa yang diketahui siswa bukanlah kopi dari apa yang mereka
temukan di dalam lingkungan; tetapi sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa
21
sendiri, melalui bahasa. Meskipun kedua ahli memperhatikan pertumbuhan
pengetahuan dan pemahaman anak tentang dunia sekitar, Piaget lebih memberikan
tekanan pada proses mental anak dan Vygotsky lebih menekankan pada peran
pengajaran dan interaksi sosial pada perkembangan IPA dan pengetahuan lain
(Howe & Jones, 1993).
Sumbangan penting yang diberikan Vygotsky dalam pembelajaran adalah
konsep zone of proximal development (ZPD) dan scaffolding. Vygotsky yakin
bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang
belum dipelajarai namun tugas-tugas itu berada dalam jangkauan kemampuannya
atau tugas-tugas itu berada dalam zone of proximal development. ZPD adalah
tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang saat ini.
Vygotsky lebih yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya
muncul dalam kerjasama atau kerjasama antar individu sebelum fungsi mental
yang lebih tinggi terserap ke dalam individu tersebut (Slavin, 1994).
Sedangkan konsep Scaffolding berarti memberikan kepada siswa sejumlah
besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran kemudian mengurangi
bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil
alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya
(Slavin, 1994).
Ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan (Howe & Jones,
1993). Pertama, adalah perlunya tatanan kelas dan bentuk pembelajaran kooperatif
antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas-tugas yang sulit dan
saling memunculkan strategi-strtategi pemecahan masalah yang efektif di dalam
22
masing-masing ZPD mereka. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pengajaran
menekankan scaffolding, dengan semakin lama siswa semakin bertanggung jawab
terhadap pembelajaran sendiri. Ringkasnya, menurut teori Vygotsky, siswa perlu
belajar dan bekerja secara berkelompok sehingga siswa dapat saling berinteraksi
dan diperlukan bantuan guru terhadap siswa dalam kegiatan pembelajaran.
C. Prinsip-prinsip Belajar Konstruktivis
Para ahli konstruktivis menyatakan bahwa belajar melibatkan konstruksi
pengetahuan saat pengalaman baru diberi makna oleh pengetahuan terdahulu
(Abruscato, 1999). Persepsi yang dimiliki oleh siswa mempengaruhi pembentukan
persepsi baru. Siswa menginterpretasi pengalaman baru dan memperoleh
pengetahuan baru berdasar realitas yang telah terbentuk di dalam pikiran siswa.
Konstruktivisme yang berakar pada prsikologi kognitif, menjelaskan bahwa
siswa belajar sebagai hasil dari pembentukan makna dari pengalaman. Peran
utama guru adalah membantu siswa membentuk hubungan antara apa yang
dipelajari dan apa yang sudah diketahui siswa. Bila prinsip-prinsip
konstruktivisme benar-benar digunakan di ruang kelas, maka guru harus
mengetahui apa yang telah diketahui dan diyakini siswa sebelum memulai unit
pelajaran baru.
Ada tiga prinsip yang menggambarkan konstruktivisme (Abruscato, 1999);
(a) seseorang tidak pernah benar-benar memahami dunia sebagaimana adanya
karena tiap orang membentuk keyakinan atas apa yang sebenarnya, (b)
keyakinan/pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang menyaring atau mengubah
23
informasi yang diterima seseorang, (c) siswa membentuk suatu realitas berdasar
pada keyakinan yang dimiliki, kemampuan untuk bernalar, dan kemauan siswa
untuk memadukan apa yang mereka yakini dengan apa yang benar-benar mereka
amati.
D. Pembelajaran Kooperatif
1. Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang
berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi
belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat
kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa
anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk
memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan
belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan
pelajaran.
Unsur-unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai
berikut (Lungdren, 1994).
a. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang
bersama.”
b. Para siswa harus memiliki tanggungjawab terhadap siswa atau peserta didik
lain dalam kelompoknya, selain tanggungjawab terhadap diri sendiri dalam
mempelajari materi yang dihadapi.
24
c. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang
sama.
d. Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggungjawab di antara para anggota
kelompok.
e. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut
berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.
f. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh
keterampilan bekerja sama selama belajar.
g. Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi
yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Menurut Thompson, et al. (1995), pembelajaran kooperatif turut menambah
unsur-unsur interaksi sosial pada pembelajaran sains. Di dalam pembelajaran
kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang saling
membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau
6 orang siswa, dengan kemampuan yang heterogen. Maksud kelompok heterogen
adalah terdiri dari campuran kemampuan siswa, jenis kelamin, dan suku. Hal ini
bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan dan bekerja dengan teman
yang berbeda latar belakangnya.
Pada pembelajaran kooperatif diajarkan keterampilan-keterampilan khusus
agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi
pendengar yang baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau
tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota
kelompok adalah mencapai ketuntasan (Slavin, 1995).
25
2. Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif
Beberapa ciri dari pembelajaran kooepratif adalah; (a) setiap anggota
memiliki peran, (b) terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa, (c) setiap
anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman
sekelompoknya, (d) guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan
interpersonal kelompok, (e) guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat
diperlukan (Carin, 1993).
Tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif
sebagaimana dikemukakan oleh Slavin (1995), yaitu penghargaan kelompok,
pertanggungjawaban individu, dan kesempatan yang sama untuk berhasil.
a. Penghargaan kelompok
Pembelajaran kooperatif menggunakan tujuan-tujuan kelompok untuk
memperoleh penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok diperoleh jika
kelompok mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan. Keberhasilan
kelompok didasarkan pada penampilan individu sebagai anggota kelompok
dalam menciptakan hubungan antar personal yang saling mendukung, saling
membantu, dan saling peduli.
b. Pertanggungjawaban individu
Keberhasilan kelompok tergantung dari pembelajaran individu dari semua
anggota kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitikberatkan pada
aktivitas anggota kelompok yang saling membantu dalam belajar. Adanya
pertanggungjawaban secara individu juga menjadikan setiap anggota siap
26
untuk menghadapi tes dan tugas-tugas lainnya secara mandiri tanpa bantuan
teman sekelompoknya.
c. Kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan
Pembelajaran kooperatif menggunakan metode skoring yang mencakup nilai
perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dari
yang terdahulu. Dengan menggunakan metode skoring ini setiap siswa baik
yang berprestasi rendah, sedang, atau tinggi sama-sama memperoleh
kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya.
3. Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok tradisional yang
menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan individu diorientasikan pada
kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah
menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi
oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994).
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai stidaktidaknya
tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al.
(2000), yaitu:
a. Hasil belajar akademik
Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga
memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya.
Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa
memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah
menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat
27
meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang
berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yang
berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi
keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang
bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
b. Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari
orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan,
dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi
siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling
bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan
kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.
c. Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada
siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan
sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih
kurang dalam keterampilan sosial.
4. Keterampilan Kooperatif
Dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi
siswa atau peserta didik juga harus mempelajari keterampilan-keterampilan
khusus yang disebut keterampilan kooperatif. Keterampilan kooperatif ini
berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja
dapat dibangun dengan membangun tugas anggota kelompok selama kegiatan.
28
Keterampilan-keterampilan selama kooperatif tersebut antara lain sebagai berikut
(Lungdren, 1994).
a. Keterampilan Kooperatif Tingkat Awal
1) Menggunakan kesepakatan
Yang dimaksud dengan menggunakan kesepakatan adalah menyamakan
pendapat yang berguna untuk meningkatkan hubungan kerja dalam
kelompok.
2) Menghargai kontribusi
Menghargai berarti memperhatikan atau mengenal apa yang dapat
dikatakan atau dikerjakan anggota lain. Hal ini berarti harus selalu setuju
dengan anggota lain, dapat saja kritik yang diberikan itu ditujukan
terhadap ide dan tidak individu.
3) Mengambil giliran dan berbagi tugas
Pengertian ini mengandung arti bahwa setiap anggota kelompok bersedia
menggantikan dan bersedia mengemban tugas/tanggungjawab tertentu
dalam kelompok.
4) Berada dalam kelompok
Maksud di sini adalah setiap anggota tetap dalam kelompok kerja selama
kegiatan berlangsung.
5) Berada dalam tugas
Yang dimaksud berada dalam tugas adalah meneruskan tugas yang
menjadi tanggungjawabnya, agar kegiatan dapat diselesaikan sesuai waktu
yang dibutuhkan.
29
6) Mendorong partisipasi
Mendorong partisipasi berarti mendorong semua anggota kelompok untuk
memberikan kontribusi terhadap tugas kelompok.
7) Mengundang orang lain
Maksudnya adalah meminta orang lain untuk berbicara dan berpartisipasi
terhadap tugas.
8) Menyelesaikan tugas dalam waktunya
9) Menghormati perbedaan individu
Menghormati perbedaan individu berarti bersikap menghormati terhadap
budaya, suku, ras atau pengalaman dari semua siswa atau peserta didik.
b Keterampilan Tingakat Menengah
Keterampilan tingkat menengah meliputi menunjukkan penghargaan dan
simpati, mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara dapat diterima,
mendengarkan dengan arif, bertanya, membuat ringkasan, menafsirkan,
mengorganisir, dan mengurangi ketegangan.
c. Keterampilan Tingkat Mahir
Keterampilan tingkat mahir meliputi mengelaborasi, memeriksa dengan
cermat, menanyakan kebenaran, menetapkan tujuan, dan berkompromi.
5. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif
Urutan langkah-langkah prilaku guru menurut model pembelajaran kooperatif
yang diuraiakan oleh Arends (1997) adalah sebagaimana terlihat pada tabel 2.1.
30
Tabel 2.1
Sintaks Pembelajaran Kooperatif
Fase Tingkahlaku Guru
Fase 1:
Menyampaikan tujuan dan
memotivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan
pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran
tersebut dan memotivasi siswa belajar.
Fase 2:
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa
dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan
bacaan.
Fase 3:
Mengorganisasikan siswa ke
dalam kelompok-kelompok
belajar
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana
caranya membentuk kelompok belajar dan
membantu setiap kelompok agar melakukan
transisi secara efisien.
Fase 4:
Membimbing kelompok bekerja
dan belajar
Guru membimbing kelompok-kelompok
belajar pada saat mereka mengerjakan tugas
mereka.
Fase 5:
Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang
materi yang telah dipelajari atau masingmasing
kelompok mempresentasikan hasil
kerjanya.
Fase 6:
Memberikan penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk menghargai
baik upaya maupun hasil belajar individu
dan kelompok.
(Arends, 1997)
Terdapat enam fase utama dalam pembelajaran kooperatif (Arends, 1997).
Pembelajaran dalam kooperatif dimulai dengan guru menginformasikan tujuantujuan
dari pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti
dengan penyajian informasi, sering dalam bentuk teks bukan verbal. Kemudian
dilanjutkan langkah-langkah di mana siswa di bawah bimbingan guru bekerja
bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas yang saling bergantung. Fase
terakhir dari pembelajaran kooperatif meliputi penyajian produk akhir kelompok
atau mengetes apa yang telah dipelajari oleh siswa dan pengenalan kelompok dan
usaha-usaha individu.
31
6. Pendekatan dalam Pembelajaran Kooperatif
Walaupun prinsip dasar pembelajaran kooperatif tidak berubah, terdapat
beberapa variasi dari model tersebut. Ada empat pendekatan pembelajaran
kooperatif (Arends, 2001). Di sini akan diuraikan secara ringkas masing-masing
pendekatan tersebut.
a. Student Teams Achievement Division (STAD)
STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di
Universitas John Hopkin dan merupakan pendekatan pembelajaran kooperatif
yang paling sederhana. Guru yang menggunakan STAD, juga mengacu kepada
belajar kelompok siswa, menyajikan informasi akademik baru kepada siswa setiap
minggu menggunakan presentasi verbal atau teks. Siswa dalam suatu kelas
tertentu dipecah menjadi kelompok dengan anggota 4-5 orang, setiap kelompok
haruslah heterogen, terdiri dari laki-laki dan perempuan, berasal dari berbagai
suku, memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Anggota tim
menggunakan lembar kegiatan atau perangkat pembelajaran yang lain untuk
menuntaskan materi pelajarannya dan kemudian saling membantu satu sama lain
untuk memahami bahan pelajaran melalui tutorial, kuis, satu sama lain dan atau
melakukan diskusi. Secara individual setiap minggu atau setiap dua minggu siswa
diberi kuis. Kuis itu diskor, dan tiap individu diberi skor perkembangan. Skor
perkembangan ini tidak berdasarkan pada skor mutlak siswa, tetapi berdasarkan
pada seberapa jauh skor itu melampaui rata-rata skor yang lalu.
Setiap minggu pada suatu lembar penilaian singkat atau dengan cara lain,
diumumkan tim-tim dengan skor tertinggi, siswa yang mencapai skor
32
perkembangan tinggi, atau siswa yang mencapai skor sempurna pada kuis-kuis
itu. Kadang-kadang seluruh tim yang mencapai kriteria tertentu dicantumkan
dalam lembar itu.
b. Investigasi Kelompok
Investigasi kelompok mungkin merupakan model pembelajaran kooperatif
yang paling kompleks dan paling sulit untuk diterapkan. Model ini dikembangkan
pertama kali oleh Thelan. Berbeda dengan STAD dan jigsaw, siswa terlibat dalam
perencanaan baik topik yang dipelajari maupun bagaimana jalannya penyelidikan
mereka. Pendekatan ini memerlukan norma dan struktur kelas yang lebih rumit
daripada pendekatan yang lebih terpusat pada guru.
Dalam penerapan investigasi kelompok ini guru membagi kelas menjadi
kelompok-kelompok dengan anggota 5 atau 6 siswa yang heterogen. Dalam
beberapa kasus, kelompok dapat dibentuk dengan mempertimbangkan keakraban
persahabatan atau minat yang sama dalam topik tertentu. Selanjutnya siswa
memilih topik untuk diselidiki, melakukan penyelidikan yang mendalam atas
topik yang dipilih itu. Selanjutnya menyiapkan dan mempresentasikan laporannya
kepada seluruh kelas.
c. Pendekatan Struktural
Pendekatan ini dikembangkan oleh Spencer Kagen dan kawan-kawannya.
Meskipun memiliki banyak kesamaan dengan pendekatan lain, namun pendekatan
ini memberi penekanan pada penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk
mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur tugas yang dikembangkan oleh
33
Kagen ini dimaksudkan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional,
seperti resitasi, di mana guru mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas dan
siswa memberi jawaban setelah mengangkat tangan dan ditunjuk. Struktur yang
dikembangkan oleh Kagen ini menghendaki siswa bekerja saling membantu
dalam kelompok kecil dan lebih dicirikan oleh penghargaan kooperatif, daripada
penghargaan individual.
Ada struktur yang dikembangkan untuk meningkatkan perolehan isi
akademik, dan ada struktur yang dirancang untuk mengajarkan keterampilan
sosial atau keterampilan kelompok. Dua macam struktur yang terkenal adalah
think-pair-share dan numbered-head-together, yang dapat digunakan oleh guru
untuk mengajarkan isi akademik atau untuk mengecek pemahaman siswa terhadap
isi tertentu. Sedangkan active listening dan time token, merupakan dua contoh
struktur yang dikembangkan untuk mengajarkan keterampilan sosial.
d. Jigsaw
Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson
dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan
teman-teman di Universitas John Hopkins (Arends, 2001).
produk saja, akan tetapi juga mencakup pengetahaun seperti keterampilan
keingintahuan, keteguhan hati, dan juga keterampilan dalam hal melakukan
penyelidikan ilmiah.
Para ilmuwan IPA dalam mempelajari gejala alam, menggunakan proses dan
sikap ilmiah. Proses ilmiah yang dimaksud misalnya melalui pengamatan,
eksperimen, dan analisis yang bersifat rasional. Sedang sikap ilmiah misalnya
objektif dan jujur dalam mengumpulkan data yang diperoleh. Dengan
menggunakan proses dan sikap ilmiah itu saintis memperoleh penemuanpenemuan
atau produk yang berupa fakta, konsep, prinsip, dan teori. Carin (1993)
menyatakan bahwa IPA sebagai produk atau isi mencakup fakta, konsep, prinsip,
hukum-hukum, dan teori IPA. Jadi pada hakikatnya IPA terdiri dari tiga
komponen, yaitu sikap ilmiah, proses ilmiah, dan produk ilmiah. Hal ini berarti
bahwa IPA tidak hanya terdiri atas kumpulan pengetahuan atau berbagai macam
fakta yang dihafal, IPA juga merupakan kegiatan atau proses aktif menggunakan
pikiran dalam mempelajari gejala-gejala alam yang belum dapat direnungkan. IPA
menggunakan apa yang telah diketahui sebagai batu loncatan untuk memahami
apa yang belum diketahui. Suatu masalah IPA yang telah dirumuskan dan
16
17
kemudian berhasil dipecahkan akan memungkinkan IPA untuk berkembang
secara dinamis. Akibatnya kumpulan pengetahuan sebagai produk juga
bertambah.
Biologi sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan alam memfokuskan
pembahasan pada masalah-masalah biologi di alam sekitar melalui proses dan
sikap ilmiah. Sebagai cabang IPA, maka dalam pembelajaran biologi berpatokan
pada pembelajaran IPA seperti yang tertuang dalam kurikulum 1994, yaitu
pembelajaran yang berorientasi pada hakikat IPA yang meliputi produk, proses,
dan sikap ilmiah melalui keterampilan proses.
Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa pembelajaran IPA biologi lebih
menekankan pada pendekatan keterampilan proses sehingga siswa menemukan
fakta-fakta, membangun konsep-konsep, teori dan sikap ilmiah di pihak siswa
yang dapat berpengaruh positif terhadap kualitas maupun produk pendidikan.
Pembelajaran biologi selama ini lebih banyak menghafalkan fakta, prinsip, dan
teori saja. Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu dikembangkan strategi
pembelajaran biologi yang dapat melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan
pembelajaran untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka.
B. Teori Konstruktivis dalam Pembelajaran IPA
Konstruktivis adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi kita sendiri (Von Glaserfelt dalam
Suparno, 1997). Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan, bahwa
anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar
18
secara sadar, sedangkan guru yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan
yang lebih tinggi (Slavin, 1994; Abruscato, 1999).
Ide pokoknya adalah siswa secara aktif membangun pengetahuan mereka
sendiri, otak siswa sebagai mediator, yaitu memproses masukan dari dunia luar
dan menentukan apa yang mereka pelajari. Pembelajaran merupakan kerja mental
aktif, bukan menerima pengajaran dari guru secara pasif. Dalam kerja mental
siswa, guru memegang peranan penting dengan cara memberikan dukungan,
tantangan berfikir, melayani sebagai pelatih atau model, namun siswa tetap
merupakan kunci pembelajaran (Von Glaserfelt dalam Suparno, 1997; Abruscato,
1999).
Menurut teori ini, satu prinsip paling penting dalam psikologi pendidikan
adalah bahwa guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada
siswa agar secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru
dapat memberikan kepada siswa atau peserta didik anak tangga yang membawa
siswa akan pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri harus
memanjat anak tangga tersebut (Slavin, 1994).
Pada bagian ini akan dikemukakan dua teori yang melandasi pendekatan
konstruktivis dalam pembelajaran IPA yaitu Teori Perkembangan Kognitif
Piaget, dan Teori Perkembangan Mental Vygotsky.
1. Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Piaget adalah salah satu pioner yang menggunakan filsafat konstruktivis
dalam proses belajar. Piaget menyatakan bahwa anak membangun sendiri
skemanya serta membangun konsep-konsep melalui pengalaman-pengalamannya.
19
Piaget membedakan perkembangan kognitif seorang anak menjadi empat
taraf, yaitu (1) taraf sensori motor, (2) taraf pra-operasional, (3) taraf operasional
konkrit, dan (4) taraf operasional formal. Walaupun ada perbedaan individual
dalam hal kemajuan perkembangan, tetapi teori Piaget mengasumsikan bahwa
seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun
pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Perkembangan
kognitif sebagian besar bergantung seberapa jauh anak memanipulasi dan aktif
berinteraksi dengan lingkungan. Antara teori Piaget dan konstruktivis terdapat
persamaan yaitu terletak pada peran guru sebagai fasilitator, bukan sebagai
pemberi informasi. Guru perlu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif
bagi siswa-siswanya (Woolfolk, 1993) dan membantu siswa menghubungkan
antara apa yang sudah diketahui siswa dengan apa yang sedang dan akan
dipelajari (Abruscato, 1999).
Prinsip-prinsip Piaget dalam pengajaran diterapkan dalam program-program
yang menekankan pembelajaran melalui penemuan dan pengalaman-pengalaman
nyata dan pemanipulasian alat, bahan, atau media belajar yang lain serta peranan
guru sebagai fasilitator yang mempersiapkan lingkungan dan memungkinkan
siswa dapat memperoleh berbagai pengalaman belajar.
Implikasi teori kognitif Piaget pada pendidikan adalah sebagai berikut
(Slavin, 1994):
a. Memusatkan perhatian kepada berfikir atau proses mental anak, tidak sekedar
kepada hasilnya. Selain kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami
proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut.
20
Pengalaman-pengalaman belajar yang sesuai dikembangkan dengan
memperhatikan tahap fungsi kognitif dan hanya jika guru penuh perhatian
terhadap metode yang digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan
tertentu, barulah dapat dikatakan guru berada dalam posisi memberikan
pengalaman yang dimaksud.
b. Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif
dalam kegiatan belajar. Dalam kelas, Piaget menekankan bahwa pengajaran
pengetahuan jadi (ready made knowledge) tidak mendapat tekanan, melainkan
anak didorong menemukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan
dengan lingkungan. Oleh karena itu, selain mengajar secara klasik, guru
mempersiapkan beranekaragam kegiatan secara langsung dengan dunia fisik.
c. Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan
perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh dan
melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu
berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Oleh karena itu harus melakukan
upaya untuk mengatur aktivitas di dalam kelas yang terdiri dari individuindividu
ke dalam bentuk kelompok-kelompok kecil siswa daripada aktivitas
dalam bentuk klasikal. Hal ini sesuai dengan pendekatan konstruktivis dalam
pembelajaran khas menerapkan pembelajaran kooperatif secara ekstensif.
2. Teori Perkembangan Fungsi Mental Vygotsky
Vygotsky berpendapat seperti Piaget, bahwa siswa membentuk
pengetahuan, yaitu apa yang diketahui siswa bukanlah kopi dari apa yang mereka
temukan di dalam lingkungan; tetapi sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa
21
sendiri, melalui bahasa. Meskipun kedua ahli memperhatikan pertumbuhan
pengetahuan dan pemahaman anak tentang dunia sekitar, Piaget lebih memberikan
tekanan pada proses mental anak dan Vygotsky lebih menekankan pada peran
pengajaran dan interaksi sosial pada perkembangan IPA dan pengetahuan lain
(Howe & Jones, 1993).
Sumbangan penting yang diberikan Vygotsky dalam pembelajaran adalah
konsep zone of proximal development (ZPD) dan scaffolding. Vygotsky yakin
bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang
belum dipelajarai namun tugas-tugas itu berada dalam jangkauan kemampuannya
atau tugas-tugas itu berada dalam zone of proximal development. ZPD adalah
tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang saat ini.
Vygotsky lebih yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya
muncul dalam kerjasama atau kerjasama antar individu sebelum fungsi mental
yang lebih tinggi terserap ke dalam individu tersebut (Slavin, 1994).
Sedangkan konsep Scaffolding berarti memberikan kepada siswa sejumlah
besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran kemudian mengurangi
bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil
alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya
(Slavin, 1994).
Ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan (Howe & Jones,
1993). Pertama, adalah perlunya tatanan kelas dan bentuk pembelajaran kooperatif
antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas-tugas yang sulit dan
saling memunculkan strategi-strtategi pemecahan masalah yang efektif di dalam
22
masing-masing ZPD mereka. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pengajaran
menekankan scaffolding, dengan semakin lama siswa semakin bertanggung jawab
terhadap pembelajaran sendiri. Ringkasnya, menurut teori Vygotsky, siswa perlu
belajar dan bekerja secara berkelompok sehingga siswa dapat saling berinteraksi
dan diperlukan bantuan guru terhadap siswa dalam kegiatan pembelajaran.
C. Prinsip-prinsip Belajar Konstruktivis
Para ahli konstruktivis menyatakan bahwa belajar melibatkan konstruksi
pengetahuan saat pengalaman baru diberi makna oleh pengetahuan terdahulu
(Abruscato, 1999). Persepsi yang dimiliki oleh siswa mempengaruhi pembentukan
persepsi baru. Siswa menginterpretasi pengalaman baru dan memperoleh
pengetahuan baru berdasar realitas yang telah terbentuk di dalam pikiran siswa.
Konstruktivisme yang berakar pada prsikologi kognitif, menjelaskan bahwa
siswa belajar sebagai hasil dari pembentukan makna dari pengalaman. Peran
utama guru adalah membantu siswa membentuk hubungan antara apa yang
dipelajari dan apa yang sudah diketahui siswa. Bila prinsip-prinsip
konstruktivisme benar-benar digunakan di ruang kelas, maka guru harus
mengetahui apa yang telah diketahui dan diyakini siswa sebelum memulai unit
pelajaran baru.
Ada tiga prinsip yang menggambarkan konstruktivisme (Abruscato, 1999);
(a) seseorang tidak pernah benar-benar memahami dunia sebagaimana adanya
karena tiap orang membentuk keyakinan atas apa yang sebenarnya, (b)
keyakinan/pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang menyaring atau mengubah
23
informasi yang diterima seseorang, (c) siswa membentuk suatu realitas berdasar
pada keyakinan yang dimiliki, kemampuan untuk bernalar, dan kemauan siswa
untuk memadukan apa yang mereka yakini dengan apa yang benar-benar mereka
amati.
D. Pembelajaran Kooperatif
1. Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang
berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi
belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat
kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa
anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk
memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan
belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan
pelajaran.
Unsur-unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai
berikut (Lungdren, 1994).
a. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang
bersama.”
b. Para siswa harus memiliki tanggungjawab terhadap siswa atau peserta didik
lain dalam kelompoknya, selain tanggungjawab terhadap diri sendiri dalam
mempelajari materi yang dihadapi.
24
c. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang
sama.
d. Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggungjawab di antara para anggota
kelompok.
e. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut
berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.
f. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh
keterampilan bekerja sama selama belajar.
g. Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi
yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Menurut Thompson, et al. (1995), pembelajaran kooperatif turut menambah
unsur-unsur interaksi sosial pada pembelajaran sains. Di dalam pembelajaran
kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang saling
membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau
6 orang siswa, dengan kemampuan yang heterogen. Maksud kelompok heterogen
adalah terdiri dari campuran kemampuan siswa, jenis kelamin, dan suku. Hal ini
bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan dan bekerja dengan teman
yang berbeda latar belakangnya.
Pada pembelajaran kooperatif diajarkan keterampilan-keterampilan khusus
agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi
pendengar yang baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau
tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota
kelompok adalah mencapai ketuntasan (Slavin, 1995).
25
2. Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif
Beberapa ciri dari pembelajaran kooepratif adalah; (a) setiap anggota
memiliki peran, (b) terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa, (c) setiap
anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman
sekelompoknya, (d) guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan
interpersonal kelompok, (e) guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat
diperlukan (Carin, 1993).
Tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif
sebagaimana dikemukakan oleh Slavin (1995), yaitu penghargaan kelompok,
pertanggungjawaban individu, dan kesempatan yang sama untuk berhasil.
a. Penghargaan kelompok
Pembelajaran kooperatif menggunakan tujuan-tujuan kelompok untuk
memperoleh penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok diperoleh jika
kelompok mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan. Keberhasilan
kelompok didasarkan pada penampilan individu sebagai anggota kelompok
dalam menciptakan hubungan antar personal yang saling mendukung, saling
membantu, dan saling peduli.
b. Pertanggungjawaban individu
Keberhasilan kelompok tergantung dari pembelajaran individu dari semua
anggota kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitikberatkan pada
aktivitas anggota kelompok yang saling membantu dalam belajar. Adanya
pertanggungjawaban secara individu juga menjadikan setiap anggota siap
26
untuk menghadapi tes dan tugas-tugas lainnya secara mandiri tanpa bantuan
teman sekelompoknya.
c. Kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan
Pembelajaran kooperatif menggunakan metode skoring yang mencakup nilai
perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dari
yang terdahulu. Dengan menggunakan metode skoring ini setiap siswa baik
yang berprestasi rendah, sedang, atau tinggi sama-sama memperoleh
kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya.
3. Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok tradisional yang
menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan individu diorientasikan pada
kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah
menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi
oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994).
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai stidaktidaknya
tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al.
(2000), yaitu:
a. Hasil belajar akademik
Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga
memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya.
Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa
memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah
menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat
27
meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang
berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yang
berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi
keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang
bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
b. Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari
orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan,
dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi
siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling
bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan
kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.
c. Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada
siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan
sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih
kurang dalam keterampilan sosial.
4. Keterampilan Kooperatif
Dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi
siswa atau peserta didik juga harus mempelajari keterampilan-keterampilan
khusus yang disebut keterampilan kooperatif. Keterampilan kooperatif ini
berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja
dapat dibangun dengan membangun tugas anggota kelompok selama kegiatan.
28
Keterampilan-keterampilan selama kooperatif tersebut antara lain sebagai berikut
(Lungdren, 1994).
a. Keterampilan Kooperatif Tingkat Awal
1) Menggunakan kesepakatan
Yang dimaksud dengan menggunakan kesepakatan adalah menyamakan
pendapat yang berguna untuk meningkatkan hubungan kerja dalam
kelompok.
2) Menghargai kontribusi
Menghargai berarti memperhatikan atau mengenal apa yang dapat
dikatakan atau dikerjakan anggota lain. Hal ini berarti harus selalu setuju
dengan anggota lain, dapat saja kritik yang diberikan itu ditujukan
terhadap ide dan tidak individu.
3) Mengambil giliran dan berbagi tugas
Pengertian ini mengandung arti bahwa setiap anggota kelompok bersedia
menggantikan dan bersedia mengemban tugas/tanggungjawab tertentu
dalam kelompok.
4) Berada dalam kelompok
Maksud di sini adalah setiap anggota tetap dalam kelompok kerja selama
kegiatan berlangsung.
5) Berada dalam tugas
Yang dimaksud berada dalam tugas adalah meneruskan tugas yang
menjadi tanggungjawabnya, agar kegiatan dapat diselesaikan sesuai waktu
yang dibutuhkan.
29
6) Mendorong partisipasi
Mendorong partisipasi berarti mendorong semua anggota kelompok untuk
memberikan kontribusi terhadap tugas kelompok.
7) Mengundang orang lain
Maksudnya adalah meminta orang lain untuk berbicara dan berpartisipasi
terhadap tugas.
8) Menyelesaikan tugas dalam waktunya
9) Menghormati perbedaan individu
Menghormati perbedaan individu berarti bersikap menghormati terhadap
budaya, suku, ras atau pengalaman dari semua siswa atau peserta didik.
b Keterampilan Tingakat Menengah
Keterampilan tingkat menengah meliputi menunjukkan penghargaan dan
simpati, mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara dapat diterima,
mendengarkan dengan arif, bertanya, membuat ringkasan, menafsirkan,
mengorganisir, dan mengurangi ketegangan.
c. Keterampilan Tingkat Mahir
Keterampilan tingkat mahir meliputi mengelaborasi, memeriksa dengan
cermat, menanyakan kebenaran, menetapkan tujuan, dan berkompromi.
5. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif
Urutan langkah-langkah prilaku guru menurut model pembelajaran kooperatif
yang diuraiakan oleh Arends (1997) adalah sebagaimana terlihat pada tabel 2.1.
30
Tabel 2.1
Sintaks Pembelajaran Kooperatif
Fase Tingkahlaku Guru
Fase 1:
Menyampaikan tujuan dan
memotivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan
pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran
tersebut dan memotivasi siswa belajar.
Fase 2:
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa
dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan
bacaan.
Fase 3:
Mengorganisasikan siswa ke
dalam kelompok-kelompok
belajar
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana
caranya membentuk kelompok belajar dan
membantu setiap kelompok agar melakukan
transisi secara efisien.
Fase 4:
Membimbing kelompok bekerja
dan belajar
Guru membimbing kelompok-kelompok
belajar pada saat mereka mengerjakan tugas
mereka.
Fase 5:
Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang
materi yang telah dipelajari atau masingmasing
kelompok mempresentasikan hasil
kerjanya.
Fase 6:
Memberikan penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk menghargai
baik upaya maupun hasil belajar individu
dan kelompok.
(Arends, 1997)
Terdapat enam fase utama dalam pembelajaran kooperatif (Arends, 1997).
Pembelajaran dalam kooperatif dimulai dengan guru menginformasikan tujuantujuan
dari pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti
dengan penyajian informasi, sering dalam bentuk teks bukan verbal. Kemudian
dilanjutkan langkah-langkah di mana siswa di bawah bimbingan guru bekerja
bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas yang saling bergantung. Fase
terakhir dari pembelajaran kooperatif meliputi penyajian produk akhir kelompok
atau mengetes apa yang telah dipelajari oleh siswa dan pengenalan kelompok dan
usaha-usaha individu.
31
6. Pendekatan dalam Pembelajaran Kooperatif
Walaupun prinsip dasar pembelajaran kooperatif tidak berubah, terdapat
beberapa variasi dari model tersebut. Ada empat pendekatan pembelajaran
kooperatif (Arends, 2001). Di sini akan diuraikan secara ringkas masing-masing
pendekatan tersebut.
a. Student Teams Achievement Division (STAD)
STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di
Universitas John Hopkin dan merupakan pendekatan pembelajaran kooperatif
yang paling sederhana. Guru yang menggunakan STAD, juga mengacu kepada
belajar kelompok siswa, menyajikan informasi akademik baru kepada siswa setiap
minggu menggunakan presentasi verbal atau teks. Siswa dalam suatu kelas
tertentu dipecah menjadi kelompok dengan anggota 4-5 orang, setiap kelompok
haruslah heterogen, terdiri dari laki-laki dan perempuan, berasal dari berbagai
suku, memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Anggota tim
menggunakan lembar kegiatan atau perangkat pembelajaran yang lain untuk
menuntaskan materi pelajarannya dan kemudian saling membantu satu sama lain
untuk memahami bahan pelajaran melalui tutorial, kuis, satu sama lain dan atau
melakukan diskusi. Secara individual setiap minggu atau setiap dua minggu siswa
diberi kuis. Kuis itu diskor, dan tiap individu diberi skor perkembangan. Skor
perkembangan ini tidak berdasarkan pada skor mutlak siswa, tetapi berdasarkan
pada seberapa jauh skor itu melampaui rata-rata skor yang lalu.
Setiap minggu pada suatu lembar penilaian singkat atau dengan cara lain,
diumumkan tim-tim dengan skor tertinggi, siswa yang mencapai skor
32
perkembangan tinggi, atau siswa yang mencapai skor sempurna pada kuis-kuis
itu. Kadang-kadang seluruh tim yang mencapai kriteria tertentu dicantumkan
dalam lembar itu.
b. Investigasi Kelompok
Investigasi kelompok mungkin merupakan model pembelajaran kooperatif
yang paling kompleks dan paling sulit untuk diterapkan. Model ini dikembangkan
pertama kali oleh Thelan. Berbeda dengan STAD dan jigsaw, siswa terlibat dalam
perencanaan baik topik yang dipelajari maupun bagaimana jalannya penyelidikan
mereka. Pendekatan ini memerlukan norma dan struktur kelas yang lebih rumit
daripada pendekatan yang lebih terpusat pada guru.
Dalam penerapan investigasi kelompok ini guru membagi kelas menjadi
kelompok-kelompok dengan anggota 5 atau 6 siswa yang heterogen. Dalam
beberapa kasus, kelompok dapat dibentuk dengan mempertimbangkan keakraban
persahabatan atau minat yang sama dalam topik tertentu. Selanjutnya siswa
memilih topik untuk diselidiki, melakukan penyelidikan yang mendalam atas
topik yang dipilih itu. Selanjutnya menyiapkan dan mempresentasikan laporannya
kepada seluruh kelas.
c. Pendekatan Struktural
Pendekatan ini dikembangkan oleh Spencer Kagen dan kawan-kawannya.
Meskipun memiliki banyak kesamaan dengan pendekatan lain, namun pendekatan
ini memberi penekanan pada penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk
mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur tugas yang dikembangkan oleh
33
Kagen ini dimaksudkan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional,
seperti resitasi, di mana guru mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas dan
siswa memberi jawaban setelah mengangkat tangan dan ditunjuk. Struktur yang
dikembangkan oleh Kagen ini menghendaki siswa bekerja saling membantu
dalam kelompok kecil dan lebih dicirikan oleh penghargaan kooperatif, daripada
penghargaan individual.
Ada struktur yang dikembangkan untuk meningkatkan perolehan isi
akademik, dan ada struktur yang dirancang untuk mengajarkan keterampilan
sosial atau keterampilan kelompok. Dua macam struktur yang terkenal adalah
think-pair-share dan numbered-head-together, yang dapat digunakan oleh guru
untuk mengajarkan isi akademik atau untuk mengecek pemahaman siswa terhadap
isi tertentu. Sedangkan active listening dan time token, merupakan dua contoh
struktur yang dikembangkan untuk mengajarkan keterampilan sosial.
d. Jigsaw
Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson
dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan
teman-teman di Universitas John Hopkins (Arends, 2001).