Logam krom ( Cr ) dalam tekstil

Secara alamiah krom dapat ditemukan dalam batuan, tanah, debu vulkanik,
binatang dan tumbuhan. Krom di lingkungan umumnya dalam bentuk Cr (0), Cr (III)
dan Cr(VI). Keberadaan krom di lingkungan sebagian besar berasal dari limbah
industri seperti industri baja, elektroplating, industri yang melakukan proses tanning,
industri kimia, pencelupan tekstil dan lain-lain. Tingkat oksidasi krom yang penting
adalah +3 dan +6. Kedua spesi krom tersebut mempunyai sifat dan dampak yang
berbeda terhadap kesehatan manusia. Cr (III) dalam jumlah besar dapat mempengaruhi
berbagai reaksi enzimatis dan dapat bereaksi dengan zat organik, namun demikian
dilaporkan bahwa krom (III) dalam jumlah kecil diperlukan oleh makhluk hidup
dalam proses metabolisme glukosa, lemak dan protein. Cr(VI) yang bersifat sebagai

oksidator kuat

dapat merusak jaringan sel dan bersifat toksik dan karsinogenik(1).

Environtmental Protection Agency (EPA) telah menetapkan bahwa kadar krom total
dalam air minum adalah 2,5 µg/L. Dilaporkan pula dalam www.osha.gov bahwa
kontak kulit dengan senyawa Cr(VI) tertentu dapat menyebabkan penyakit kulit dan
pada beberapa orang yang sensitif dapat menyebabkan reaksi alergik. Penelitian
terhadap binatang diketahui Cr(VI) dapat meningkatkan resiko kanker paru-paru.
Adanya logam krom dalam tekstil kemungkinan berasal dari bahan kimia yang
digunakan dalam proses tekstil maupun sebagai zat pengotor (impurities) yang
terkandung dalam bahan kimia tersebut. Senyawa krom di industri tekstil terutama
digunakan dalam proses pencelupan yang menggunakan zat warna direk dan zat warna
mordan. Dalam proses pencelupan kain dengan zat warna direk, krom dalam bentuk
senyawa dikromat digunakan untuk fiksasi zat warna tersebut pada serat kain,
sedangkan dalam pencelupan dengan zat warna mordan krom digunakan dalam bentuk
garam Cr(III). Salah satu contoh zat warna direk adalah Congo Red ( C.I. Direct red
28), sedangkan contoh zat warna mordan adalah Eriochrome Black T ( C.I Mordant
Black 11 ) masing-masing memiliki rumus molekul seperti pada Gambar II.1. Zat
warna direk adalah zat warna azo yang mengandung gugus sulfonat, namun demikian
afinitasnya terhadap serat selulosa kecil dibanding dengan zat warna asam atau basa.
Hasil pencelupan kain katun dengan zat warna direk memiliki ketahanan terhadap
pencucian yang kurang baik, sehingga dalam prakteknya memerlukan perlakuan
setelah proses pencelupan menggunakan garam elektrolit yang disebut dengan proses
3









fiksasi. Garam yang biasa digunakan adalah tembaga sulfat atau senyawa dikromat.
Pada proses fiksasi atom oksigen pada gugus OH dalam zat warna akan membentuk
kompleks dengan logam yang berasal dari garam elektrolit, menyebabkan ukuran
molekul zat warna menjadi lebih besar dan kurang larut dalam air, sehingga tahan
luntur terhadap pencucian menjadi meningkat(2-3).



Di samping berasal dari bahan kimia yang digunakan dalam proses tekstil,
keberadaan krom dalam tekstil juga dapat berasal dari pengotor zat warna. Zat warna
tekstil yang digunakan memiliki kualitas teknis sehingga terdapatnya pengotor dalam
zat warna termasuk logam-logam berat sangat dimungkinkan. Hal ini ditegaskan

sebagaimana

yang

tercantum

dalam

kriteria

ekolabel

Uni-Eropa

yang

mempersyaratkan penggunaan zat warna yang memiliki kadar pengotor logam-logam
berat dalam jumlah tertentu. Dalam ekolabel tersebut ditetapkan kadar Cr dalam zat
warna yang digunakan dalam proses tekstil maksimum 100 ppm(4).



II.2 Prakonsentrasi krom
Berbagai teknik dapat digunakan dalam penentuan logam krom renik dalam
air. Analisis instrumental secara langsung biasanya sulit dilakukan dikarenakan adanya
kemungkinan gangguan matriks contoh yang dapat mempengaruhi hasil analisis serta
konsentrasi krom dalam contoh yang sangat rendah mendekati atau bahkan jauh di
bawah limit deteksi alat/instrumen yang digunakan. Untuk mengatasi masalah tersebut,
proses pemisahan dan prakonsentrasi perlu dilakukan. Teknik prakonsentrasi dapat
dilakukan dengan beberapa cara seperti ekstraksi pelarut, pertukaran ion, ekstraksi fasa
padat dan kopresipitasi.


4









Proses spesiasi dan prakonsentrasi Cr (VI) dapat dilakukan dengan
menggunakan zat pengompleks amonium pirolidinditiokarbamat (APDC), kemudian
diekstraksi dengan menggunakan pelarut metil isobutil keton (MIBK). Penentuan
Cr(VI) dilakukan langsung dari ekstrak secara spektrometri serapan atom tungku
karbon (SAATK), sedangkan Cr (III) ditentukan dari selisih antara kadar krom total
dan Cr (VI). Kondisi reaksi pembentukan kompleks antara Cr(VI) dan APDC
diketahui optimum pada pH 3,5. Limit deteksi untuk Cr (III) dan Cr (VI) adalah
0,3 µg/L(7).
Spesi Cr (III) dapat diprakonsentrasi menggunakan teknik pertukaran ion.
Kelebihan dari teknik ini adalah kolom resin yang dipakai dapat digunakan berulang-
ulang, sedangkan kekurangannya adalah sering terjadi masalah ketika proses desorpsi
lambat sehingga diperlukan modifikasi secara kimia terhadap resin tersebut. Resin
penukar ion yang secara luas digunakan adalah amberlit XAD, karena resin tersebut
mempunyai sifat adsorpsi dan kemurnian yang baik. Resin amberlit XAD-16 dalam
penelitian spesiasi beberapa logam berat termasuk di dalamnya Cr (III) diperoleh hasil
recovery Cr (III) mencapai ≥ 95 % dengan limit deteksi 0,008 µg/mL(8).
Prakonsentrasi Cr (III) juga dapat dilakukan dengan cara kopresipitasi yakni
didasarkan pada pembentukan senyawa kompleks yang dapat mengendap. Sebagai
kopresipitan biasanya digunakan senyawa hidroksida unsur tanah jarang seperti
galium, indium, scandium, terbium. Telah dilaporkan bahwa terbium mempunyai
kemampuan sebagai kopresipitan yang baik untuk analisis Cr (III), Cu(II) dan
Pb(II)(9). Percobaan yang dilakukannya adalah dengan cara mencampurkan contoh
analit dengan larutan terbium hidroksida dalam gelas kimia pada beberapa variasi pH.
Endapan yang terjadi dipisahkan dan dilarutkan dengan asam nitrat 0,85 M. Larutan
hasil prakonsentrasi kemudian ditentukan secara spektrometri serapan atom tungku
karbon. Diperoleh hasil bahwa recovery Cr(III) mencapai hampir 100 % pada pH 8,4 –
10,8 dan limit deteksinya diketahui sebesar 0,3 µg/L. Dilaporkan pula bahwa adanya
terbium hingga 7 g/L dalam contoh uji tidak mengganggu dalam penentuan analit.
Peneliti lainnya telah berhasil melakukan percobaan kopresipitasi Cr (III) dalam contoh
air alam menggunakan kopresipitan kombinasi kompleks Pd/8-quinolinol/asam tannic
dan penentuannya secara spektrometri serapan atom tungku karbon(10). Ditemukan
bahwa kondisi kopresipitasi optimum terjadi pada pH 5,1 - 5,3. Limit deteksi untuk
Cr(III) adalah 20 ng/L untuk 300 mL contoh air yang digunakan.


5









Teknik prakonsentrasi lainnya adalah ekstraksi fasa padat. Pada umumnya
teknik ini didasarkan pada sifat adsorpsi analit pada kolom adsorben seperti C18 ,
alumina aktif, selulosa Cellex T, dan politetrafluoroetilen (PTFE). Dengan teknik
ekstraksi fasa padat telah berhasil dilakukan prakonsentrasi Cr(VI) menggunakan

kolom

politetrafluoroetilen (PTFE)(11). Pertama-tama contoh analit dicampurkan

dengan larutan APDC pada berbagai variasi pH, kemudian khelat Cr-PDC dilewatkan
ke dalam kolom PTFE. Proses elusi dilakukan dengan menggunakan pelarut MIBK
dan eluat secara langsung dialirkan masuk ke dalam sistem nyala spektrometer serapan
atom. Dilaporkan bahwa kurva kalibrasi linear terjadi pada rentang konsentrasi 1 – 40
µg/L dan limit deteksinya adalah 0,8 µg/L. Standar deviasi relatif 3,2 % pada
konsentrasi 20 µg/L.
Zat pengkompleks amonium pirolidin ditiokarbamat (APDC) yang mempunyai
rumus kimia C5H9NS2. NH3 telah dikenal secara luas sebagai zat pengkomplek yang
dapat digunakan dalam analisis logam berat renik seperti Pb, Ni, Cu, Sn, Co, Cd, Mn,
Zn dan Cr . Dilaporkan bahwa Cr(VI) dalam air dapat bereaksi cepat dengan APDC
menjadi Cr(III) dan segera membentuk komplek Cr-PDC pada kondisi pH asam dan
temperatur kamar. Sedangkan Cr(III) dengan APDC pada kondisi yang sama bereaksi
lambat, hal ini disebabkan karena Cr(III) dalam air berada dalam keadaan terhidrasi
sangat kuat sehingga sulit membentuk kompleks dengan APDC. Dengan demikian

APDC dapat digunakan dalam spesiasi logam Cr(VI) dan Cr(III) dalam air.

Lebih

jauh telah diketahui bahwa APDC memiliki sifat lebih stabil pada pH rendah
dibandingkan dengan natrium dietilditiokarbamat (DDTC). Pada pH rendah DDTC
mudah terdekomposisi. Hasil karakterisasi menggunakan kromatografi lapis tipis,
difraksi sinar-X, spektroskopi IR dan spektrometri massa yang dilakukan
menunjukkan bahwa hasil reaksi Cr(VI) dengan APDC pada pH asam adalah dua
bentuk kompleks yakni Cr(PDC)3 dan Cr(PDC)2(OPDC) sebagai produk utamanya(12).

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel