Bekicot

Bekicot merupakan golongan hewan lunak (mollusca) yang termasuk dalam kelas gastropoda. Badannya lunak dan dilindungi oleh cangkang yang keras. Jenis hewan ini tersebar di laut, air tawar dan daratan yang lembab.
Bekicot berhabitat di tempat-tempat yang lembab terutama di sekitar tumbuh-tumbuhan sebagai tempat berlindung pada siang hari. Di beberapa wilayah di Eropa, Asia dan Afrika, bekicot dijadikan sebagai makanan, yang dikenal sebagai escargot di Perancis dan caracois di Portugal. Spesies bekicot yang banyak terdapat di Eropa adalah Helix pomatia yang disebut Burgundy snail dan Helix aspersa yang disebut European brown garden snail. Spesies yang banyak tersebar di Afrika dan Asia, khususnya Indonesia adalah Achatina fullica. Klasifikasi bekicot sebagai berikut:
- Divisio : Mollusca
- Kelas : Gastropoda
- Ordo : Pulmonata
- Familia : Achatinidae
- Genus : Achatina
- Spesies : Achatina Fullica
Bekicot banyak dimanfaatkan untuk makanan manusia sebagai sumber protein (dikenal sebagai escargot ) di Eropa, Asia dan Afrika karena mengandung banyak daging dan mengandung banyak asam amino esensial. Bekicot juga sudah menjadi komoditas ekspor. Ekspor bekicot pada tahun 1983 baru mencapai 245.359 kg, pada tahun1987 ekspor bekicot naik sekitar tujuh kali lipat menjadi 1.490.296 kg (Santoso, 1989: 12-13). Besarnya manfaat dan pertumbuhan perdagangan ini menyebabkan timbulnya limbah cangkang bekicot dalam jumlah yang cukup besar. Limbah cangkang bekicot banyak ditemukan kabupaten Kediri. Selain dapat dimanfaatkan untuk makanan tambahan bagi ternak seperti itik dan ayam, bekicot juga banyak dipakai untuk obat tradisional. Daging dan lendirnya mujarab untuk pengobatan abortus, sakit saat menstruasi, gatal-gatal, jantung, sakit gigi, dan radang selaput mata. Sedangkan kulitnya mujarab untuk obat tumor. Maulie, adalah obat dari kulit bekicot untuk mengobati kekejangan, jantung berdebar, insomania, keputihan dan leher bengkak (Prihatman K., 2000).
Peningkatan ekspor dan juga banyaknya industri pengolahan bekicot menyebabkan banyaknya limbah cangkang bekicot yang dihasilkan. Selama ini limbah tersebut belum dimanfaatkan, biasanya hanya dibuang begitu saja atau dimanfaatkan sebagai campuran makanan ternak.

2. Kitin
Kitin adalah senyawa karbohidrat yang termasuk dalam polisakarida, tersusun atas monomer-monomer asetil glukosamin yang saling berikatan dengan ikatan 1,4 beta membentuk suatu unit polimer linier yaitu beta-(1,4)-2-asetamido-2-deoksi-D-glukosa atau beta-(1,4)-N-asetil glukosamin. Analisis dengan sinar x mengindikasikan bahwa struktur kitin mirip dengan selulosa. Perbedaan kitin dan selulosa terletak pada adanya gugus 2-asetil amino pada unit glukosa (Pujiastuti, 2001). Analisis dengan Spektroskopi Infra Merah menunjukkan adanya serapan pada 1671 cm-1 yang merupakan serapan dari gugus amina terasetilasi (Saraswathy, Pal, Rose and Sastry, 2001).


Struktur kitin tersusun atas 2000-3000 satuan monomer N-asetil D-glukosamin yang saling berikatan melalui 1,4-glikosidik. Satu diantara enam monosakarida yang menyusun rantai kitin adalah glukosamin (Suhardi, 1993: 15).
Kitin merupakan bahan organik utama terdapat pada kelompok hewan seperti, crustaceae, insekta, mollusca dan arthropoda. Dalam cangkang udang yang termasuk kelompok crustaceae, kitin berikatan dengan protein, garam-garam anorganik seperti kalsium karbonat dan lipid termasuk pigmen-pigmen. Stephen (1995: 454) menyebutkan kulit kepiting terdapat 60% kitin, sedangkan dalam lidah, rahang ataupun contoh yang lainnya dari kelas gastropoda terdapat 20% kandungan kitin. Kitin juga diketahui terdapat pada kulit keong, kepiting, kerang dan escargot (Stephen, 1995: 454) yaitu suatu masakan dari bahan bekicot. Bahan-bahan berkitin terutama berada di bagian ektodermal dalam binatang multiseluler dan membentuk eksoskeleton yang spesifik dari kebanyakan binatang tidak bertulang belakang. Tidak ada bukti adanya hubungan antara proporsi kitin dengan derajat kalsifikasi, kekerasan atau fleksibilitas bahan (Suhardi, 1993: 15). Kitin diperoleh dengan melakukan sejumlah proses pemurnian. Proses isolasi kitin terdiri dari dua tahap utama, yaitu deproteinasi dan demineralisasi. Deproteinasi betujuan untuk menghilangkan protein yang terdapat pada cangkang. Tahap ini dilakukan dengan menambahkan NaOH pada konsentrasi rendah sehingga terbentuk Na-proteanat yang larut dalam air. Tahap demineralisasi dilakukan untuk memurnikan kitin dari mineral-mineral yang terkandung dalam cangkang. Tahap ini dilakukan dengan menambahkan HCl encer. Menurut Beaulieu (2005) protein dihilangkan dengan menambahkan NaOH (1-10%) pada suhu (85-100ºC), sedangkan demineralisasi dilakukan dengan menambahkan HCl (1-10%) pada suhu kamar.
Kitin merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui dan banyak dipakai untuk pengolahan limbah, kosmetik dan obat-obatan. Kitin tidak beracun, dapat dibiodegradasi, tidak larut dalam air dan alkali, larut dalam asam mineral kuat dan asam formiat anhidrid. Kitin dapat membentuk kompleks dengan ion logam transisi dan dapat menyerap zat warna terutama dengan mekanisme pertukaran ion. Kitin juga dapat dimanfaatkan untuk agen chelat yang banyak dipakai untuk pengolahan air minum dengan memisahkan senyawa organik dan logam berat (Lee, V.R., 2002).
Kitin memiliki gugus hidroksil dan amina primer yang reaktif. Saat pemanasan, kitin cenderung untuk terdekomposisi daripada meleleh sehingga polimer ini tidak memiliki titik leleh. Kitin berbentuk kristal, mudah terdegradasi secara biologis, tidak larut dalam air, larutan basa encer dan pekat, larutan asam-asam organik dan anorganik encer, akan tetapi larut dalam larutan asam-asam pekat seperti HCl, H2SO4, HNO3 dan HCOOH anhidrat. (Bastaman, 1989 dalam Darjito 2001).

3. Kitosan
Kitosan adalah kitin yang telah dihilangkan gugus asetilnya melalui proses deasetilasi. Proses deasetilasi kitin diperoleh kitosan yang memenuhi syarat bila waktu yang diperlukan selama 90-120 menit, dimana pada waktu 90 menit sampai dengan 120 menit diperoleh kitosan dengan kondisi setengah gel sampai dengan bentuk gel dalam larutan air (Nasution dan Citorekso, 1999). Kitosan terbentuk saat kitin ditambahkan NaOH (>40%) pada suhu tinggi (90-120ºC) (Beaulieu, 2005). Kitosan merupakan suatu senyawa polimer dari glukosamina pada ikatan beta-1,4 atau polimer dari 2-amino-2-deoksi-D-glukosa. Kitosan adalah kitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin, tetapi tidak cukup sempurna untuk dinamakan poli glukosamin (Bastaman 1989 dalam Darjito 2001).


Kebanyakan mutu kitosan komersil mengandung 75-95 % glukosamin dan 5-25 % unit N-asetilglukosamin (Stephen, 1995: 442). Menurut Pujiastuti (2001), derajat deasetilasi kitin terhadap kitosan biasanya berkisar antara 70-100% tergantung penggunaannya. Spesifikasi kitosan untuk kualitas teknis mempunyai derajat deasetilasi sekitar 85%, untuk kualitas makanan derajat deasetilasinya sekitar 90%, sedangkan untuk kitosan berkualitas farmasetis derajat deasetilasinya sekitar 95% (Pujiastuti, 2001). Derajat deasetilasi menentukan muatan gugus amino bebas dalam polisakarida serta digunakan dalam membedakan antara kitin dan kitosan (Khan, Peh dan Hung, 2002). Semakin tinggi derajat deasetilasi maka kualitas kitosan semakin baik.
Biopolimer yang alami dan tidak beracun ini sekarang secara luas diproduksi secara komersial dari limbah kulit udang dan kepiting (No, Lee, dan Mayers, 2000). Penelitian kitosan sebagai adsorben telah banyak dilakukan dan kesemuanya menunjukkan karakteristik sifat pada : (1) kemampuannya yang cukup tinggi dalam mengikat ion logam, (2) kemungkinan pengambilan kembali yang relatif mudah terhadap ion logam yang terikat pada kitosan dengan menggunakan pelarut tertentu (Muzzarelli, 1997 dalam Darjito, 2001).
Kitosan bersifat hidrofil yang lebih tinggi dari pada kitin (Salami, 1998). Kitosan memiliki gugus-gugus amino dan hidroksil yang terikat, adanya gugus-gugus tersebut menyebabkan kitosan mempunyai reaktifitas yang tinggi. Ketika kitosan dilarutkan kedalam campuran asam berair, proporsi dari amina primer pada molekul kitosan menjadi terprotonasi dan memperoleh muatan positif, karena itu molekul kitosan yang terlarut adalah polikationik. Kitosan tidak larut dalam pelarut alkali, karena pengaruh gugus amina (Kim, Cho and Lee, 2000).
Kitosan dengan sifat penukar ionnya dapat membentuk komplek dengan barbagai logam transisi, hal ini melibatkan donasi pasangan elektron bebas dari nitrogen dan atau oksigen dari gugus hidroksil kepada ion logam berat. Tingkat dari formasi dan stabilitas dari komplek sangat tergantung pada konsentrasi ion logam berat yang bersaing, temperatur, pH larutan, ukuran partikel, kristalitas dan derajat deasetilasi dari kitosan (Stephen, 1995: 446). Kitosan dengan sifatnya yang polikationik juga dapat berikatan dengan zat warna. Hal ini dikarenakan dalam keadaan terprotonasi, gugus amina pada kitosan dapat berikatan dengan gugus sulfonat dari zat warna (Sakkayawong, et.al., 2005)
Kitosan dengan sifatnya yang non toksik, digunakan dalam berbagai bidang seperti agrikultur, penjernihan dan pemurnian air dan minuman. Kitosan juga digunakan dalam bidang farmasi, imobilisasi sel dan enzim, kosmetik (Stephen, 1995: 450-451). Pemanfaatan kitosan untuk pemurnian air telah dilakukan selama lebih dari tiga puluh tahun. Dengan menyebarkan kitosan ke permukaan air yang tercemar, zat-zat pencemar (minyak, logam berat dan makromolekul lain) akan diserap oleh kitosan (Kusumawati, 2006).

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel