Formalin
2.1 Formalin
Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Di dalam formalin terkandung sekitar 37 persen formaldehid dalam air. Biasanya ditambahkan metanol hingga 15 persen sebagai pengawet (Depkes RI, 1979). Formalin dikenal sebagai bahan pembunuh hama (desinfektan) dan banyak digunakan dalam industri dan sering digunakan sebagai pembunuh kuman, dan bahan pengawet tubuh atau bagian-bagian tubuh, sehingga sekarang terkenal dengan sebutan bahan pengawet mayat (Anonim, 2007).
Bagi kebanyakan orang, formalin adalah bahan yang lazim digunakan untuk pengawet mayat. Formalin mempunyai sifat khas dibanding desinfektan lain sehingga lebih dipilih untuk mengawetkan mayat. Bahan pengawet ini, menurut Kepala Pusat Penelitian Kimia LIPI, Dr. Leonardus Broto Kardono, sebetulnya berbentuk gas dengan sebutan formaldehida atau dalam istilah asingnya ditulis formaldehyde. Zat ini memiliki unsur CH2OH yang reaktif dan mudah mengikat air. Bila zat ini sudah bercampur dengan air barulah dia disebut formalin (Anonim, 2007).
Pengawet ini memiliki gugus aldehida yang bersifat mudah bereaksi dengan protein, karenanya ketika disiramkan ke makanan seperti tahu, formalin akan mengikat senyawa protein mulai dari bagian permukaan tahu hingga terus meresap kebagian dalamnya. Hasil reaksi antara formalin dan protein ini membuat daging terasa lebih kaku bila ditekan. Selain itu protein yang terdapat dalam daging tadi tidak akan diserang bakteri pembusuk yang menghasilkan senyawa asam. Itulah sebabnya daging atau makanan lainnya menjadi lebih awet (Anonim, 2007).
Formalin membunuh bakteri dengan membuat jaringan dalam bakteri dehidrasi (kekurangan air), sehingga sel bakteri akan kering dan membentuk lapisan baru di permukaan. Artinya, formalin tidak saja membunuh bakteri, tetapi juga membentuk lapisan baru yang melindungi lapisan di bawahnya, supaya tahan terhadap serangan bakteri lain. Bila desinfektan lainnya mendeaktifasikan serangan bakteri dengan cara membunuh dan tidak bereaksi dengan bahan yang dilindungi, maka formaldehida akan bereaksi secara kimiawi dan tetap ada di dalam materi tersebut untuk melindungi dari serangan berikutnya (Anonim, 2007).
2.1.1 Penyalahgunaan Formalin
Berdasarkan hasil operasi pengawasan Badan POM pada beberapa tahun terakhir ini ditemukan adanya kecenderungan penyalahgunaan formalin sebagai pengawet makanan yang terus meningkat. Pada awal Desember 2005, Balai Besar POM melakukan sampling dan pengujian laboratorium secara serial dan serentak mencakup Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Mataram dan Makassar. Produk makanan/sampel yang diuji meliputi tahu, mie basah, ikan, dan ayam potong. Untuk tahu, temuan Badan POM di Yogyakarta dan Bandung tidak mengandung formalin, sedang di Jakarta relatif sangat tinggi yaitu 77,85% mengandung formalin. Sedangkan untuk ikan, temuan Badan POM di Jakarta 52,63% dan Bandar Lampung 36,56% dari sampel ikan mengandung formalin. Untuk mie basah persentase sampel yang mengandung formalin rata-rata tinggi diatas 60% kecuali di Makassar 6,45% dan untuk ayam potong persenatsi sampel yang mengandung formalin di Jakarta relatif tinggi dibanding lain yaitu sekitar 36,56% (Ditjen POM, 2005).
Sedangkan menurut data dari Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BB POM) Surabaya, ditemukan beberapa bahan makanan yang mengandung formalin. Semua bahan makanan didapat dari sejumlah pasar tradisional di wilayah Surabaya yang meliputi mie basah, tahu, ikan laut, ikan asin, bakso, dan ayam potong. Dari penemuan tersebut, sebanyak 15 sampel mie basah yang diperiksa, 60 persen mengandung formalin. Dan dari 38 sampel ikan laut segar, sebanyak 8 mengandung formalin. Sedangkan untuk ayam potong diwaspadai adanya kemungkinan penggunaan formalin sebagai pengawet (Sugiharto, 2005).