Metafisika
Sebagai sebuah disiplin filsafat, metafisika telah dimulai sejak zaman yunani kuno, mulai dari filosof-filosof alam sampai Aristoteles (284-322 SM). Aristoteles sendiri tidak pernah memakai istilah ”metafisika” Aristoteles menyebut disiplin yang mengkaji hal-hal yang sifatnya di luar fisika sebagai filsafat pertama (proto philosophia)untuk membedakannya dengan filsafat kedua yaitu disiplin yang mengkaji hal-hal yang bersifat fisika. Istilah metafisika yang kita kenal sekarang, berasal dari bahasa Yunani ta meta ta physika yang artinya “yang datang setelah fisik”. Istilah tersebut diberikan oleh Andronikos dari Rhodos (70 SM) terhadap karya-karya Aristoteles yang disusun sesudah (meta) buku fisika.
Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Metaphysica mengemukakan beberapa gagasannya tentang metafisika antara lain:
a. Metafisika sebagai kebijaksanaan (sophia), ilmu pengetahuan yang mencari pronsip-prinsip fundamental dan penyebab-penyebab pertama.
b. Metafisika sebagai ilmu yang bertugas mempelajari yang ada sebagai yang ada (being qua being) yaitu keseluruhan kenyataan.
c. Metafisika sebagai ilmu tertinggi yang mempunyai obyek paling luhur dan sempurna dan menjadi landasan bagi seluruh adaan, yang mana ilmu ini sering disebut dengan theologia.
Dari ketiga keterangan Aristoteles tentang metafisika tersebut, sebenarnya terdapat dua obyek yang menjadi metafisis Aristoteles yaitu, (a) yang ada sebagai yang ada being qua being dan (b) yang Ilahi. Namun demikian Aristoteles sendiri tidak menjadikan dua obyek kajian sebagai obyek bagi dua disiplin ilmu yang berbeda. Seorang filosof Jerman bernama Christian Wolff cenderung meyakini bahwa pembicaraan tentang yang ada sebagai yang ada dan yang Ilahi harus dipisahkan dan tidak dapat dibicarakan bersama-sama. Oleh karenanya, Wolff memilah filsafat pertama Aristoteles menjadi metaphysica generalis (metafisika umum) atau juga sering disebut ontologi dan methapysica specialis (metafisika khusus).
Metafisika umum membahas mengenai yang ada sebagai yang ada, artinya prinsip-prinsip umum yang menata realitas, sedang metafisika khusus membahas penerapan prinsip-prinsip umum ke dalam bidang-bidang khusus: teologi, kosmologi dan psikologi. Pemilahan Wollf tersebut didasarkan pada dapat tidaknya dicerap melalui perangkat inderawi suatu obyek filsafat pertama. Metafisika umum (untuk seterusnya digunakan istilah ontologi) mengkaji realitas sejauh dapat diserap melalui indera sedang metafisika khusus (metafisika) mengkaji realitas yang tidak dapat diserap indera, apakah itu realitas ketuhanan (teologi), semesta sebagai keseluruhan (kosmologi) maupun kejiwaan (psikologi). Kedua disiplin filsafat pada dasarnya tidak sepenuhnya terpisah satu sama lain karena menurut Wollf sendiri pembahasan metafisika tentang realitas supra inderawi, terkait dengan pembahasan ontologi tentang prinsip-prinsip umum yang menata realitas inderawi. Terlepas dari perbedaan mengenai istilah metafisika dan keengganan orang akan metafisika, kedudukan metafisika dalam dunia filsafat sangat kuat. Pertama, metafisika sudah merupakan sebuah cabang ilmu tersendiri dalam pergulatan filosofis. Kedua, seperti yang dikatakan Heideggaer, setiap telaah filosofis terdapat unsur metafisik.
Metafisika, berbeda dengan kajian-kajian tentang wujud partikular yang ada pada alam semesta. biologi mempelajari wujud dari organisme bernyawa, geologi mempelajari wujud bumi, astronomi mempelajari wujud bintang-bintang, fisika mempelajari wujud perubahan pergerakan dan perkembangan alam. Tetapi metafisika mempelajari sifat-sifat yang dimiliki bersama oleh semua wujud ini.
Kajian tentang metafisika dapat dikatakan sebagai suatu usaha sistematis, refleksi dalam mencari hal yang berada di belakang fisik dan partikular. Itu berarti usaha mencari prinsip dasar yang mencakup semua hal dan bersifat universal, seperti istilahnya C.E.M joad, dalam bukunya A Critique of logical positivism, yang dikutip oleh Harold Titus dkk. Sebagai “penyelidikan tentang Tuhan”, bisa juga dikatakan sebagai “penyelidikan tentang dunia ilahi yang transenden”.
Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Metaphysica mengemukakan beberapa gagasannya tentang metafisika antara lain:
a. Metafisika sebagai kebijaksanaan (sophia), ilmu pengetahuan yang mencari pronsip-prinsip fundamental dan penyebab-penyebab pertama.
b. Metafisika sebagai ilmu yang bertugas mempelajari yang ada sebagai yang ada (being qua being) yaitu keseluruhan kenyataan.
c. Metafisika sebagai ilmu tertinggi yang mempunyai obyek paling luhur dan sempurna dan menjadi landasan bagi seluruh adaan, yang mana ilmu ini sering disebut dengan theologia.
Dari ketiga keterangan Aristoteles tentang metafisika tersebut, sebenarnya terdapat dua obyek yang menjadi metafisis Aristoteles yaitu, (a) yang ada sebagai yang ada being qua being dan (b) yang Ilahi. Namun demikian Aristoteles sendiri tidak menjadikan dua obyek kajian sebagai obyek bagi dua disiplin ilmu yang berbeda. Seorang filosof Jerman bernama Christian Wolff cenderung meyakini bahwa pembicaraan tentang yang ada sebagai yang ada dan yang Ilahi harus dipisahkan dan tidak dapat dibicarakan bersama-sama. Oleh karenanya, Wolff memilah filsafat pertama Aristoteles menjadi metaphysica generalis (metafisika umum) atau juga sering disebut ontologi dan methapysica specialis (metafisika khusus).
Metafisika umum membahas mengenai yang ada sebagai yang ada, artinya prinsip-prinsip umum yang menata realitas, sedang metafisika khusus membahas penerapan prinsip-prinsip umum ke dalam bidang-bidang khusus: teologi, kosmologi dan psikologi. Pemilahan Wollf tersebut didasarkan pada dapat tidaknya dicerap melalui perangkat inderawi suatu obyek filsafat pertama. Metafisika umum (untuk seterusnya digunakan istilah ontologi) mengkaji realitas sejauh dapat diserap melalui indera sedang metafisika khusus (metafisika) mengkaji realitas yang tidak dapat diserap indera, apakah itu realitas ketuhanan (teologi), semesta sebagai keseluruhan (kosmologi) maupun kejiwaan (psikologi). Kedua disiplin filsafat pada dasarnya tidak sepenuhnya terpisah satu sama lain karena menurut Wollf sendiri pembahasan metafisika tentang realitas supra inderawi, terkait dengan pembahasan ontologi tentang prinsip-prinsip umum yang menata realitas inderawi. Terlepas dari perbedaan mengenai istilah metafisika dan keengganan orang akan metafisika, kedudukan metafisika dalam dunia filsafat sangat kuat. Pertama, metafisika sudah merupakan sebuah cabang ilmu tersendiri dalam pergulatan filosofis. Kedua, seperti yang dikatakan Heideggaer, setiap telaah filosofis terdapat unsur metafisik.
Metafisika, berbeda dengan kajian-kajian tentang wujud partikular yang ada pada alam semesta. biologi mempelajari wujud dari organisme bernyawa, geologi mempelajari wujud bumi, astronomi mempelajari wujud bintang-bintang, fisika mempelajari wujud perubahan pergerakan dan perkembangan alam. Tetapi metafisika mempelajari sifat-sifat yang dimiliki bersama oleh semua wujud ini.
Kajian tentang metafisika dapat dikatakan sebagai suatu usaha sistematis, refleksi dalam mencari hal yang berada di belakang fisik dan partikular. Itu berarti usaha mencari prinsip dasar yang mencakup semua hal dan bersifat universal, seperti istilahnya C.E.M joad, dalam bukunya A Critique of logical positivism, yang dikutip oleh Harold Titus dkk. Sebagai “penyelidikan tentang Tuhan”, bisa juga dikatakan sebagai “penyelidikan tentang dunia ilahi yang transenden”.