Problem Posing
Pengajuan soal (problem posing) mempunyai beberapa arti. Menurut Sutiarso (1999:16) menyatakan bahwa problem posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris, sebagai padanan katanya digunakan istilah merumuskan masalah (soal) atau membuat masalah (soal)”. Jadi dari pendapat tersebut dapat diartikan sebagai masalah. Menurut Webster Dictionary (dalam Sutiarso, 1999:17) masalah adalah “sesuatu pekerjaan yang perlu dilakukan atau segala sesuatu yang memerlukan pekerjaan”. Sedangkan Polya (dalam Sutiarso, 1999:17) mengatakan bahwa “sebuah soal dikatakan sebagai sebuah masalah jika soal tersebut merupakan soal yang sulit dan penuh tantangan”.
Menurut Silver (dalam Sutiarso, 1999:17) bahwa:
“Dalam pustaka pendidikan matematika, problem posing mempunyai tiga pengertian. Pertama, problem posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dipahami dalam memecahkan soal yang rumit. Arti kedua yaitu problem posing adalah perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah dipecahkan, dalam rangka mencari alternatif pemecahan. Arti ketiga, problem posing adalah merumuskan atau membuat soal dari situasi yang diberikan.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa problem posing adalah perumusan masalah (soal) yaitu siswa diarahkan untuk membuat soalnya sendiri. Hal ini dilakukan untuk melatih siswa agar dapat berpikir kreatif dan mereka juga memikirkan cara yang tepat untuk menyelesaikan soal mereka buat tersebut.
Nyoman Gita mengatakan bahwa istilah pengajuan masalah merupakan istilah problem posing dan dimaksudkan perumusan soal oleh siswa dari situasi yang tersedia baik dilakukan sebelum, ketika ataupun setelah pemecahan masalah tersebut. Nyoman juga mengutip pendapat Sutawijaya yang mengatakan bahwa merumuskan kembali masalah matematika merupakan cara untuk memperoleh kemajuan dalam pemecahan masalah (Gita, 1999:23).
Silver dan Cai (dalam Sutiarso, 1999:23) memberikan istilah pengajuan soal (problem posing) diaplikasikan pada tiga bentuk aktivitas kognitif matematika yang berbeda. Istilah tersebut adalah sebagai berikut.
a. Pengajuan pre-solusi atau pre-solution posing yaitu seorang siswa membuat soal dari situasi yang diadakan.
b. Pengajuan didalam solusi (within-solution posing), yaitu seorang siswa merumuskan ulang soal seperti yang telah diselesaikan.
c. Pengajuan setelah solusi (post-solution posing), yaitu seorang siswa memodifikasi tujuan atau kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk membuat soal yang baru.
Menurut Sutiarso (1999:16) problem posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris, sebagai padanan katanya digunakan istilah “merumuskan masalah (soal) atau membuat masalah (soal)”, selain itu ada juga yang mengartikan pembentukan soal.
2. Problem Posing dalam Pembelajaran Fisika
Dalam pembelajaran fisika, pengajuan soal atau perumusan soal menempati posisi yang strategis seperti halnya pada mata pelajaran matematika. Pengajuan soal ini dikatakan sebagai inti terpenting dalam disiplin matematika dan dalam sifat pemikiran penalaran matematika.
Dalam pembelajaran fisika di SLTP dan di SMU, tujuan khusus pengajarannya adalah agar siswa dapat mempunyai pandangan yang cukup luas dan memiliki sikap yang logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin serta menghargai kegunaan fisika. Sedang dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dijelaskan guru hendaknya memilih strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar baik secara mental, fisik maupun sosial. Dalam mengaktifkan siswa, hendaknya guru memberikan soal yang mengarah pada jawaban divergen (terbuka, lebih dari satu jawaban) dan pertanyaan yang bersifat penyelidikan (Kurikulum Sekolah Menengah Umum, 1995:2).
Dalam pembelajaran fisika, pengajuan soal merupakan tugas kegiatan yang mengarah pada sikap kritis dan kreatif, sebab siswa diminta untuk membuat pertanyaan dari informasi yang diberikan (Nasoetion, 1991:28). Menurut Posamentier dan Patahuddin (dalam Najoan, 1999:20), menulis pertanyaan-pertanyaan dari informasi yang ada dapat menyebabkan ingatan siswa jauh lebih baik sehingga dapat memantapkan kemampuan siswa dalam belajar fisika. Selain itu, dalam pengajuan soal juga melibatkan aktivitas mental siswa. Siswa mencoba dan menyelidiki rumusan suatu soal, kemudian membicarakan dan menyelesaikan suatu soal tersebut untuk dapat merumuskan soal baru yang baik dan dapat diselesaikan.
Sedangkan menurut Eggen dan Kauchak (dalam Najoan, 1999:32) yang menyatakan bahwa dengan melibatkan siswa dalam pengorganisasian dan penemuan informasi (pengetahuan) ketika pembelajaran akan menghasilkan peningkatan pengetahuan dan keterampilan berpikir siswa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengajuan soal (problem posing) oleh siswa berisi tentang 3 hal pokok. Ketiga hal pokok itu adalah sebagai berikut.
a. Perumusan soal oleh siswa setelah latihan soal yang diberikan guru adalah siswa membuat soal dari situasi/informasi yang diadakan.
Sebagai contoh dimisalkan guru memberikan sebuah soal “Tentukan persamaan simpangan gerak harmonik yang mempunyai persamaan y = 2 sin 2 !”. Untuk mengetahui bagaimana siswa menyelesaikan soal itu, apakah mereka menguasai soal tersebut dan bagaiman mereka merencanakan penyelesaian soal itu, maka diberikan tugas “buatlah soal di atas yang mengarah pada penyelesaian soal itu”. Maka kemungkinan soal yang dibuat oleh siswa adalah:
Berapakah frekuensi dari persamaan di atas?
Berapakah periodenya?
Berapakah amplitudonya?
b. Perumusan soal setelah diselesaikan.
Sebagai contoh, siswa diberikan soal “Berapakah besar simpangan dari soal yang telah kalian selesaikan?”. Apabila siswa telah dapat menyelesaikan soal ini, maka guru meminta siswa untuk mengajukan soal/pertanyaan lain yang sama tetapi dengan syarat yang berbeda. Beberapa soal mungkin dibuat oleh siswa adalah “Berapa besar simpangan jika waktunya berubah selama 2 sekon?
c. Perumusan soal atau pembentukan soal dari situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika atau sesudah pemecahan suatu soal/masalah untuk memunculkan pertanyaan yang baru dengan memodifikasi sendiri oleh siswa.
Berkaitan dengan perumusan soal, bahwa soal dapat dibentuk melalui soal-soal yang ada di buku teks/pelajaran, informasi tertulis dan gambar.
Jika dikaitkan dengan jawaban problem posing yang dirumuskan siswa, Silver dan Cai (dalam Sutiarso, 1999:24) mengkategorikan soal yang dirumuskan siswa menjadi tiga bagian yaitu pertanyaan matematika, pertanyaan non matematika dan pernyataan. Pertanyaan matematika adalah pertanyaan yang mengandung masalah matematis dan mempunyai kaitan dengan informasi yang ada pada situasi tersebut. Pertanyaan matematis ini terbagi dalam dua hal, yaitu pertanyaan matematis yang dapat diselesaikan dan pertanyaan matematis yang tidak dapat diselesaikan.
Pertanyaan matematis yang dapat diselesaikan adalah jika pertanyaan tersebut memuat informasi yang cukup dari situasi yang ada untuk diselesaikan, dan pertanyaan matematis yang tidak dapat diselesaikan adalah jika pertanyaan tersebut tidak memiliki informasi yang cukup dari situasi yang ada untuk diselesaikan atau jika pertanyaan tersebut memiliki tujuan yang tidak sesuai dengan informasi yang ada. Pertanyaan non matematis adalah pertanyaan yang tidak mengandung masalah matematika dan tidak mempunyai kaitan dengan informasi yang ada, tetapi masih relevan dengan materi yang disampaikan guru. Pernyataan adalah bentuk kalimat yang bersifat ungkapan/berita yang tidak memuat pertanyaan.
3. Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran dengan Pendekatan Problem Posing
Pembelajaran melalui pendekatan problem posing mempunyai beberapa kelebihan dan kelemahan (Rahayuningsih, 2002:18), diantaranya adalah:
a. Kelebihan Problem Posing
1) Kegiatan pembelajaran tidak terpusat pada guru, tetapi dituntut keaktifan siswa.
2) Minat siswa dalam pembelajaran fisika lebih besar dan siswa lebih mudah memahami soal karena dibuat sendiri.
3) Semua siswa terpacu untuk terlibat secara aktif dalam membuat soal.
4) Dengan membuat soal dapat menimbulkan dampak terhadap kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah.
5) Dapat membantu siswa untuk melihat permasalahan yang ada dan yang baru diterima sehingga diharapkan mendapatkan pemahaman yang mendalam dan lebih baik, merangsang siswa untuk memunculkan ide yang kreatif dari yang diperolehnya dan memperluan bahasan/ pengetahuan, siswa dapat memahami soal sebagai latihan untuk memecahkan masalah.
b. Kekurangan Problem Posing
1) Persiapan guru lebih karena menyiapkan informasi apa yang dapat disampaikan
2) Waktu yang digunakan lebih banyak untuk membuat soal dan penyelesaiannya sehingga materi yang disampaikan lebih sedikit.
4. Problem Posing Berbasis Aktivitas
Problem posing berbasis aktivitas didefinisikan sebagai tugas perumusan soal yang harus dilakukan oleh siswa (pribadi ataupun kelompok) yang berfokus pada aktivitas siswa yang merupakan strategi pembelajaran dengan paradigma konstruktivis.
Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa pembelajaran yangmenekankan proses pembentukan pengetahuan oleh siswa sendiri dinamakan pembelajaran konstruktivisme. Dalam konteks belajar seperti ini, aktivitas siswa menjadi syarat mutlak agar siswa mengalami perkembangan pemikirannya.
Menurut Suparno (1997:65), sebagai implikasi dari diri-ciri pembelajaran dalam pandangan konstruktivis terhadap pembelajaran fisika, maka lingkungan belajar perlu diupayakan sebagai berikut.
(a) Menyediakan pengalaman belajar dengan mengaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.
(b) Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak perlu semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.
(c) Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerjasama seseorang dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antar siswa serta kerjasama antara siswa dengan guru.
(d) Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga fisika menjadi lebih menarik dan siswa mau belajar.
Dengan mengacu pada strategi konstruktivis guru dapat menerapkan prinsip problem posing dalam pembelajannya. Menurut Aurbach (dalam Sarah Nixon-Ponder, 1992) menyederhanakan lima langkah pembelajaran dengan problem posing yaitu:
1) Menguraikan isi
Dalam hal ini guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok diskusi untuk memperbincangkan apa-apa yang telah siswa amati dan apa-apa yang telah siwa alami. Dalam bagian ini diahapkan agar terjadi saling bercerita tentang apa yang mereka lihat dan mereka alami dalam suasana santai, akrab dan nyaman tetapi masih dalam batas ilmiah.
Setelah terbentuk suasana seperti di atas maka guru dapat meminta siswa untuk menuliskan apa yang mereka lihat sebagai sebuah situasi. Dari situasi tersebut guru dapat memulai membuat pertanyaan, misalnya “apa yang kamu lihat dari gambar ini? (situasi berupa gambar atau foto), pertanyaan lain misalnya “ menceritakan tentang apa dialog itu? (situasi berupa cerita, artikel, berita).
Sebagai contoh pembelajaran problem posing dalam pokok bahasan getaran dan gelombang.
Kelompok I : Ayunan yang didorong akan bergerak bolak-balik
Kelompok II : Permukaan air yang tenang jika diberi usikan akan menimbulkan riak-riak kecil berbentuk lingkaran.
Dan seterusnya kelompok lain.
2) Menegaskan masalah
Dalam hal ini siswa diminta untuk mengidentifikasi masalah dari situasi yang diadakan. Siswa dapat mengidentifikasi lebih dari satu masalah, siswa dapat mengidentifikasikan menjadi dua masalah atau lebih tetapi tidak boleh saling terpisah maksudnya yaitu masing-masing masalah harus terkait dengan situasi yang diadakan.
Kelompok I : Dinamakan apakah gerakan bolak-balik itu?
Benda apa lagi yang bergerak bolak-balik?
Dan sebagainya.
Kelompok II : Mengapa air akan menghasilkan riak-riak kecil jika diberi usikan?
Disebut apakah usikan itu?
Dan sebagainya.
3) Menampilkan permasalahan individu
Setiap siswa diminta untuk menulis ide masing-masing dengan selengkap-lengkapnya atas dasar masalah yang dikemukakan oleh masing-masing kelompok tersebut. Kemudian siswa memikirkan, memahami, menganalisis dan mendiskusikan serta saling bertukar pendapat dengan siswa lainnya. Dalam hal ini guru hanya bertindak sebagai fasilitator.
4) Membahas masalah
Dari setiap masalah yang diajukan oleh siswa kemudian didiskusikan di depan kelas, dalam hal ini guru hanya bertindak sebagai fasilitator yang membimbing jalannya diskusi, guru menggaris bawahi pernyataan khusus yang menimbulkan persepsi yang bermacam-macam. Selama diskusi berlangsung, guru tidak berhak untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan siswa, siswa dibiarkan untuk mencari jawaban sendiri atas masalahnya. Hal ini akan merangsang keaktifan siswa dalam perumusan masalah dan dalam mencari penyelesaiannya.
5) Membahas alternatif permasalahan yang lain
Guru sebagai fasilitator membimbing siswa dalam mencari alternatif pemecahan masalah dan membahas akibat-akibat yang terjadi. Setelah diskusi, siswa akan lebih terlatih dalam mencari jawaban atas setiap masalah yang ada serta lebih mudah untuk mencari penyelesaian atas masalah-masalah lainnya.
Problem posing mengutamakan lebih banyak keaktifan siswa, secara garis besar guru hanya bertugas untuk:
(a) Menggalakkan siswa untuk mengolaborasikan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban mereka.
(b) Menggalakkan siswa untuk menyampaikan pendapat tentang sebab-sebab suatu peristiwa atau situasi.
(c) Menggalakkan siswa untuk melakukan hipotesis, mengamati dan mendiskusikan terhadap suatu peristiwa/situasi.
Guru menggaris bawahi pernyataan khusus yang menimbulkan persepsi bermacam-macam, kemudian siswa mendiskusikan lagi untuk mencapai persamaan persepsi yang benar. Kesimpulan dari hasil diskusi diharapkan adalah:
Gerak bolak-balik suatu benda secara periodik melalui titik kesetimbangan disebut dengan getaran.
Gelombang adalah getaran/usikan yang merambat melalui suatu medium.
Menurut Silver (dalam Sutiarso, 1999:17) bahwa:
“Dalam pustaka pendidikan matematika, problem posing mempunyai tiga pengertian. Pertama, problem posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dipahami dalam memecahkan soal yang rumit. Arti kedua yaitu problem posing adalah perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah dipecahkan, dalam rangka mencari alternatif pemecahan. Arti ketiga, problem posing adalah merumuskan atau membuat soal dari situasi yang diberikan.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa problem posing adalah perumusan masalah (soal) yaitu siswa diarahkan untuk membuat soalnya sendiri. Hal ini dilakukan untuk melatih siswa agar dapat berpikir kreatif dan mereka juga memikirkan cara yang tepat untuk menyelesaikan soal mereka buat tersebut.
Nyoman Gita mengatakan bahwa istilah pengajuan masalah merupakan istilah problem posing dan dimaksudkan perumusan soal oleh siswa dari situasi yang tersedia baik dilakukan sebelum, ketika ataupun setelah pemecahan masalah tersebut. Nyoman juga mengutip pendapat Sutawijaya yang mengatakan bahwa merumuskan kembali masalah matematika merupakan cara untuk memperoleh kemajuan dalam pemecahan masalah (Gita, 1999:23).
Silver dan Cai (dalam Sutiarso, 1999:23) memberikan istilah pengajuan soal (problem posing) diaplikasikan pada tiga bentuk aktivitas kognitif matematika yang berbeda. Istilah tersebut adalah sebagai berikut.
a. Pengajuan pre-solusi atau pre-solution posing yaitu seorang siswa membuat soal dari situasi yang diadakan.
b. Pengajuan didalam solusi (within-solution posing), yaitu seorang siswa merumuskan ulang soal seperti yang telah diselesaikan.
c. Pengajuan setelah solusi (post-solution posing), yaitu seorang siswa memodifikasi tujuan atau kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk membuat soal yang baru.
Menurut Sutiarso (1999:16) problem posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris, sebagai padanan katanya digunakan istilah “merumuskan masalah (soal) atau membuat masalah (soal)”, selain itu ada juga yang mengartikan pembentukan soal.
2. Problem Posing dalam Pembelajaran Fisika
Dalam pembelajaran fisika, pengajuan soal atau perumusan soal menempati posisi yang strategis seperti halnya pada mata pelajaran matematika. Pengajuan soal ini dikatakan sebagai inti terpenting dalam disiplin matematika dan dalam sifat pemikiran penalaran matematika.
Dalam pembelajaran fisika di SLTP dan di SMU, tujuan khusus pengajarannya adalah agar siswa dapat mempunyai pandangan yang cukup luas dan memiliki sikap yang logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin serta menghargai kegunaan fisika. Sedang dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dijelaskan guru hendaknya memilih strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar baik secara mental, fisik maupun sosial. Dalam mengaktifkan siswa, hendaknya guru memberikan soal yang mengarah pada jawaban divergen (terbuka, lebih dari satu jawaban) dan pertanyaan yang bersifat penyelidikan (Kurikulum Sekolah Menengah Umum, 1995:2).
Dalam pembelajaran fisika, pengajuan soal merupakan tugas kegiatan yang mengarah pada sikap kritis dan kreatif, sebab siswa diminta untuk membuat pertanyaan dari informasi yang diberikan (Nasoetion, 1991:28). Menurut Posamentier dan Patahuddin (dalam Najoan, 1999:20), menulis pertanyaan-pertanyaan dari informasi yang ada dapat menyebabkan ingatan siswa jauh lebih baik sehingga dapat memantapkan kemampuan siswa dalam belajar fisika. Selain itu, dalam pengajuan soal juga melibatkan aktivitas mental siswa. Siswa mencoba dan menyelidiki rumusan suatu soal, kemudian membicarakan dan menyelesaikan suatu soal tersebut untuk dapat merumuskan soal baru yang baik dan dapat diselesaikan.
Sedangkan menurut Eggen dan Kauchak (dalam Najoan, 1999:32) yang menyatakan bahwa dengan melibatkan siswa dalam pengorganisasian dan penemuan informasi (pengetahuan) ketika pembelajaran akan menghasilkan peningkatan pengetahuan dan keterampilan berpikir siswa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengajuan soal (problem posing) oleh siswa berisi tentang 3 hal pokok. Ketiga hal pokok itu adalah sebagai berikut.
a. Perumusan soal oleh siswa setelah latihan soal yang diberikan guru adalah siswa membuat soal dari situasi/informasi yang diadakan.
Sebagai contoh dimisalkan guru memberikan sebuah soal “Tentukan persamaan simpangan gerak harmonik yang mempunyai persamaan y = 2 sin 2 !”. Untuk mengetahui bagaimana siswa menyelesaikan soal itu, apakah mereka menguasai soal tersebut dan bagaiman mereka merencanakan penyelesaian soal itu, maka diberikan tugas “buatlah soal di atas yang mengarah pada penyelesaian soal itu”. Maka kemungkinan soal yang dibuat oleh siswa adalah:
Berapakah frekuensi dari persamaan di atas?
Berapakah periodenya?
Berapakah amplitudonya?
b. Perumusan soal setelah diselesaikan.
Sebagai contoh, siswa diberikan soal “Berapakah besar simpangan dari soal yang telah kalian selesaikan?”. Apabila siswa telah dapat menyelesaikan soal ini, maka guru meminta siswa untuk mengajukan soal/pertanyaan lain yang sama tetapi dengan syarat yang berbeda. Beberapa soal mungkin dibuat oleh siswa adalah “Berapa besar simpangan jika waktunya berubah selama 2 sekon?
c. Perumusan soal atau pembentukan soal dari situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika atau sesudah pemecahan suatu soal/masalah untuk memunculkan pertanyaan yang baru dengan memodifikasi sendiri oleh siswa.
Berkaitan dengan perumusan soal, bahwa soal dapat dibentuk melalui soal-soal yang ada di buku teks/pelajaran, informasi tertulis dan gambar.
Jika dikaitkan dengan jawaban problem posing yang dirumuskan siswa, Silver dan Cai (dalam Sutiarso, 1999:24) mengkategorikan soal yang dirumuskan siswa menjadi tiga bagian yaitu pertanyaan matematika, pertanyaan non matematika dan pernyataan. Pertanyaan matematika adalah pertanyaan yang mengandung masalah matematis dan mempunyai kaitan dengan informasi yang ada pada situasi tersebut. Pertanyaan matematis ini terbagi dalam dua hal, yaitu pertanyaan matematis yang dapat diselesaikan dan pertanyaan matematis yang tidak dapat diselesaikan.
Pertanyaan matematis yang dapat diselesaikan adalah jika pertanyaan tersebut memuat informasi yang cukup dari situasi yang ada untuk diselesaikan, dan pertanyaan matematis yang tidak dapat diselesaikan adalah jika pertanyaan tersebut tidak memiliki informasi yang cukup dari situasi yang ada untuk diselesaikan atau jika pertanyaan tersebut memiliki tujuan yang tidak sesuai dengan informasi yang ada. Pertanyaan non matematis adalah pertanyaan yang tidak mengandung masalah matematika dan tidak mempunyai kaitan dengan informasi yang ada, tetapi masih relevan dengan materi yang disampaikan guru. Pernyataan adalah bentuk kalimat yang bersifat ungkapan/berita yang tidak memuat pertanyaan.
3. Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran dengan Pendekatan Problem Posing
Pembelajaran melalui pendekatan problem posing mempunyai beberapa kelebihan dan kelemahan (Rahayuningsih, 2002:18), diantaranya adalah:
a. Kelebihan Problem Posing
1) Kegiatan pembelajaran tidak terpusat pada guru, tetapi dituntut keaktifan siswa.
2) Minat siswa dalam pembelajaran fisika lebih besar dan siswa lebih mudah memahami soal karena dibuat sendiri.
3) Semua siswa terpacu untuk terlibat secara aktif dalam membuat soal.
4) Dengan membuat soal dapat menimbulkan dampak terhadap kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah.
5) Dapat membantu siswa untuk melihat permasalahan yang ada dan yang baru diterima sehingga diharapkan mendapatkan pemahaman yang mendalam dan lebih baik, merangsang siswa untuk memunculkan ide yang kreatif dari yang diperolehnya dan memperluan bahasan/ pengetahuan, siswa dapat memahami soal sebagai latihan untuk memecahkan masalah.
b. Kekurangan Problem Posing
1) Persiapan guru lebih karena menyiapkan informasi apa yang dapat disampaikan
2) Waktu yang digunakan lebih banyak untuk membuat soal dan penyelesaiannya sehingga materi yang disampaikan lebih sedikit.
4. Problem Posing Berbasis Aktivitas
Problem posing berbasis aktivitas didefinisikan sebagai tugas perumusan soal yang harus dilakukan oleh siswa (pribadi ataupun kelompok) yang berfokus pada aktivitas siswa yang merupakan strategi pembelajaran dengan paradigma konstruktivis.
Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa pembelajaran yangmenekankan proses pembentukan pengetahuan oleh siswa sendiri dinamakan pembelajaran konstruktivisme. Dalam konteks belajar seperti ini, aktivitas siswa menjadi syarat mutlak agar siswa mengalami perkembangan pemikirannya.
Menurut Suparno (1997:65), sebagai implikasi dari diri-ciri pembelajaran dalam pandangan konstruktivis terhadap pembelajaran fisika, maka lingkungan belajar perlu diupayakan sebagai berikut.
(a) Menyediakan pengalaman belajar dengan mengaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.
(b) Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak perlu semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.
(c) Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerjasama seseorang dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antar siswa serta kerjasama antara siswa dengan guru.
(d) Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga fisika menjadi lebih menarik dan siswa mau belajar.
Dengan mengacu pada strategi konstruktivis guru dapat menerapkan prinsip problem posing dalam pembelajannya. Menurut Aurbach (dalam Sarah Nixon-Ponder, 1992) menyederhanakan lima langkah pembelajaran dengan problem posing yaitu:
1) Menguraikan isi
Dalam hal ini guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok diskusi untuk memperbincangkan apa-apa yang telah siswa amati dan apa-apa yang telah siwa alami. Dalam bagian ini diahapkan agar terjadi saling bercerita tentang apa yang mereka lihat dan mereka alami dalam suasana santai, akrab dan nyaman tetapi masih dalam batas ilmiah.
Setelah terbentuk suasana seperti di atas maka guru dapat meminta siswa untuk menuliskan apa yang mereka lihat sebagai sebuah situasi. Dari situasi tersebut guru dapat memulai membuat pertanyaan, misalnya “apa yang kamu lihat dari gambar ini? (situasi berupa gambar atau foto), pertanyaan lain misalnya “ menceritakan tentang apa dialog itu? (situasi berupa cerita, artikel, berita).
Sebagai contoh pembelajaran problem posing dalam pokok bahasan getaran dan gelombang.
Kelompok I : Ayunan yang didorong akan bergerak bolak-balik
Kelompok II : Permukaan air yang tenang jika diberi usikan akan menimbulkan riak-riak kecil berbentuk lingkaran.
Dan seterusnya kelompok lain.
2) Menegaskan masalah
Dalam hal ini siswa diminta untuk mengidentifikasi masalah dari situasi yang diadakan. Siswa dapat mengidentifikasi lebih dari satu masalah, siswa dapat mengidentifikasikan menjadi dua masalah atau lebih tetapi tidak boleh saling terpisah maksudnya yaitu masing-masing masalah harus terkait dengan situasi yang diadakan.
Kelompok I : Dinamakan apakah gerakan bolak-balik itu?
Benda apa lagi yang bergerak bolak-balik?
Dan sebagainya.
Kelompok II : Mengapa air akan menghasilkan riak-riak kecil jika diberi usikan?
Disebut apakah usikan itu?
Dan sebagainya.
3) Menampilkan permasalahan individu
Setiap siswa diminta untuk menulis ide masing-masing dengan selengkap-lengkapnya atas dasar masalah yang dikemukakan oleh masing-masing kelompok tersebut. Kemudian siswa memikirkan, memahami, menganalisis dan mendiskusikan serta saling bertukar pendapat dengan siswa lainnya. Dalam hal ini guru hanya bertindak sebagai fasilitator.
4) Membahas masalah
Dari setiap masalah yang diajukan oleh siswa kemudian didiskusikan di depan kelas, dalam hal ini guru hanya bertindak sebagai fasilitator yang membimbing jalannya diskusi, guru menggaris bawahi pernyataan khusus yang menimbulkan persepsi yang bermacam-macam. Selama diskusi berlangsung, guru tidak berhak untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan siswa, siswa dibiarkan untuk mencari jawaban sendiri atas masalahnya. Hal ini akan merangsang keaktifan siswa dalam perumusan masalah dan dalam mencari penyelesaiannya.
5) Membahas alternatif permasalahan yang lain
Guru sebagai fasilitator membimbing siswa dalam mencari alternatif pemecahan masalah dan membahas akibat-akibat yang terjadi. Setelah diskusi, siswa akan lebih terlatih dalam mencari jawaban atas setiap masalah yang ada serta lebih mudah untuk mencari penyelesaian atas masalah-masalah lainnya.
Problem posing mengutamakan lebih banyak keaktifan siswa, secara garis besar guru hanya bertugas untuk:
(a) Menggalakkan siswa untuk mengolaborasikan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban mereka.
(b) Menggalakkan siswa untuk menyampaikan pendapat tentang sebab-sebab suatu peristiwa atau situasi.
(c) Menggalakkan siswa untuk melakukan hipotesis, mengamati dan mendiskusikan terhadap suatu peristiwa/situasi.
Guru menggaris bawahi pernyataan khusus yang menimbulkan persepsi bermacam-macam, kemudian siswa mendiskusikan lagi untuk mencapai persamaan persepsi yang benar. Kesimpulan dari hasil diskusi diharapkan adalah:
Gerak bolak-balik suatu benda secara periodik melalui titik kesetimbangan disebut dengan getaran.
Gelombang adalah getaran/usikan yang merambat melalui suatu medium.