Proses Mikrobiologi
Pada dekomposisi anaerob atas limbah, beberapa organisme anaerobik bekerja bersama untuk mengkonversi bahan organik dalam limbah dan menjadikannya hasil akhir yang stabil. Kelompok mikroorganisme pertama sangat peka pada polimer hidrolyzing organic dan lipid untuk blok bangunan dasar yang terstruktur seperti asam lemak, monosakarida, asam amino dan senyawa-senyawa lain yang terkait.
Bakteri anaerobik kelompok kedua memfermentasikan produk yang teruraikan oleh kelompok mikroorganisme pertama menjadi asam organik yang lebih sederhana, yang paling sering adalah asam asetat. Kelompok mikroorganisme kedua ini dikenal sebagai mikroorganisme non metanogenik, terdiri atas bakteri anaerobik fakultatif dan obligat yang sering diidentifikasikan di beberapa literatur sebagai acidogen atau pembentuk asam.
Kelompok mikroorganisme ketiga mengubah hidrogen dan asam asetat yang dibentuk oleh acidogen menjadi gas metan dan karbondioksida. Kelompok bakteri ini yang memerlukan kondisi anaerob maksimal disebut bakteri metanogenik dan teridentifikasi di beberapa literatur sebagai metanogen atau pembentuk metan (Koottatep, dkk., tanpa tahun).
Sistem untuk menghasilkan metana dengan cara yang paling efisien dan kompleks dalam alam terdapat pada saluran cerna hewan pemamah biak. Sistem yang anaerob ini tidak pernah berhasil direproduksi sepenuhnya di luar tubuh sapi dan dikenal sebagai suatu interaksi yang kompleks antara bakteri, protozoa dan jamur dalam jumlah yang besar. Semua program bioreaktor yang dipelajari secara intensif dan bertujuan untuk menciptakan metanogenesis di bawah kondisi yang terkendali memperlihatkan bahwa keluaran gas yang tinggi memerlukan pemantauan laboratorium yang cermat dan pengendalian variabel lingkungan yang sangat akurat seperti suhu, pH, kadar kelembaban, guncangan dan keseimbangan serta masukan bahan mentah. Sampai saat ini, beberapa aplikasi metanogenesis yang paling praktis telah dilakukan dengan tingkatan teknologi yang sangat rendah (Smith, 1995).
Pada lambung hewan ruminansia dapat ditemui beberapa jenis bakteri metanogenik, di antaranya adalah methanobacterium ruminantium dan methanobacterium mobilis. Bakteri ini merubah H2 menjadi metana (Arora, 1989).
2.2 Proses Konversi
Pada hakikatnya energi yang terkandung pada bahan/limbah organik adalah energi matahari yang diikat oleh tanaman melalui proses fotosintesis. Pada proses ini energi matahari dikonversi menjadi energi kimia yang didapatkan dalam bentuk karbohidrat (C6H12O6)n. Pemanfaatan kembali menjadi energi, baik secara langsung maupun tidak langsung pada dasarnya adalah mengambil kembali energi radiasi matahari yang terikat pada biomassa (limbah pertanian dan peternakan). Bila proses pemanfaatan limbah sebagai energi melalui teknologi bio gas maka prosesnya adalah sebagai berikut:
C6H12O6 + mikroorganisme CH4 + CO2
Apabila energi ini dimanfaatkan, maka proses yang terjadi adalah:
CH4 + 2O2 CO2 + H2O + energi
(Judoamidjojo, dkk., 1992).
2.3 Bio Gas
Bio gas adalah hasil fermentasi secara anaerobik. Fermentasi anaerobik merupakan proses perombakan suatu bahan menjadi bahan lain dengan bantuan mikroorganisme tertentu dalam keadaan tidak berhubungan langsung dengan udara bebas (anaerob) (Judoamidjojo, dkk., 1992).
Menurut Koottatep, dkk. (tanpa tahun), bio gas mengandung CH4 (50-70%), CO2 (30-50%) dan beberapa jenis gas lain seperti H2, O2, H2S dan N2. Untuk menjamin produksi bio gas yang optimal, ketiga kelompok mikroorganisme harus bekerja bersama. Apabila terlalu banyak bio massa, kelompok organisme pertama dan kedua akan memproduksi asam organik dalam jumlah besar pula, hal ini akan menurunkan pH di dalam reaktor dan berpengaruh buruk bagi kelompok mikroorganisme ketiga yang mengakibatkan hanya sedikit gas bahkan tidak ada gas yang dihasilkan. Sebaliknya apabila terlalu sedikit bio massa yang ada, maka tingkat penguraian oleh mikroorganisme sangat rendah dan produksi bio gas akan menurun sangat signifikan.
Bio gas mempunyai sifat mudah terbakar, panas pembakarannya berkisar antara 19,7 sampai 23 MJ/m3, energi yang dapat dihasilkan rata-rata setaraf dengan 21,5 MJ atau 563 Btu/ft3, kerapatan relatifnya 80 persen kerapatan udara dan 120 persen kerapatan metan. Titik kritis bio gas ini Agak sulit ditentukan, namun sebagai pendekatan digunakan titik kritis metan yaitu 82oC dan tekanan 45,8 atm. Pada temperatur dan tekanan tersebut metan akan mencair dengan terjadinya penyusutan volume sampai 1/600 kali. Beberapa sifat fisik dan kimia gas metan dapat dilihat pada Tabel 2.2 (Prescot dan Dunn, 1959).
2.4 Faktor Lingkungan
Proses fermentasi anaerob dapat berlangsung dengan optimal apabila populasi ketiga kelompok bakteri dalam keadaan seimbang. Bakteri-bakteri ini sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Temperatur adalah salah satu faktor lingkungan yang utama, telah diketahui bahwa temperatur lingkungan ideal untuk fermentasi anaerobik berkisar pada 35oC. Apabila temperatur berada jauh di bawah 35oC, maka aktivitas bakteri akan menurun demikian pula produksi bio gas. Sebaliknya bila temperatur lingkungan berada jauh di atas 35oC maka beberapa jenis bakteri akan mati sehingga produksi bio gas juga akan menurun.
Pengisolasian, pendauran panas, injeksi uap, pemanasan menggunakan elemen dsb. dilakukan dengan tujuan mengontrol temperatur di dalam digester. Pengaturan temperatur penting untuk diperhatikan pada saat merancang sebuah digester. Fermentasi anaerobik dapat juga terjadi pada temperatur ruang, namun segala metode yang telah dilakukan untuk menjaga temperatur digester pada kisaran 35oC terbukti dapat meningkatkan produksi bio gas (Gracelon dan Clark, tanpa tahun).
Proses fermentasi anaerob dapat ditemui pada rumen (lambung) seekor sapi sebagai reaktor bio gas alami. Seekor sapi dengan berat badan 400 Kg memiliki berat rumen sekitar 70 Kg, keadaan di dalam rumen adalah anaerob, memiliki temperatur 39oC dan pH 6 - 7 dapat menghasilkan 2 Kg gas metan per jam (Tillman, 1976).
Saat paling kritis terjadi ketika digester mulai bekerja. Saat digester diisi sludge, bakteri pembentuk asam segera menghasilkan asam. Populasi bakteri metanogenik mungkin tidak cukup untuk mengubah asam yang dihasilkan bakteri kelompok pertama dan kedua dan menetralkan pH. Apabila pH berada jauh di bawah 6,5, populasi bakteri metanogenik akan mati dan populasi ketiga kelompok bakteri menjadi tidak seimbang, kondisi di dalam digester menjadi asam dan tidak memproduksi bio gas.
Dalam rangka menumbuhkan bakteri metanogenik pada sludge, dapat dilakukan penambahan alkali untuk memberikan efek buffer. Sebagai contoh, pH dapat ditingkatkan pada kisaran 7,5 dengan menambahkan baking soda (sodium bikarbonat) (Gracelon dan Clark, tanpa tahun).
2.5 Reaktor Bio Gas
Bagian utama reaktor bio gas adalah sebuah ruang tertutup, terisolasi dari udara bebas yang dikenal sebagai digester, kondisi di dalam digester adalah anaerob. Ada dua jenis digester. Jenis pertama adalah sistem batch. Pada jenis ini digester diisi campuran biomassa dan air yang dikenal sebagai sludge kemudian digester akan memproduksi bio gas sampai makanan bagi bakteri metanogen habis. Jenis ini banyak digunakan pada digester pada skala laboratorium untuk menyelidiki produksi bio gas dengan berbagai perlakuan.
Digester jenis kedua menggunakan sistem continuous. Pada jenis ini digester diisi sludge secara teratur. Bio gas dihasilkan terkumpul di permukaan sludge dan menekan sludge sehingga keluar melalui lubang pengeluaran sejumlah volume bio gas yang terkumpul. Selanjutnya digester diisi sludge kembali sebesar volume sludge yang keluar, sehingga volume sludge di dalam digester konstan. Digester jenis ini biasa digunakan untuk skala industri untuk hasil yang berkelanjutan (Gracelon dan Clark, tanpa tahun).
Bio gas yang dihasilkan selama dekomposisi anaerobik dikumpulkan dalam sebuah penampung gas, selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak, penerangan, proses pendinginan maupun pemanasan dan untuk kepentingan pertanian lainnya seperti sumber energi untuk mesin pertanian.
Digester dengan suhu tinggi (30-35OC) akan memproduksi lebih banyak gas dibandingkan suhu yang lebih rendah, namun kebutuhan bahan baku harian semakin besar. Di samping itu siklus fermentasi akan lebih singkat. Tabel 2.3 menunjukkan perkiraan produksi gas per ton bahan baku untuk periode fermentasi dan temperatur yang berbeda.
Bakteri anaerobik kelompok kedua memfermentasikan produk yang teruraikan oleh kelompok mikroorganisme pertama menjadi asam organik yang lebih sederhana, yang paling sering adalah asam asetat. Kelompok mikroorganisme kedua ini dikenal sebagai mikroorganisme non metanogenik, terdiri atas bakteri anaerobik fakultatif dan obligat yang sering diidentifikasikan di beberapa literatur sebagai acidogen atau pembentuk asam.
Kelompok mikroorganisme ketiga mengubah hidrogen dan asam asetat yang dibentuk oleh acidogen menjadi gas metan dan karbondioksida. Kelompok bakteri ini yang memerlukan kondisi anaerob maksimal disebut bakteri metanogenik dan teridentifikasi di beberapa literatur sebagai metanogen atau pembentuk metan (Koottatep, dkk., tanpa tahun).
Sistem untuk menghasilkan metana dengan cara yang paling efisien dan kompleks dalam alam terdapat pada saluran cerna hewan pemamah biak. Sistem yang anaerob ini tidak pernah berhasil direproduksi sepenuhnya di luar tubuh sapi dan dikenal sebagai suatu interaksi yang kompleks antara bakteri, protozoa dan jamur dalam jumlah yang besar. Semua program bioreaktor yang dipelajari secara intensif dan bertujuan untuk menciptakan metanogenesis di bawah kondisi yang terkendali memperlihatkan bahwa keluaran gas yang tinggi memerlukan pemantauan laboratorium yang cermat dan pengendalian variabel lingkungan yang sangat akurat seperti suhu, pH, kadar kelembaban, guncangan dan keseimbangan serta masukan bahan mentah. Sampai saat ini, beberapa aplikasi metanogenesis yang paling praktis telah dilakukan dengan tingkatan teknologi yang sangat rendah (Smith, 1995).
Pada lambung hewan ruminansia dapat ditemui beberapa jenis bakteri metanogenik, di antaranya adalah methanobacterium ruminantium dan methanobacterium mobilis. Bakteri ini merubah H2 menjadi metana (Arora, 1989).
2.2 Proses Konversi
Pada hakikatnya energi yang terkandung pada bahan/limbah organik adalah energi matahari yang diikat oleh tanaman melalui proses fotosintesis. Pada proses ini energi matahari dikonversi menjadi energi kimia yang didapatkan dalam bentuk karbohidrat (C6H12O6)n. Pemanfaatan kembali menjadi energi, baik secara langsung maupun tidak langsung pada dasarnya adalah mengambil kembali energi radiasi matahari yang terikat pada biomassa (limbah pertanian dan peternakan). Bila proses pemanfaatan limbah sebagai energi melalui teknologi bio gas maka prosesnya adalah sebagai berikut:
C6H12O6 + mikroorganisme CH4 + CO2
Apabila energi ini dimanfaatkan, maka proses yang terjadi adalah:
CH4 + 2O2 CO2 + H2O + energi
(Judoamidjojo, dkk., 1992).
2.3 Bio Gas
Bio gas adalah hasil fermentasi secara anaerobik. Fermentasi anaerobik merupakan proses perombakan suatu bahan menjadi bahan lain dengan bantuan mikroorganisme tertentu dalam keadaan tidak berhubungan langsung dengan udara bebas (anaerob) (Judoamidjojo, dkk., 1992).
Menurut Koottatep, dkk. (tanpa tahun), bio gas mengandung CH4 (50-70%), CO2 (30-50%) dan beberapa jenis gas lain seperti H2, O2, H2S dan N2. Untuk menjamin produksi bio gas yang optimal, ketiga kelompok mikroorganisme harus bekerja bersama. Apabila terlalu banyak bio massa, kelompok organisme pertama dan kedua akan memproduksi asam organik dalam jumlah besar pula, hal ini akan menurunkan pH di dalam reaktor dan berpengaruh buruk bagi kelompok mikroorganisme ketiga yang mengakibatkan hanya sedikit gas bahkan tidak ada gas yang dihasilkan. Sebaliknya apabila terlalu sedikit bio massa yang ada, maka tingkat penguraian oleh mikroorganisme sangat rendah dan produksi bio gas akan menurun sangat signifikan.
Bio gas mempunyai sifat mudah terbakar, panas pembakarannya berkisar antara 19,7 sampai 23 MJ/m3, energi yang dapat dihasilkan rata-rata setaraf dengan 21,5 MJ atau 563 Btu/ft3, kerapatan relatifnya 80 persen kerapatan udara dan 120 persen kerapatan metan. Titik kritis bio gas ini Agak sulit ditentukan, namun sebagai pendekatan digunakan titik kritis metan yaitu 82oC dan tekanan 45,8 atm. Pada temperatur dan tekanan tersebut metan akan mencair dengan terjadinya penyusutan volume sampai 1/600 kali. Beberapa sifat fisik dan kimia gas metan dapat dilihat pada Tabel 2.2 (Prescot dan Dunn, 1959).
2.4 Faktor Lingkungan
Proses fermentasi anaerob dapat berlangsung dengan optimal apabila populasi ketiga kelompok bakteri dalam keadaan seimbang. Bakteri-bakteri ini sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Temperatur adalah salah satu faktor lingkungan yang utama, telah diketahui bahwa temperatur lingkungan ideal untuk fermentasi anaerobik berkisar pada 35oC. Apabila temperatur berada jauh di bawah 35oC, maka aktivitas bakteri akan menurun demikian pula produksi bio gas. Sebaliknya bila temperatur lingkungan berada jauh di atas 35oC maka beberapa jenis bakteri akan mati sehingga produksi bio gas juga akan menurun.
Pengisolasian, pendauran panas, injeksi uap, pemanasan menggunakan elemen dsb. dilakukan dengan tujuan mengontrol temperatur di dalam digester. Pengaturan temperatur penting untuk diperhatikan pada saat merancang sebuah digester. Fermentasi anaerobik dapat juga terjadi pada temperatur ruang, namun segala metode yang telah dilakukan untuk menjaga temperatur digester pada kisaran 35oC terbukti dapat meningkatkan produksi bio gas (Gracelon dan Clark, tanpa tahun).
Proses fermentasi anaerob dapat ditemui pada rumen (lambung) seekor sapi sebagai reaktor bio gas alami. Seekor sapi dengan berat badan 400 Kg memiliki berat rumen sekitar 70 Kg, keadaan di dalam rumen adalah anaerob, memiliki temperatur 39oC dan pH 6 - 7 dapat menghasilkan 2 Kg gas metan per jam (Tillman, 1976).
Saat paling kritis terjadi ketika digester mulai bekerja. Saat digester diisi sludge, bakteri pembentuk asam segera menghasilkan asam. Populasi bakteri metanogenik mungkin tidak cukup untuk mengubah asam yang dihasilkan bakteri kelompok pertama dan kedua dan menetralkan pH. Apabila pH berada jauh di bawah 6,5, populasi bakteri metanogenik akan mati dan populasi ketiga kelompok bakteri menjadi tidak seimbang, kondisi di dalam digester menjadi asam dan tidak memproduksi bio gas.
Dalam rangka menumbuhkan bakteri metanogenik pada sludge, dapat dilakukan penambahan alkali untuk memberikan efek buffer. Sebagai contoh, pH dapat ditingkatkan pada kisaran 7,5 dengan menambahkan baking soda (sodium bikarbonat) (Gracelon dan Clark, tanpa tahun).
2.5 Reaktor Bio Gas
Bagian utama reaktor bio gas adalah sebuah ruang tertutup, terisolasi dari udara bebas yang dikenal sebagai digester, kondisi di dalam digester adalah anaerob. Ada dua jenis digester. Jenis pertama adalah sistem batch. Pada jenis ini digester diisi campuran biomassa dan air yang dikenal sebagai sludge kemudian digester akan memproduksi bio gas sampai makanan bagi bakteri metanogen habis. Jenis ini banyak digunakan pada digester pada skala laboratorium untuk menyelidiki produksi bio gas dengan berbagai perlakuan.
Digester jenis kedua menggunakan sistem continuous. Pada jenis ini digester diisi sludge secara teratur. Bio gas dihasilkan terkumpul di permukaan sludge dan menekan sludge sehingga keluar melalui lubang pengeluaran sejumlah volume bio gas yang terkumpul. Selanjutnya digester diisi sludge kembali sebesar volume sludge yang keluar, sehingga volume sludge di dalam digester konstan. Digester jenis ini biasa digunakan untuk skala industri untuk hasil yang berkelanjutan (Gracelon dan Clark, tanpa tahun).
Bio gas yang dihasilkan selama dekomposisi anaerobik dikumpulkan dalam sebuah penampung gas, selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak, penerangan, proses pendinginan maupun pemanasan dan untuk kepentingan pertanian lainnya seperti sumber energi untuk mesin pertanian.
Digester dengan suhu tinggi (30-35OC) akan memproduksi lebih banyak gas dibandingkan suhu yang lebih rendah, namun kebutuhan bahan baku harian semakin besar. Di samping itu siklus fermentasi akan lebih singkat. Tabel 2.3 menunjukkan perkiraan produksi gas per ton bahan baku untuk periode fermentasi dan temperatur yang berbeda.