jurnal Perspektif Manajemen Berbasis Kinerja
Model Evaluasi KinerjaOrganisasi pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan
(Sebuah Kajian dari Perspektif Manajemen Berbasis Kinerja )
Penulis:
Prof. Dr. Sangkala, MA dan Dr. Hamsina, M.Si
Abstrak
Setiap tahun berbagai lembaga baik pemerintah maupun non pemerintah melakukan evaluasi terhadap kinerja pemerintah daerah. Hasil dari penelitian lembaga tersebut menunjukkan bahwa, kinerja pemerintah daerah masih mengecewakan masyarakat. Perbaikan kinerja secara berkelanjutan pada dasarnya dapat dicapai manakala kinerja dipandang bukan merupakan aktivitas mengukur output semata, tetapi harus dipandang sebagai bagian integral dari seluruh aktivitas manajemen di dalam organisasi. Penelitian ini bertujuan mengungkap kelemahan sistem pengukuran kinerja yang digunakan di pemerintah Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan dengan menggunakan pendekatan performance-based management. Hasil penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif menunjukkan bahwa pemerintah daerah dalam mengukur kinerja pegawai dan organisasi menggunakan sistem pengukuran kinerja yang berbeda. Sehingga kinerja akhir yang dihasilkan oleh kedua pihak yang diukur (unit terukur) tidak memiliki titik anjak, fokus dan alur yang sama. Akibatnya aktivitas manajemen tidak memiliki acuan yang jelas kemana orientasi kinerja difokuskan sehingga dapat memicu kinerja organisasi. Hal inilah yang dibuktikan melalui penelitian ini menjadi penyebab rendahnya kinerja organisasi pemerintah daerah selama ini. Oleh karena itu, penelitian ini secara khusus bertujuan mengajukan satu sistem pengukuran kinerja organisasi dengan menggunakan model berpikir manajemen berbasis kinerja.
Key word: kinerja, performance based management
1. Pendahuluan
Isu Good Governance di Indonesia telah menjadi isu sentral, dan menjadi tuntutan masyarakat. Tuntutan ini semakin keras gaungnya seiring dengan munculnya gerakan reformasi yang bermaksud menata kembali sistem ekonomi, sosial, budaya, tata nilai kemasyarakatan serta sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan yang dibangun selama kurang lebih tiga puluh dua tahun (1965-1998) lebih banyak dibebani untuk memperkuat rezim orde baru. Oleh karena itu, salah satu tuntutan reformasi dibidang pemerintahan adalah tumbuhnya praktek-praktek kepemerintahan yang memiliki akuntabilitas dan transparansi yang tinggi kepada stakeholdernya.
Sebagai bagian dari tuntutan reformasi birokrasi (tertuang di dalam Roadmap Reformasi Birokrasi 2010-2014), maka perbaikan/reformasi dibidang manajemen publik sektor menjadi suatu keharusan, karena reformasi dibidang manajemen publik dipandang sebagai bagian dari upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance). Untuk mencapai maksud tersebut maka, saat ini fokus maupun orientasi aktivitas birokrasi seharusnya bukan lagi administratif, tetapi harus bergeser ke arah manajemen. Jika demikian, maka prinsip-prinsip efisiensi, efektivitas, maupun ekonomis (3E) dalam menjalankan seluruh aktivitas maupun penggunaan sumberdaya organisasi harus terukur. Aktivitas yang terukur yang dilakukan di dalam organisasi baik dalam pelaksanaan maupun hasilnya akan lebih dapat dipertanggungjawabkan dibandingkan bila tidak diterapkan sebuah sistem pengukuran yang obyektif. Jika demikian halnya, maka penyusunan sebuah sistem pengukuran (measurement system) menjadi suatu keharusan. Agar sistem pengukuran kinerja tersebut mampu memenuhi prinsip-prinsip dasar yang dipersyaratkan oleh good governanceyaitu akuntabilitas dan transparansi, maka hasil dari kinerja yang dicapai setiap instansi pemerintah dapat diakses dan dinilai dengan mudah oleh masyarakat. Karena itu, akuntabilitas dan transparansi organisasi menjadi menjadi necessary condition bila ingin dinilai bahwa sebuah instansi pemerintah telah menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik. Salah satu komponen penting dari atribut sebuah organisasi dipandang akuntabel apabila mampu menunjukkan kinerja yang optimal. Dalam tataran praktek, kinerja pemerintahan di Kota Makassar saat ini belum beranjak dari kekecewaan masyarakat. Instansi pemerintah (birokrasi) masih menunjukkan wajah tidak ramah dan menimbulkan persoalan bila masyarakat berhubungan dengan birokrasi.
Salama ini berbagai upaya perbaikan kinerja telah dilakukan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Berbagai perbaikan instrument pengukuran telah dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai peraturan untuk mendorong birokrasi pemerintah agar mampu meneuhi harapan masyarakat. Misalnya untuk mengukur kinerja organisasi, maka diterbitkan Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) dan Keputusan Lembaga Administtasi Negara Nomor 239/IX/ 6/8/2003 tentang Pedoman penyusunan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) yang kemudian menjadi acuan dalam menilai kinerja organisasi/instansi pemerintah dalam bentuk Laporan Akuntabilitas Kinerja Intansi Pemerintah (LAKIP). Demikian pula untuk mengukur kinerja pegawai negeri sipil maka diterbitkan Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1979 tentang Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil (DP3).
Berbagai peraturan yang dikeluarkan pemerintah untuk mendorong kualitas kinerja instansi pemerintah tersebut di atas nampaknya sampai saat ini menurut hasil evaluasi kinerja dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang dirilis setiap tahun belum ada instansi pemerinah yang mendapat nilai “A”. Secara konseptual kondisi ini bisa terjadi manakala sistem pengukuran yang dibangun bukanlah merupakan sebuah sistem pengukuran yang sekaligus menjadi bagian integral dari fungsi-fungsi dan aktivitas pekerjaan yang selama ini berlangsung di dalam organisasi. Oleh karena, itu sistem pengukuran kinerja yang digunakan seharusnya harus mampu mendorong pencapaian kinerja yaitu dengan mendesain sistem pengukuran sebagai pemicu bagi setiap aktor dalam organisasi untuk memaksimalkan kinerjanya. Artinya sistem yang dibangun hendaknya menjadi bagian internal aktivitas manajemen di dalam organisasi.
Dalam kaitan tersebut di atas, kebutuhan akan praktek manajemen yang mampu menggerakkan seluruh komponen organisasi untuk mampu menuangkan seluruh potensinya bagi perbaikan kinerja tidak hanya pada tingkatan organisasi tetapi sampai kepada tingkatan tim dan perorangan/pegawai. Perbaikan tersebut dapat dicapai melalui suatu strategi yang dinamakan dengan Model Penilaian Kinerja Organisasi. Model penilaian kinerja organisasi ini menggunakan model berpikir manajemen berbasis kinerja. Penggunaan model berpikir manajemen berbasis kinerja karena diasumsikan mampu mengintegrasikan kedua model pengukuran kinerja yang selama ini telah digunakan serta mampu meningkatkan dan tetap menjaga kinerja organisasi pemerintah darah secara optimal. Pada dasarnya sistem ini lebih menekankan pada upaya bagaimana indikator kinerja disusun berdasarkan rencana-rencana atau sasaran organisasi untuk seterusnya di elaborasi ke dalam indikator unit/tim, dan individu. Indikator individu tersebut selanjutnya menjadi dasar kinerja tim dan organisasi. Dengan demikian kinerja di tingkat individu menjadi titik kontrol dan sekaligus dasar pengelolaan bagi keberhasilan pencapain sasaran tim dan organisasi. Sistem ini akan mampu menghantarkan organisasi membangun kinerja yang optimal, karena kinerja yang dicapai dibangun melalui perbaikan kinerja individu (pegawai), tim/kelompok sampai ke tingkat organisasi (Julnes, Patria de Lancer, 2009). Selain itu sistem ini, mampu menyediakan mekanisme akuntabilitas dan transparansi seperti yang dipersyaratkan oleh prinsip pelaksanaan kepemerintahan yang baik (Good Governance). Harus diakui bahwa sistem pengukuran kinerja yang digunakan pemerintah daerah selama ini dirasakan belum sepenuhnya mampu mendorong kinerja organisasi yang berangkat dari sasaran nyata yang ingin dicapai oleh organisasi perangkat daerah. Atas dasar latar belakang pemikiran tersebut sehingga dilakukan studi terhadap praktek pengukuran kinerja pegawai di pemerintah Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka pernyataan permasalahan yang diajukan yaitu:
a. Bagaimana model evaluasi kinerja organisasi yang ada saat ini di Satuan Kerja Perangkat Daerah Pemerintah Kota Makaasar,Provinsi Sulawesi Selatan?
b. Bagaimana seharusnya model evaluasi kinerja organisasi pada Satuan Kerja Perangkat Daerah Pemerintah Kota Makaasar, Provinsi Sulawesi Selatan?
2. Metode Penelitian
Pendekatan penelitian yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut yaitu kualitatif dengan menggunakan tipe studi kasus. Fokus penelitian lebih diarahkan pada upaya mengungkap bagaimana model pengukuran kinerja yang dipraktekkan di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pemerintah Kota Makassar serta berbagai kelemahan dari model evaluasi tersebut sehingga diupayakan merumuskan model evaluasi kinerja yang baru yang relevan tidak hanya dengan Satuan Perangkat Daerah yang ada di pemerintah Kota Makassar itu sendiri tetapi juga dengan peraturan pemerintah yang berlaku sehingga model yang didesain adaptif dengan kebutuhan pemerintah Kota Makassar.
Penelitian tentang model evaluasi kinerja organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah pemerintah Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan dirancang untuk menemukenali permasalahan ketidakefektifan sistem evaluasi kinerja pegawai yang ada selama ini, serta merumuskan modelevaluasi alternatif untuk mengatasi kelemahan model yang telah diterapkan selama ini. Fokus penelitian ini diarahkan pada model evaluasi kinerja organisasi yang berlokasi pada satuan kerja perangkat daerah yang ada di pemerintah Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Adapun organisasi yang menjadi unit yang dapat dianggap mewakili seluruh organisasi satuan kerja perangkat daerah yang ada di Kota Makassar yaitu diambil organisasi yang mewakili tipologi organisasi “Dinas” yaitu dipilih Dinas Tata Ruang dan Bangunan; mewakili tipologi “Badan” diwakili oleh Badan Kepegawaian Daerah; dan tiplogi yang mewakili “Kantor” dipilih Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam. Sedangkan teknik yang digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh di lapangan yaitu dengan teknik analisis kualitatif dengan tahap-tahap penelitian didahului dengan studi pendahuluan, survei awal penelitian, pengumpulan data, pengolahan data dan pembahasan serta kesimpulan hasil penelitian.
3. Tinjauan Pustaka
Evaluasi kinerja merupakan bagian penting dari manajemen kinerja, dimana di dalamnya memuat rangkaian kegiatan dari mulai perencanaan kinerja, implementasi kinerja dan evaluasi kinerja. Dalam perkembangan konsep tentang kinerja, keseluruhan aktivitas tersebut selanjutnya terintegrasi ke dalam apa yang dikenal saat ini sebagai manajemen kinerja. Hal ini disebabkan ketiga aktivitas penilaian kinerja dari tahap perencanaan sampai evaluasi kinerja merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan (Chang, R., 2011). Lebih lanjut Chang, R. (2011) menyatakan bahwa dalam siklus manajemen kinerja, ukuran kinerja memainkan peran sentral. Ukuran kinerja berperan sebagai parameter pencapaian sasaran yang telah ditetapkan. Ukuran kinerja berperan apakah sasaran yang diharapkan organisasi tercapai atau tidak akan tercapai. Pengukuran kinerja diterapkan baik pada tahap perencanaan maupun evaluasi. Manajemen kinerja menurut Amstrong dan Baron (1998) merupakan suatu pendekatan stratejik dan terintegrasi untuk menghantarkan kesuksesan kepada organisasi secara berkelanjutan dengan memperbaiki kinerja orang yang bekerja di dalamnya dan dengan mengembangkan kapabilitas tim dan kontribusi individu. Di dalam pengertian manajemen kinerja terdapat beberapa kata kunci yaitu;
1). Stratejik yang bermakna bahwa manajemen kinerja memberi perhatian pada isu-isu yang dihadapi oleh organisasi agar organisasi dapat berfungsi secara efektif terhadap lingkungannya, dan dengan arah dimana organisasi bermaksud capai untuk sasaran jangka panjang.
2) Terintegrasi bermakna: integrasi vertikal - terkait dengan tujuan-tujuan organisasi, tim dan individu; integrasi fungsional – terkait dengan strategi fungsional dalam bagian-bagain yang berbeda di dalam organisasi; integrasi sumberdaya manusia – terkait dengan aspek-aspek sumberdaya manusia yang berbeda, terutama pengembangan organisasi dan sumberdaya manusia beserta penghargaan untuk mncapai pendekatan yang bertalian dengan pengelolaan pengembangan orang.
3) Memberi perhatian perbaikan kinerja untuk mencapai efektivitas organisasi, tim, dan individu. Kinerja tidak hanya tentang apa yang dicapai tetapi uga mengenai bagaimana dicapai. Pimpinan terlibat di dalam memberi arah, mengukur dan mengontrol, tetapi ini bukanlah memberi khusus pada pimpinan tetapi juga tim dan individu berpatisipasi untuk bekerjasama sebagai stakeholders.
4) Memberi perhatian pada pengembangan, dimana mungkin fungsi yang paling penting dari manajemen kinerja. Perbaikan kinerja tidak akan dicapai kecuali ada proses yang efektif terkait pengembangan yang berlanjut. Hal ini merupakan kompetensi utama dari organisasi dan kapabilitas individu dan tim.Karena itu, manajemen kinerja harus benar-benar dapat disebut manajemen kinerja dan pengembangan.
Dalam menerapkan manajemen kinerja terdapat beberapa fokus kegiatan yang menjadi perhatian yaitu:
1. Fokus pada output, outcome, proses dan input
Manajemen kinerja memberi perhatian pada output atau pencapaian hasil bersama dengan outcomeatau dampak yang diakibatkan oleh kinerja. Selain itu manajemen kinerja juga memberi perhatian terhadap proses yang diperlukan untuk mencapai hasil dan input dalam pengertian kapabilitas (pengetahuan, keterampilan dan kompetensi) yang diharapkan dari tim dan inidvidu yang terlibat.
2. Fokus pada perencanaan
Manajemen kinerja memberi perhatian perencanaan ke depan untuk mencapai kesusesan di masa depan. Hal ini bermakna bahwa menentukan harapan diekspresikan sebagai tujuan dan rencana bisnis.
3. Fokus pada pengukuran dan review
Asumsi yang sangat kuat menyatakan bahwa jika kamu tidak dapat mengukur, maka kamu tidak dapat mengelola. Manajemen kinerja memberi perhatian terhadap pengukuran hasil dan dengan melakukan ulasan kemajuan terhadap pencapaian tujuan sebagai dasar untuk bertindak.
4. Fokus pada pengembangan dan perbaikan berkelanjutan
Manajemen kinerja memberi perhatian pada penciptaan suatu budaya dimana organisasi dan individu belajar dan mengembangkan ke arah suatu proses yang berkelanjutan. Manajemen kinerja menyediakan alat bagi pengintegrasian pembelajaran dan pekerjaan sehingga setiap orang belajar dari kesuksesan dan tantangan dikeseharian aktivitasnya.
5. Fokus pada komunikasi
Manajemen kinerja memberi perhatian pada komunikasi. hal ini dilakukan dengan melakukan penciptaan suatu iklim dimana dialog yang berkelanjutan antara pimpinan dengan anggota timnya terjadi untuk menentukan harapan dan berbagi informasi akan misi organisasi, nilai-nilai dan tujuan. Ini menentukan saling memahami mengenai apa yang akan dicapai dan kerangka bagi pengelolaan dan pengembangan orang untuk memastikan bahwa hal tersebut akan dicapai.
6. Fokus bagi stakeholder
Manajemen kinerja memberi perhatian terhadap pemuasan kebutuhan dan harapan seluruh stakeholder organisasi baik itu pegawai, pimpinan, masyarakat atau rekanan. Idealnya, pegawai diperlakukan sebagai mitra di dalam organisasi yang memiliki kepentingan dan harus dihormati, yang memiliki pendapat dan harus dihargai dan didengar, dan yang mendorong untuk memberi kontribusi terhadap formulasi tujuan dan rencana bagi tim dan bagi mereka sendiri. Manajemen kinerja harus fokus pada kebutuhan individual dan tim dan juga organisasi, mengakui bahwa mereka tidak membutuhkan hal yang serupa.
7. Fokus pada etika
Proses manajemen kinerja memberi perhatian pada proses yang berlangsung dengan didasarkan prinsip-prinsip etika yang telah disepakati.
Berangkat dari berbagai pengertian tentang manajemen kinerja yang telah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa evaluasi kinerja merupakan bagian integral dari manajemen kinerja yang dilakukan baik pada tingkatan organisasi, tim dan individu. Karena itu, apabila ingin mendefinisikan evaluasi kinerja pegawai maka pengertian tersebut harus dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari unsur-unsur lain yang ada di dalam organisasi dan manajemen. Agar penelitian memiliki rujukan dan batasan dalam melakukan penelitian tentang model evaluasi kinerja organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pada pemerintah kota makassar, maka rumuskan pengertian model evaluasi kinerja organisasi dipandangan sebagai suatu pendekatan sistematik terhadap perbaikan kinerja melalui proses penentuan tujuan kinerja stratejik; pengukuran kinerja; pengumpulan, analisa, review, dan laporan data kinerja; dan menggunakan data untuk mendorong perbaikan kinerja melalui kinerja individu/pegawai, tim dan organisasi.
Kinerja yang ditampilkan oleh pegawai merupakan perpaduan antara faktor lingkungan internal organisasi, lingkungan eksternal dan faktor internal pegawai itu sendiri. Faktor lingkungan internal organisasi merupakan faktor pendukung dari organisasi dimana pegawai bekerja. Misalnya strategi organisasi, sarana dan prasarana organisasi, berbagai sumberdaya yang diperlukan mendukung pekerjaaan pegawai, berbagai sistem yang ada misalnya sistem penggajian, perlindungan pegawai, iklim organisasi, nilai-nilai organisasi. Faktor lingkungan eksternal organisasi yang dapat berpengaruh langsung maupun tidak langsung, tergantung kepada jenis perubahan lingkungan yang ada. Misalnya terjadi perubahan politik, peraturan perundang-undangan, tuntutan masyarakat dan lain-lain. Sedangkan faktor internal pegawai adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri pegawai baik karena faktor bawaan dari lahir atau karena diperoleh selama masa pertumbuhan. Misalnya bakat, sifat pribadi, sikap mental, konsep diri, sifat pribadi, keadaan fisik dan kejiwaan. Sedangkan yang dibentuk semasa pertumbuhan misalnya pengetahuan, keterampilan, etos kerja, pengalaman kerja, dan motivasi kerja. Ketiga faktor-faktor tersebut sangat berperan terhadap tingkat kinerja pegawai. Artinya semakin tinggi dukungan faktor-faktor tersebut maka semakin tinggi kinerja pegawai.
Secara umum pendekatan yang digunakan yang digunakan dalam mengevaluasi kinerja dapat dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu;
a. Pendekatan sifat pribadi (trait approach) dimana yang dinilai dari seorang pegawai adalah murni karakteristik yang melekat pada pribadi pegawai dan tidak ada hubungannya dengan pekerjaan pegawai. Namun dalam perkembangnnya kemudian yang dinilai hanya sifat pribadi yang ada hubungannya dengan pekerjaannya.
b. Pendekatan hasil kerja (output approach) dimana kinerja pegawai dinilai berdasarkan seberapa besar seorang pegawai dapat mencapai tujuan tersebut.
c. Pendekatan prilaku kerja (behavior approach) dimana pegawai yang bekerja menggunakan prilaku kerja dan prosedur tertentu. Selain itu harus berpegang teguh pada kode ertik profesi yang mengatur prilaku mereka. Contoh sistem ini yaitu model behaviorally Anchor Rating Scale, behavior Observation Scale, dan model Behavior Expectation Scale.
d. Pendekatan campuran (mix approach)dimana pendekatan ini merupakan pendekatan yang paling banyak dipakai yang menggabungkan ketiga dimensi kinerja dalam indikatior kinerja pegawai. Indikator kinerja yang digunakan adalah campuran ketiga dimensi penilaian kinerja dalam bentuk persentase(Wirawan, 2009).
Penilitian ini mengacu pada kerangka pikir seperti di dalam gambar 1. Dalam gambar tersebut memberikan arah dan sistematika penyusunan model evaluasi kinerja organisasi. Alur pemikiran tersebut menyatakan bahwa manajemen kinerja merupakan sebuah pendekatan stratejik dan integrasi untuk menghantarkan kesuksesan organisasi secara berkelanjutan dengan memperbaiki kinerja orang-orang yang bekerja di dalamnya dengan mengembangkan kapabilitas dan kontribusi individu (Amstrong dan Baron, 1998).
Gambar 1:
Kerangka Pemikiran
Job Description |
Standar Kinerja |
Instrumen Evaluasi |
Metode Evaluasi Kinerja |
Keterangan:
· PNS: Pegawai Negeri Sipil
Berangkat dari Rencana Strategik dan Rencana Tahunan SKPD tersebut selanjutnya dilakukan analisis pekerjaan sehingga menghasilkan informasi-informasi tentang pekerjaan yang berisi deksripsi pekerjaan. Di dalam deskripsi pekerjaan dianalisis daftar fungsi-fungsi pekerjaan, tugas dan tanggungjawab pelaksanaan. Berdasarkan deskripsi pekerjaan dilakukan penyusunan standar kinerja yang akan melahirkan instrument evaluasi kinerja. Agar instrumen evaluasi kinerja dapat dilaksanakan dengan baik maka perlu disusun metode evaluasinya. Untuk menghasilkan instrument evaluasi kinerja diperlukan tindakan menentukan dimensi-dimensi kerja yang berisi acuan pembuatan indikator kinerja. Dimensi-dimensi kerja tersebut dapat menggunakan pendekatan penilaian dengan menggunakan indikator hasil kerja, prilaku kerja, sifat pribadi atau pendekatan campuran.
4. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil studi lapangan ditemukan bahwa sistem evaluasi kinerja yang berlaku di SKPD Pemerintah Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan ada dua bentuk. Pertama, evaluasi yang ditujukan untuk mengukur kinerja organisasi yang disebut dengan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Indikator evaluasi kinerja tersebut mengacu pada rencana kerja tahunan SKPD yang merupakan turunan dari Rencana Jangka Menengah Daerah. Ketentuan dan metode pengukurannya mengacu pada Presiden Nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) dan Keputusan Lembaga Administtasi Negara Nomor 239/IX/ 6/8/2003 tentang Pedoman penyusunan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP). Kedua, evaluasi untuk mengukur pegawai (individu) dimana ketentuan dan metodenya mengacu pada Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1979 Tanggal 15 Mei 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil (DP3.
Pada metode pengukuran LAKIP, kriteria yang digunakan untuk mengukur kinerja organisasi adalah kriteria kuantitatif yaitu dimensi kondisi, ketepan waktu pelaksanaan, efektif dalam penggunaan sumberdaya keuangan, efek suatu upaya (outcome),dan standar nol absolut. Sementara DP3 untuk mengukur kinerja pengawai menggunakan kriteria atau dimensi hasil kerja, prilaku kerja dan sifat yang terangkum ke dalam delapan dimensi yaitu: kesetiaan, prestasi kerja, tanggungjawab, ketaatan, kejujuran, kerjasama, prakarsa, kepemimpinan.
Penggunaan model pengukuran seperti ini menimbulkan beberapa kelemahan tidak hanya terkait aspek sumber penentuan indikator yang tidak memiliki langsung keterkaitan dengan sasaran organisasi tetapi juga dilihat dari sudut pandang manajemen. Ketidakkonsistenan dalam penentuan kinerja utama untuk setiap level yang mendapatkan penilaian diasumsikan sebagai penyebab mengapa kinerja organisasi SKPD yang ada di Pemerintah Kota Makassar sulit mendapatkan penilaian kinerja optimal dan berkelanjutan. Atas dasar berbagai kelemahan tersebut maka penelitian ini merekomendasikan untuk menyusun model alternatif dalam mengevaluasi kinerja baik organisasi maupun pegawai yang menggunakan dasar berpikir performance based management. Sistem pengukuran kinerja yang berbasis pada penggunaan manajemen berbasis kinerja menekankan pola berpikir terintegrasi antara indikator penilaian kinerja pegawai dengan sasaran yang ingin dicapai organisasi. Adapun model evaluasi kinerja yang digunakan di SKPD pemerintah Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat pada gambar-2.
Konsekuensi dari penyusunan model baru sistem evaluasi kinerja organisasi yang berbasis manajemen maka dasar penyusunannya berangkat dari Rencana Kerja masing-masing SKPD yang disusun setiap tahun. Rencana kerja tersebut selanjutnya di elaborasi menjadi indikator kinerja utama (key performance indicators) untuk setiap unit tingkatan yang ada di dalam organisasi mulai dari level top level, middle, supervisor dan individu.
Gambar-2
Model Evaluasi Kinerja Organisasi Yang Ada
Di SKPD Pemerintah Kota Makassar Saat Ini
Keterangan:
Garis perintah
Garis tidak terkait
Titik yang paling krusial di dalam penentuan indikator kinerja utama berada pada level individu (pegawai). Karena itu agar penentuan indikator kinerja pada level individu menggunaka pendekatan campuran (mix approach) yakni antara pendekatan hasil kerja, prilaku kerja dan sifat pribadi. Adapun pendekatan hasil kerja mensyaratkan indikator penilaiannnya berdasarkan sasaran-sasaran organisasi yang disusun setiap tahun. Prilaku kerja adalah prilaku yang ditampilkan oleh seorang pegawai yang berkaitan bidang tugas pekerjaannya. Demikian pula sifat pribadi adalah sifat pribadi yang mampu menunjang keberhasilan tugas seorang pegawai. Bila menggunakan metode penilaian kinerja level individu yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Pegawai Negeri Sipil maka nampaknya sejalan dengan pendekatan camputan. Dimensi-dimensi kinerja di level individu yang dimaksud adalah:
a. Sasaran kerja pegawai (SKP) yaitu rencana kerja dan target yang akan dicapai oleh seorang PNS. Sasaran kerja pegawai disusun dengan Penilaian prilaku mengacu pada rencana kerja tahun SKPD pemerintah Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Karena itu setiap pegawai wajib menyusun SKP berdasarkan rencana kerja tahun masing-masing unit dimana pegawai ditempatkan.
b. Prilaku kerja (PK) yaitu setiap tingkah laku, sikap atau tindakan yang dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan. Penilaian prestasi pegawai negeri sipil dari aspek prilaku mencakup aspek: orientasi pelayanan, integritas, komitmen, disiplin, kerjasama, dan kepemimpinan. Khusus penilaian kepemimpinan hanya dilakukan bagi pegawai negeri sipil yang menduduki jabatan struktural.
Berdasarkan capaian kinerja level individu inilah selanjutnya diakumulasi menjadi kinerja level supervisor. Capaian kinerja level supervisor dapat diakumulasi menjadi capaian kinerja untuk level manajemen tingkat menengah. Sedangkan akumulasi capaian kinerja level manajemen tingkat menengah menjadi indikator capaian kinerja level top dari organisasi. Adapun model evaluasi kinerja alternatif bagi SKPD pemerintah Kota Makassar dapat dilihat pada gambar-3 tersebut.
Rancangan model evaluasi kinerja organisasi yang dibuat ini menganut siklus penyusunan dan penilaian sebagai satu kesatuan dan berbentuk siklus. Artinya sistem penentuan indikator kinerja utama berangkat dari penyusunan indikator utama di level yang tertinggi di dalam organisasi kemudian dielaborasi ke level yang berada di bawahnya (Top àMiddleàLoweràIndividu). Sebaliknya untuk penilaian kinerja organisasi menganut siklus terbalik yakni berangkat dari ukuran kinerja level paling bawah (individu) untuk selanjutnya terakumulasi ke level yang berada lebih tinggi setingkat di atasnya yang akhirnya sampai ke level paling puncak (Individu àLower à Middle à Top).
Gambar-3
Model Evaluasi Kinerja Organisasi Alaternatif
Bagi SKPD Pemerintah Kota Makassar
Keterangan:
Alur Evaluasi Kinerja
IKU: Indikator Kinerja Utama
5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terkait dengan model evaluasi kinerja organisasi SKPD pada Pemerintah Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Sistem pengukuran kinerja organisasi yang diterapkan di SKPD Pemerintah Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan secara prinsipil tidak menggunakan pendekatan manajemen berbasis kinerja. Artinya metode penyusunan dimensi-dimensi kerja sampai kepada indikator penilaian terutama penentuan indikator kinerja untuk level unit dan individu tidak didasarkan atau mengacu pada tujuan stratejik (RPJMD) dan Rencana Kerja Tahunan (RENJA) secara konsisten. Di Level individu terdapat sistem evaluasi kinerja yang mengacu pada Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1979 Tanggal 15 Mei 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil (DP3). Walaupun di dalam indikator tersebut menyebutkan adanya ukuran prestasi kerja namun bukan merupakan bagian yang terintegrasi dengan sasaran kerja organisasi SKPD (RENJA). Selain ukuran hasil kerja berupa prestasi kerja juga terdapat indikator prilaku kerja dan sifat pribadi namun di dalam pedoman penilaian tidak secara tegas dimaksudkan memiliki keterkaitan dengan tujuan stratejik organisasi. Sementara ukuran kinerja organisasi menggunakan sistem penilaian kinerja tersendiri yaitu mengacu pada pada Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) dan Keputusan Lembaga Administrasi Negara Nomor 239/IX/ 6/8/2003 tentang Pedoman penyusunan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP). Kedua Acuan pengukuran kinerja tersebut tidak terintegrasi sehingga memiliki hasil penilaian yang berbeda-beda.
2. Menyikapi kondisi model evaluasi kinerja organisasi SKPD di pemerintahan Kota Makassar yang belum mampu mendukung kinerja pemerintahan secara optimal dan berkelanjutan, maka penelitian ini merumuskan satu model evaluasi kinerja organisasi bagi SKPD di pemerintahan Kota Makassar dengan menggunakan pendekatan manajemen berbasis kinerja. Pendekatan ini menggunakan model pengukuran kinerja dimana metode penyusunan indikator utama berangkat dari sasaran strategik organisasi SKPD (RPJMD) dan RENJA yang kemudian di elaborasi sampai ke level unit dan individu (pegawai). Perhitungan pencapaian kinerja organisasi dimulai dari pencapaian kinerja level individu, kemudian ke unit organisasi yang lebih tinggi, sampai kepada level organisasi secara keseluruhan.
6. Ucapan Terima Kasih
Terselenggaranya penelitian ini tidak terlepas dari sumbangan dari berbagai pihak. Karena itu pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih masing-masing kepada:
1. Pemerintah Kota Makassar atas bantuan berupa dana penelitian sehingga penelitian ini terlaksana sampai tuntas.
2. Tim reviewer yang dibentuk oleh Pemerintah Kota Makassar untuk menilai kelayakan tema dan tujuan proposal penelitian yang diusulkan sampai kepada tahap penilaian akhir hasil penelitian. Terima kasih atas kritik dan saran perbaikan sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan dengan baik.
3. Pimpinan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (LP2M) Universitas Hasanuddin atas berkenannya menyetujui peneliti untuk mengikuti seleksi proposal yang di lakukan oleh Pemerintah Kota Makassar.
Daftar Pustaka:
Buku-Buku:
Amstrong and Angela Baron. 1998. Perfomance Management The New Realities, London: Institute of Personnel and Development.
Chang, R. 2011. Measuring Organizational Performance.Jakarta: PPM Manajemen
Fowler A. 1990. Performance Management: the MBO of the “90s? London: Personnel Management.
Julnes, Patria de lancer, 2009. Performance-Based Management System: Effective Implementation and Maintance. USA: CRC Press taylor & Francis Group.
Kessler, Robin, 2011. Competency Based Performance Review: Evaluasi Kinerja Karyawan Untuk mencapai Sasaran Strategis Organisasi. Jakarta: PPM Manajemen.
Popovich, Mark G. (editor). 1998. Creating High-Performance Government Organization. San Francisco: Jossey-bass Publisher.
Roger S. 1990. Performance Management in Local Goovernment, Jessica Kindsley Publisher, London.
Smith, Malcom, 2005. Performance Measurement & Management: A Strategic Approach to Management Accounting. London: Sage Publications.
Wilson, J.B. 2011. Planning for Excellence Performance: Merencanakan Kinerja Unggul Karyawan. Jakarta: PPM Manajemen.
Wirawan, 2009. Evaluasi Kinerja Sumberdaya Manusia: Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta: Salemba Empat.
Dokumen-dokumen:
Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1979 Tanggal 15 Mei 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil (DP3), Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) dan Keputusan Lembaga Administtasi Negara Nomor 239/IX/ 6/8/2003 tentang Pedoman penyusunan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP). Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 46 Tahun 2011 Tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, Jakarta: Sekretariat Negara RI