Biodegradasi Diazinon dengan Enzim Lakase dari Kapang


2.1       Biodegradasi Diazinon dengan Enzim Lakase dari Kapang
Enzim adalah biokatalis yang terlibat dalam reaksi kimia, bekerja spesifik pada substratnya dan akan didapatkan kembali pada akhir reaksi (Stryer, 2007). Salah satu jenis enzim yang sering digunakan sebagai biokatalis pada proses degradasi lignin adalah enzim lakase. Enzim lakase merupakan salah satu enzim ekstraseluler yang dapat berfungsi jika enzim tersebut diekskresikan dari sel penghasil enzim itu sendiri. Enzim lakase termasuk dalam golongan enzim oksidoreduktase yang mengkatalisis reaksi transfer elektron (pemindahan elektron atau atom hidrogen) (Prasad et al., 2011). Enzim ini sering disebut juga dengan enzim multicopper oxidase karena enzim lakase mempunyai 4 atom tembaga dan memiliki fungsi masing-masing yang berbeda (Ausec et al., 2011).
 Atom tembaga dalam enzim lakase terbagi dalam tiga tipe, yaitu tipe satu, tipe dua, dan tipe tiga (Chakar, 1998). Atom tembaga tipe satu berperan untuk mengakatalisis transfer elektron, tipe dua untuk menggiatkan kerja oksigen molekular, sedangkan atom tembaga tipe tiga adalah tembaga dimer yang bertanggungjawab pada pengambilan oksigen (Hublik dan Schimer, 2000). Lakase mampu mengkatalisis oksidasi satu elektron dari senyawa fenolik dengan memanfaatkan oksigen sebagai penerima, sehingga menghasilkan produk berupa senyawa radikal fenoksi bebas.


Persamaan reaksinya adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1 Mekanisme reaksi 2,6-dimetoxyphenol menjadi 2,6-dimetoxyquinon dengan enzim lakase (Chakar, 1998)
Enzim lakase yang digunakan pada penelitian ini adalah enzim lakase yang dihasilkan dari kapang yang telah diisolasi dari limbah tandon kosong kelapa sawit. Kapang tersebut telah diisolasi oleh Dewi pada tahun 2010 dan menjadi koleksi Laboratorium Biokimia Universitas Airlangga.
Pestisida diazinon merupakan pestisida jenis organofosfat yang mempunyai gugus fosfat yang terikat dengan gugus nitrogen heterosiklik melalui ikatan ester dan bersifat aromatis. Diazinon mempunyai nama kimia O,O-diethyl-O(2-isoprophyl-4-methyl-6-pyrimidinyl)-phosphorithioate dengan rumus empiris C12H21N2O3PS. Kandungan C 47,36%; H 6,95%; N 9,20%; O 15,77%; P 10,18% dan S 10,54%.




Gambar 2.2. Struktur molekul diazinon
Diazinon mempunyai waktu tinggal (waktu paruh) yang cukup lama di lingkungan, yaitu 30 hari (Wauchope et al., 1992). Untuk lebih mempercepat waktu tinggal diazinon di lingkungan, diperlukan katalis yang mempercepat reaksi degradasi diazinon tersebut. Katalis yang bersifat ramah lingkungan, efektif, dan ekonomis adalah menggunakan biokatalis (enzim), yang prosesnya disebut dengan biodegradasi (Liu et al., 2007).
Menurut Gumbira-Said dan Fauzi (1996) biodegradasi merupakan proses yang melibatkan perubahan struktur suatu senyawa oleh pengaruh biologis sehingga terjadi perubahan integritas molekuler senyawa tersebut. Agen pembiodegradasi pada penelitian ini adalah enzim lakase yang merupakan enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh kapang. Berbagai reaksi enzimatik yang terjadi dalam proses biodegradasi dapat berupa reaksi oksidasi, hidrolisis, dehalogenasi, maupun reaksi gugus nitro. Reaksi ini dikenal dengan proses kometabolisme dimana mikroorganisme tidak memanfaatkan kontaminan sebagai sumber substrat tetapi kontaminan tersebut dapat terdegradasi (Jumbriah, 2006).
Pestisida jenis organofosfat merupakan pestisida paling toksik di antara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada manusia. Hanya diperlukan beberapa mg diazinon untuk dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa (Darmono, 2004). Pestisida jenis ini efektif mempengaruhi sistem saraf dengan menghambat enzim kolinesterase. Enzim kolinesterase adalah enzim yang befungsi untuk menghambat aktivitas asetilkolin yang merupakan salah satu dari neurotransmitter (zat kimia penghantar rangsangan saraf). Penghambatan kerja asetilkolin oleh enzim ini secara berlebihan di dalam tubuh manusia berperan dalam menimbulkan penyakit Alzheimer yang terkait dengan kerusakan sel-sel otak, hilangnya ingatan, dan kemampuan berpikir (Leuzinger dan Baker, 1966). Namun dengan adanya diazinon yang mempunyai aktivitas sangat tinggi untuk menginhibisi  enzim kolinesterase, maka akan terjadi penumpukan asetilkolin secara besar-besaran di dalam tubuh dan mengakibatkan asetilkolin tidak dapat berfungsi lagi sebagai neurotransmitter. Hal tersebut berdampak pada melemahnya kontraksi otot, hilangnya refleksi (kelumpuhan) dan paralisis jaringan. Selanjutnya saraf tidak dapat berfungsi sebagai pengatur atau pusat koordinasi pergerakan tubuh, dimana koordinasi pergerakan tubuh yang tidak teratur dapat menyebabkan kematian (U.S. Environmental Protection Agency Office of Water, 1999).
Hasil dari setiap proses degradasi tergantung pada mikroorganisme (konsentrasi biomassa, keragaman populasi, dan aktivitas enzim), substrat (karakteristik fisikokimia, struktur molekul dan konsentrasi), dan faktor lingkungan (pH, suhu, kelembaban, tersedianya akseptor elektron sebagai sumber karbon dan energi). Struktur molekul dan konsentrasi kontaminan juga mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam proses biodegradasi serta tipe transformasi yang akan terjadi, meskipun senyawa tersebut dipakai sebagai substrat primer, sekunder, atau metabolit (Boopathy, 2000).
Diazinon dapat mengalami transformasi menjadi beberapa senyawa lain ketika berada di lingkungan maupun di dalam tubuh makhluk hidup. Hal itu dikarenakan dapat terjadinya reaksi dekomposisi dengan adanya sinar UV, oksidasi, fotolisis, maupun asetilasi. Senyawa-senyawa metabolit tersebut banyak yang mempunyai toksisitas lebih tinggi daripada diazinon, di antaranya adalah diazoxon (gambar 2.3 c) dan senyawa-senyawa tetraetilpirofosfat (gambar 2.3 a dan b).
Gambar 2.3 Produk degradasi diazinon (Jumbriah, 2006)
Diazoxon adalah salah satu senyawa metabolit hasil oksidasi dari diazinon yang dihasilkan ketika diazinon masuk ke dalam sel makhluk hidup. Senyawa ini mempunyai mempunyai aktivitas 4000 kali lebih besar daripada diazinon untuk menginhibisi enzim kolinesterase (U.S. Environmental Protection Agency Office of Water, 1994).
Penyimpanan yang terlalu lama pada pestisida diazinon dalam kemasan maupun di lingkungan akan mengakibatkan diazinon mengalami dekomposisi sehingga ditransformasi menjadi bentuk senyawa tetraetilpirofosfat, menghasilkan sulfotepp (S,S-TEPP) dan monosulfotepp(O,S-TEPP) seperti pada gambar 2.3 (a dan b). Kedua senyawa tersebut mempunyai sifat toksik yang lebih tinggi dan merupakan inhibitor enzim kolinesterase terutama senyawa monosulfotepp yang diketahui memiliki sifat toksisitas 14.000 lebih besar daripada diazinon dalam menginhibisi enzim kolinesterase (Singmaster, 1990).
Pelepasan diazinon ke dalam tanah diharapkan tidak terikat pada tanah, akan tetapi bergerak mengalir dalam tanah. Fotolisis diazinon terjadi pada permukaan tanah yang membentuk produk berupa senyawa 2-(1-hidroksi-1-metil)etil-4-metil-6-hidroksipirimidin (gambar 2.3 d).
Diazinon juga dapat mengalami reaksi hidrolisis dengan asam maupun secara alami di lingkungan dengan bantuan nikroba maupun reaksi enzimatis. Hidrolisis diazinon dapat menghasilkan senyawa 2-isopropil-4-metil-6-pirimidinol (IMP) dan tiofosfonat. Menurut Ku et al. (1998) bahwa dekomposisi diazinon secara hidrolisis dan fotolisis berkaitan erat dengan dengan pH dan intensitas cahaya ultraviolet yang membentuk senyawa IMP dan tiofosfonat (gambar 2.3 e dan f). Produk hidrolisis dan fotolisis tersebut diidentifikasi sebagai senyawa yang sifat toksiknya menurun dibanding dengan senyawa diazinon (Bollag, 1974). Menurut Machin et al. (1971) dalam Gallo dan Lawryk (1991) bahwa irradiasi sinar ultraviolet pada diazinon selama 2 jam maka dapat mensubtitusi gugus isopropil pada cincin menjadi gugus asetil (gambar 2.3 g). Senyawa tersebut merupakan inhibitor kolinesterase tidak langsung dan lebih kuat dari pada diazinon.
Teknik biodegradasi telah banyak dikembangkan untuk mengatasi permasalahan beberapa polutan senyawa organik di lingkungan, salah satunya adalah pestisida. Penggunaan pestisida secara luas telah mengundang masalah-masalah baru yang disebabkan oleh interaksi antara zat-zat tersebut dengan sistem biologis alam (Chakrabarty, 1994). Pestisida yang tertinggal di alam harus segera didegradasi agar menjadi berkurang atau hilang secara keseluruhan.
Kecepatan degradasi pestisida di alam ataupun di dalam tumbuhan mengikuti kinetika reaksi orde pertama, yaitu kecepatan degradasi dipengaruhi oleh banyaknya pestisida dan faktor waktu (Bumpus dan Aust, 1987). Residu pestisida dalam tanaman atau hewan menurun atau hilang akibat metabolisme yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman atau hewan tersebut.
Biodegradasi diazinon terdiri dari dua tahap, yaitu tahap hidrolisis dan degradasi dengan mikroba. Kedua proses ini dipengaruhi oleh kondisi pH, temperatur, dan kandungan pelarut organik dalam air. Diazinon stabil pada pH 7 dan dapat bertahan di lingkungan selama 6 bulan pada pH ini (Grubbs, 2000). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Faust dan Gomaa pada tahun 1972,  pada temperatur 200C diazinon mempunyai waktu paruh untuk proses hidrolisis selama 12 jam pada pH 3,1; 4436 jam pada pH 7,4 dan 146 jam pada pH 10,4. Sedangkan pada pH 7,3 dan temperatur 210C, hidrolisis diazinon membutuhkan waktu selama 171 hari (Mansour et al., 1999).
Tahap kedua biodegradasi diazinon adalah degradasi dengan menggunakan mikroba, dalam hal ini menggunakan enzim lakase yang diisolasi dari kapang yang berasal dari limbah TKKS. Enzim lakase merupakan enzim yang spesifik terhadap substrat fenol dan mentransformasikannya menjadi bentuk radikal fenol. Setelah diazinon mengalami reaksi hidrolisis dengan asam, struktur molekul diazinon menjadi cincin aromatik disertai dengan gugus OH yang menempel (seperti pada gambar 2.3). Gugus OH tersebut yang mengalami oksidasi dengan adanya enzim lakase, sehingga menjadi atom O radikal dan selanjutnya menjadi kuinon (seperti pada gambar 2.1). reaksi yang terjadi pada degradasi diazinon adalah sebagai berikut :
Gambar 2.4 Mekanisme reaksi biodegradasi diazinon dengan enzim lakase

Proses biodegradasi pestisida diazinon dengan menggunakan enzim lakase sebagai biokatalis, menghasilkan produk akhir berupa senyawa turunan kuinon. Berdasarkan data PANNA (Pesticide Action Network North America), senyawa turunan kuinon tidak dapat menghambat aktivitas enzim kolinesterase dan mempunyai toksisitas yang lebih rendah daripada diazinon sendiri.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel